Aku masih kesal dengan Caca, bukannya menelpon ambulans dan mengkhawatirkan kesehatan jantungku, ia justru tertawa terbahak seperti Neng Kunti. Saat aku pamit pulangpun ia masih tertawa tanpa mempedulikan wajahku yang kesal.
Ini sebenarnya kesalahanku juga yang mudah terprovokasi dengan kata-katanya. Jika tadi aku tetap sabar dalam menghadapi celaan Caca mungkin aku tidak akan semalu ini. Aku sudah tak tahu harus meletakkan wajahku di mana saat nanti bertemu dengan Radit.
Aku berusaha melupakan pernyataan cintaku yang begitu konyol, tapi tetap saja aku tak bisa melupakannya. Aku sudah seperti orang gila yang memukuli kepalanya sendiri. Merutuki kebodohanku yang tak ada habisnya.
Aku langsung mematikan ponselku setelah menelpon Radit tadi, jadi aku tak tahu apakah Radit berusaha menghubungi kembali atau tidak. Aku harap dia amnesia dan melupakan semua yang aku katakan. Ini memalukan.
Tubuhku menegang ketika mendengar suara Radit yang berteriak memanggilku. Aku ingin menyembunyikan wajahku tapi tak tahu harus bersembunyi dimana. Aku layaknya maling di rumah sendiri, sibuk mencari tempat untuk bersembunyi.
Lagipula, kenapa Radit sudah pulang? Ini masih jam kerja dan seharusnya ia memberi contoh pada karyawannya. Dasar bos tidak bertanggung jawab, dulu saat aku masih bekerja bersamanya ia sering lembur, kenapa sekarang berubah?!
"Mela, Sayang!"
"Jangan teriak-teriak," ujarku berusaha untuk tenang dan menekan rasa maluku jauh-jauh. Aku tidak jadi bersembunyi karena itu akan terlihat sangat konyol.
Senyum Radit begitu lebar saat menatapku, aku hanya menaikkan alisku, tak mengerti apa yang membuatnya seperti orang stres yang tersenyum sendiri.
"Kau tampak bahagia, ada apa? Apa kau menang judi bola? Dapat mobil dari tutup botol?" Tebakku. Radit menggeleng, senyum tak juga luntur dari wajahnya.
"Ehm, bukan ya? Dapat pulsa seratus ribu dari AOV?" Radit tetap menggeleng. Aku dibuat semakin penasaran dengan apa yang membuatnya begitu bahagia.
Radit tiba menarik pinggangku dan mencium seluruh wajahku.
"Aku memenangkan hati istriku." Radit memelukku erat. Aku hanya bisa terdiam di pelukannya, tidak tahu apa yang harus kukatakan atau lakukan.
"Katakan sekali lagi," ujar Radit.
"Dapat pulsa seratus ribu dari AOV?" Seingatku itulah kalimat terakhir yang aku ucapkan.
"Bukan yang itu Mela bodoh. Aku ingin kau mengatakan cinta padaku." Radit kini sudah melepaskan pelukannya, sebagai gantinya ia terus menatapku dengan penuh harap.
Tidak, aku tidak akan mengatakan kalimat itu lagi. Nanti penyakit jantungku bisa kumat. Aku menggeleng, menolak permintaan sulit Radit.
"Kau menyebutku bodoh?!" Ucapku sambil berkacak pinggang.
"Tidak, kau salah dengar, aku menyebutmu genius tadi. Nanti aku belikan cotton bud untuk membersihkan telingamu, sekarang coba katakan kau mencintaiku. Aku berjanji akan membelikanmu 5 bungkus mie instan setelah ini."
Rayuan apa itu? enak saja pernyataan cintaku dihargai dengan 5 bungkus mie instan. Jika satu bungkus mie seharga 2000 rupiah maka di mata Radit cintaku seharga 10000 rupiah. Luar biasa, suamiku...
"Aku tidak akan mengatakannya, tadi aku tidak serius dengan ucapanku, Caca menantangku untuk mengatakan hal itu."
"Oh, ya? Sepertinya aku harus mengirim hadiah pada sahabatmu karena ia telah berhasil membuatmu berkata jujur," ujar Radit. Aku tak yakin dia akan benar-benar membuang uangnya untuk membeli hadiah. Aku saja dapat mie instan, mungkin Caca akan mendapat permen Kopiko jika Radit memang berniat memberinya sesuatu.