dua belas

28.1K 2.3K 42
                                    

"Mela! Ke sini kau!" teriakan Radit menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Aku bersenandung kecil mengaduk kopi yang baru ku seduh. Berteriak memanggil namaku sudah menjadi kebiasaan Radit akhir-akhir ini, aku yakin beberapa minggu kedepan suaranya sudah habis tak bersisa.

"Mela, kenapa celanaku bolong?" Radit menunjukkan celana hitam yang biasanya ia pakai ke kantor, celana itu kini sudah memiliki motif berupa cetakan setrika.

"Sebenarnya kemarin aku ingin menjadi istri yang baik dengan menyetrika celanamu, lalu disaat yang bersamaan ponselku berbunyi. Dan ternyata yang menelpon itu teman lamaku, kita begitu dekat dulu tapi beberapa waktu lalu kita kehilangan kontak, nah pada akhirnya kita ngobrol panjang lebar, dari pekerjaannya, bagaimana kabar suaminya, alamatnya, cerita honeymoon mereka, posisi bercin-"

"Mela! Aku tanya padamu kenapa celanaku bisa seperti ini?" tanya Radit memotong ceritaku.

"Ah, itu karena aku lupa mengangkat setrikanya, sudahlah lihat segala sesuatu dari sisi positifnya, sekarang celanamu sudah punya motif setrika, dan kakimu tidak akan kepanasan, udara akan mudah masuk lewat lubang itu." Radit menutup matanya, menghitung satu sampai sepuluh sebelum menatapku kembali.

Radit mendekatiku, membuatku otomatis mundur untuk menjauh, aku menelan ludahku saat merasakan aura kemarahan dari Radit. Hal ini mengingatkanku ketika aku masih menjadi karyawannya, kemarahan seperti ini sering aku hadapi.

"Aku mau kau menggantinya." Entah kenapa aku malah mengangguk patuh. Radit mendekatkan bibirnya ke telingaku, "ingat, brandnya harus sama," bisiknya sebelum mengecup bibirku singkat.

Aku terpaku di tempat, memikirkan uang yang harus aku keluarkan untuk membeli celana Radit. Kalau merknya terserah sih aku bisa membelinya di pasar, tapi kalo yang ini- aku menggaruk kepalaku. Sial sekali aku harus memiliki suami pelit macam Radit. Seharusnya dia memahami niat baikku untuk menyetrika bajunya, bukannya meminta ganti rugi atas hal yang tak sengaja ku lakukan.

"Ini, pakailah, aku mau berangkat kerja dulu." Aku tersenyum lebar saat melihat sesuatu yang baru saja diberikan Radit, benda itu terlihat bersinar di mataku. Kartu kredit penyelamat.

"Wah, Radit baik, pengertian, tidak pelit, suka menabung, tidak sombong-" Radit menghentikan pujianku dengan mencium pipiku.

"Dasar istri mata duitan," ujarnya dengan nada bercanda.

"Tentu saja, istri jaman now harus matre dan berpikir rasional, cinta saja tidak cukup, Suamiku. Nah sekarang, lebih baik kau berangkat kerja, biar aku membelikanmu celana, 1 cukup kan? Ngomong-ngomong aku tak tahu ukuranmu berapa." Radit terlihat menahan tawanya.

"Setiap malam kau melepasnya, bagaimana mungkin kau tak tahu ukurannya."

***********

Aku mengerutkan keningku, membandingkan celana yang ada di tangan kanan dan kiriku. Tak ada yang bisa kumintai pendapat karena aku hanya berbelanja sendiri, semua temanku sedang sibuk bekerja, tinggallah aku yang pengangguran ini.

"Mela?" Aku menoleh ketika seseorang memanggil namaku.

"Sedang berbelanja untuk suamimu?" tanya Alex, aku memperhatikan pakaiannya yang masih memakai setelan kantor.

"Iya, aku merusakkan celana Radit, jadi aku harus mengganti rugi." Eh, aku merasa ada yang salah dengan ucapanku, sepertinya bukan aku saja yang merasa begitu karena Alex terlihat menahan tawanya.

"Bukan, maksudku bukan robek tapi terkena setrika panas, sumpah aku tidak sampai merobekkannya," jelasku dengan panik. Gila saja, ditaruh mana mukaku jika ketahuan aku seganas itu.

