Selamat membaca!
******Tubuhku terasa begitu lelah, aku sudah mencoba empat gaun, tapi entah kenapa kepala Radit masih setia menggeleng. Kakiku terasa pegal karena keluar masuk ruang ganti, wajahku sudah tak berbentuk lagi, tertekuk dengan kusut seperti baju kotor yang terdampar di keranjang cucian. Aku bertekad akan memukul Radit jika di gaun ke lima ini dia tetap menggelengkan kepalanya, bahkan aku akan memaksa kepala Radit untuk mengangguk, bagaimanapun caranya.
Aku memandang diriku di cermin, wanita yang memakai baju pengantin itu adalah diriku, tak ada raut bahagia atau takjub di wajahku, bibirku datar tak membentuk sebuah senyuman yang biasanya ada di wajah setiap calon pengantin. Aku akan tersenyum jika saja aku menikah dengan orang yang ku cintai, tapi apalah daya, kenyataan berbanding terbalik dengan harapan. Aku akan menikah dengan salah satu orang yang paling ku benci, pria yang selama dua tahun ini menjadi mimpi burukku di kantor. Sungguh takdir yang indah, bukan?
Aku keluar dari ruang ganti, lagi-lagi berdiri di depan Radit yang duduk di sebuah sofa. Matanya langsung menatapku dari atas ke bawah begitu aku keluar dari ruang ganti, pun saat aku mendekat ke arahnya ia tetap melakukan kegiatan itu. Aku cukup jengah karenanya, Radit tak menolak tapi juga tak mengiyakan, ia tetap duduk dan memperhatikanku.
"Aku tak peduli pendapatmu, aku memilih gaun ini."
"Terlalu sederhana," ucap Radit pada akhirnya, aku memutar mataku, terlalu lelah untuk berganti pakaian lagi.
"Maumu yang bagaimana? Yang wow, disulam dengan benang emas? Terserah kau jika tak setuju. Aku tak peduli." Aku berbalik menuju ruang ganti, tak peduli dengan ekspresi marah yang terlihat di wajah Radit.
"Mbak, mau ganti la—"
"Nggak!" ucapku ketus, memotong ucapan pegawai yang menawariku untuk kembali mencoba gaun-gaun penyiksa itu. Aku segera mengganti pakaianku, bersiap untuk pergi dari sini dengan atau tanpa Radit.
Saat aku keluar dari ruang ganti, Radit sudah berdiri dengan tangan bersidekap, sepertinya ia akan memaksakan kehendaknya lagi, "kau pikir kau mau ke mana, Butiran debu?" aku mendengus, mendengar Radit kembali memanggilku dengan sebutan menyebalkan itu.
Tanpa mempedulikannya, aku berjalan melewati Radit, bermaksud untuk segera keluar dari bridal store ini. Tanganku terasa ditarik begitu aku melewati Radit, cekalan tangannya cukup kuat hingga aku tak mampu untuk memberontak atau melepaskan cengkraman itu.
"Jangan keras kepala, cepat lanjutkan memilih gaun pengantin, kita akan pulang setelah menemukan yang cocok." Aku memutar mataku sebelum berbalik dan menghadap Radit. Mata kami bertemu, sekali lagi tak ada yang mau mengalah untuk mengalihkan pandangannya. Tak ada kata yang terucap di antara kami, tapi aura permusuhan jelas menguar dari diriku dan Radit.
"Mela," aku terpaksa mengalihkan tatapanku dari Radit ketika ada seseorang yang memanggilku. Mataku terbelalak begitu menyadari siapa yang aku lihat kini, senyum langsung menghiasi wajahku begitu aku pulih dari keterkejutan. Tanganku menghempaskan tangan Radit, berhasil karena sepertinya Radit tak mengira aku akan melakukannya.
Kakiku melangkah menuju pria bermata coklat yang aku rindukan, rupanya bukan aku saja yang merindukannya, ia juga melangkah ke arahku, menyambutku dengan pelukan hangatnya. "Rafa," suaraku tak begitu jelas karena wajahku berada di dadanya.
"Hai, Love. Merindukanku?"
"Tentu saja." Jawabku yakin, aku tak melu mengakui bahwa aku merindukan pamanku ini, rasanya sudah lama sekali aku tak melihatnya. Rafa adalah adik ibuku, usianya terpaut 5 tahun dariku, membuatku sedikit canggung ketika harus memanggilnya paman, tapi untung saja Rafa juga tak mau ku panggil dengan sebutan paman, ia bilang hal itu akan menurunkan pasarannya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" belum sempat aku menjawab, tubuhku terasa di tarik paksa dari rengkuhan Rafa. Sebuah tangan kokoh berada di pinggangku, keningku mengernyit, menyadari siapa pemilik tangan kurang ajar yang dengan seenaknya menyentuhku.
"Dia calon istriku." Rafa menatapku dan Radit bergantian, aku menyipitkan mataku curiga, ketika melihat kilatan jahil di matanya. Rafa memang terkenal dengan kejahilannya, dan kadang apa yang menurut Rafa hanya main-main, bisa menjadi masalah besar bagi kami para korban, dan sekarang, entah apa yang ada di pikiran gilanya.
"Calon istri? Kenapa Bibi Maria tidak memberitahuku." Bibi? Andaikan ibuku ada di sini, ia pasti sudah menjewer adik tampannya ini, bagaimana mungkin kakaknya sendiri dipanggil bibi?
"Dan kenapa calon ibu mertuaku harus memberitahumu?" tanya Radit dengan tajam, sayangnya aku tak bisa melihat wajah Radit sehingga aku tak bisa menebak apa yang diraskan pria itu. Tangan radit masih melingkari pinggangku dengan kuat, tak membiarkanku untuk berbalik dan menghadapnya. Saat aku mendongakpun aku hanya bisa melihat rahangnya yang mengeras. Baiklah, sepertinya Radit marah, tapi aku tak mengerti apa yang bisa membuatnya marah, apa yang diucapkan Rafa adalah hal wajar menurutku.
"Tentu saja dia harus memberitahuku, aku begitu dekat dengannya dan Mela." Radit menggeser tubuhku hingga berada di belakangnya, aku tak mengerti dengan apa yang dilakukannya dengan menyembunyikanku di belakang tubuhnya seperti ini. Dan aku lebih tak mengerti dengan sikap Radit yang terlihat membenci Rafa tanpa alasan.
Rafa terkekeh, membuatku semakin bingung dengan sikap dua pria ini. "Apa yang kau tertawakan?!"
Bentakan radit justru membuat tawa Rafa meledak, "Kau cemburu pada calon pamanmu ini?" ucap Rafa di tengah tawanya. Aku bisa merasakan tubuh Radit yang menegang setelah mendengar apa yang dikatakan Rafa.
"P...paman?"
"Iya, dia pamanku," ucapku pada akhirnya. Radit berbalik menatapku, matanya berkilat marah.
"Kenapa kau tak memanggilnya paman tadi?"
"Aku tak pernah memanggilnya dengan sebutan paman, memangnya apa bedanya? Itu bukan hal besar."
"Bukan hal besar? Orang akan salah paham dengan hubungan kalian!" aku memiringkan kepalaku, masih tak mengerti dengan jalan pikiran Radit, keluargaku saja tak masalah dengan semua itu, lantas kenapa Radit mempermasalahkan ini?
"Siapa yang akan salah paham? Mereka salah paham pun aku tak peduli."
"Damn it, Mela, mulai sekarang panggil dia paman," kemarahan radit sangat konyol menurutku, hanya karena nama panggilan pria itu berbicara dengan nada keras hingga menarik perhatian beberapa orang yang berada di bridal store ini.
Aku berkacak pinggang, daguku terangkat dengan angkuh, mataku memancarkan tekad dan keberanian untuk melawan mantan bosku ini. "Aku tak mau!"
Tak ada jawaban dari Radit, tapi aku tahu pria itu semakin marah, beberapa kali ia menghela nafasnya, tapi sepertinya hal itu tak efektif untuk mengusir amarah yang ada dalam dirinya.
Aku berteriak saat merasakan tubuhku terangkat dan berakhir di pundak Radit. kepalaku langsung terasa pening karena posisi yang tak seharusnya. Aku memukul punggung Radit, berusaha untuk menyakiti Radit agar dia mau menurunkanku.
"Kau mau membawa dia kemana? Turunkan, Mela." Sang penyelamat yang berwujud pamanku, akhirnya datang membantu diriku, sang wanita malang yang tersampir di punggung Radit.
"Menyingkirlah, Paman. Urusi istrimu sendiri." Radit menekankan kata paman seolah hal itu merupaka gelar penting yang tak boleh ketinggalan.
"Sayangnya aku belum menikah jadi lebih baik aku mengurusi Mela, keponakan tersayangku."
"Pergi cari jodohmu sana!"
********