"Sudahlah, aku percaya padamu, mau makan siang denganku?" Aku memikirkan tawaran Alex, sepertinya tak ada salahnya menerima ajakannya itu. Aku mengangguk dan meminta Alex untuk membantuku memilih celana dan baju untuk Radit, sebagai temannya aku rasa dia lebih mengerti mengenai selera Radit daripada diriku.

Setelah selesai berbelanja, aku dan Alex menuju restoran sushi yang berada tak jauh dari tempat kami membeli pakaian. Sedari tadi Alex tak hentinya bertanya mengenai pernikahanku dan Radit, ia bilang, ia penasaran mengenai rumah tanggaku karena menurutnya aku dan Radit adalah pasangan yang unik. Uniknya dimana?

Alex juga bercerita bahwa sebenarnya Radit sudah tertarik padaku saat aku pertama kali bekerja, tapi Radit memilih mundur saat melihatku akrab dengan Pak Ali, manajer keuangan yang kemarin sempat Radit kira sebagai mantan kekasihku. Mendengar penjelasan itu tentu membuat terkejut, Radit selalu memasang wajah datar dan menyebalkan di hadapanku, jadi informasi dari Alex ini patut dipertanyakan kebenarannya.

"Radit?" Alex mengikuti arah pandanganku, jika tadi aku masih ragu dengan apa yang kulihat, sekarang aku sudah yakin bahwa memang Raditlah yang kini berjalan ke arah meja kami. Apa yang dilakukannya di sini?

"Mela, aku memintamu untuk membeli celana, bukannya makan," ujar Radit sambil duduk di kursi sebelahku. Aku tak mengerti apa yang membuat wajahnya cemberut seperti itu, belum lagi tatapan tajam yang ia berikan pada Alex, TEMANNYA YANG TAK SALAH APA-APA.

"Kau kenapa? Permenmu habis? Atau sedang PMS?" sindirku.

"Aku rasa, aku harus kembali ke kantor, silakan kalian bertengkar." Sialan, teman macam apa itu? kenapa aku dikelilingi orang-orang tak normal? Alex menghabiskan makanannya dengan cepat sebelum bergegas pergi.

Radit masih cemberut meski Alex sudah pergi, wajahnya benar-benar mengingatkanku pada anak kecil yang kehilangan mainannya.

"Cepat makannya, habis ini kita belanja."

"Belanja apa? Aku sudah membelikanmu celana plus bajunya," balasku.

"Aku tidak mau, kau membelinya dengan lelaki lain." aku terperangah, mulutku terbuka ketika mendengar alasan absurd Radit. Sungguh, aku sudah berusaha untuk memahami sistem kerja otak Radit, tapi sepertinya aku gagal memahami.

"Radit, kau tahukan, dia itu sahabatmu? Dan kau juga tahu kan kalau aku tidak berselingkuh dengannya?" Radit mengangguk, tapi hal itu tetap tak melunturkan tekad belanja yang dimilikinya.

"Btw, darimana kau tahu aku membelinya bersama Alex, apa kau mengikutiku, Mr. Stalker?" aku menyipitkan mataku, awas saja kalau dia benar mengikutiku, aku akan menghukumnya tidur di sofa.

"Aku menyuruh orang untuk mengikutimu, aku hanya memastikan bahwa kau tidak bercerita mengenai perjanjian kita pada siapapun." Aku meletakkan sumpit dengan kasar, aku tersinggung dengan kadar kepercayaan yang dimiliki Radit padaku.

Setelah membayar aku segera keluar dari restoran tadi, Radit mengikutiku seperti anak ayam yang takut kehilangan induknya.

"Mela, tunggu, kita harus belanja dulu."

"Ini kartu kreditnya, kau belanja saja sendiri!" usirku. Tapi, bukan Radit namanya kalau menyerah, ia menarik tanganku menuju toko yang tadi aku datangi, tenagaku tentu saja kalah darinya, maka dengan terpaksa aku mengikutinya untuk masuk ke dalam.

Radit tak menyerah untuk mengajakku bicara, ia bahkan sangat cerewet saat memilih pakaian.

Pilih yang mana, kiri atau kanan?

Warnanya bagus yang mana?

Cocoknya bagaimana?

Kepalaku pusing mendengarkan pertanyaan yang berulang itu, apalagi Radit tak hanya membeli celana, aku masih dipaksa untuk memilih jas dan dasi untuknya.

"Mela, apa kau tahu dosa seorang istri yang mendiamkan suaminya?"

"Radit, apa kau tahu sakitnya tidak dipercaya?"

**************

berantem mulu nih 2 orang, :(

bye, see y

Crazy MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang