Radit menatapku dengan tatapan aneh, tapi aku tidak peduli. Makanan-makanan ini susah untuk ditolak, mereka melambai-lambai padaku, memintaku untuk memakannya.
"Mela, kau sudah makan banyak, sekarang tidur ya Sayang? Aku ngantuk."
Aku menggeleng, mulutku sibuk mengunyah ayam goreng. Kebiasaanku makan saat tengah malam nampaknya mulai kembali. Aku sampai membangunkan Radit karena tidak bisa menahan keinginanku untuk makan.
Radit lagi-lagi menguap, ia meletakkan kepalanya di meja. Matanya sudah tertutup, tak mampu menahan kantuk.
Aku membangunkan Radit jam 12 malam lalu memintanya untuk membelikanku makanan. Meskipun Radit sudah membujukku untuk tidur, aku tetap tidak mau. Perutku sudah berdemo dan tidak bisa diajak kompromi. Radit menggerutu tapi tetap melakukan apa yang aku minta. Dia keluar mencari restoran yang buka 24 jam.
Aku mempercepat makanku, tidak tega melihatnya tertidur dengan posisi duduk seperti itu. Padahal aku sudah memintanya untuk tidur setelah membelikanku makanan, tapi dia dengan keras kepalanya tetap duduk di sini dan menemaniku.
Aku berusaha untuk tidak terlalu berisik ketika membereskan piring. Radit nampak begitu lelap meskipun kepalanya hanya berbantal meja yang keras. Dia sudah bekerja seharian dan aku masih mengganggunya di tengah malam. Suami yang malang...
"Radit, bangun." Aku menepuk pipinya, membangunkan sang suami malang yang tertidur.
"Aku sudah bangun, berhenti menamparku," ujar Radit. Matanya sudah terbuka meski hanya setengah. Radit berjalan menuju kamar sementara kami. Karena perutku yang semakin membesar, Radit memaksaku untuk pindah ke kamar tamu yang berada di lantai bawah.
Seperti biasa, dia tidak menerima penolakan. Padahal aku sudah bilang pada Radit bahwa aku tidak apa-apa naik turun tangga.
Aku menggelengkan kepalaku saat melihat Radit yang langsung tertidur ketika tubuhnya menyentuh kasur. Aku menuju kamar mandi untuk menggosok gigi.
"Aduh, Nak, jangan main sepak bola di dalam," ucapku sambil menyentuh perutku yang baru saja terkena tendangan kecil. Aneh ketika bibirku justru membentuk senyum kecil meskipun aku memarahi sang penendang yang baru menggangguku.
Aku menghela napas panjang ketika melihat wajahku di cermin, senyumku hilang berganti dengan raut kesedihan. Ketakutan lagi-lagi menyusup ke dalam diriku, mengganggu otakku dengan berbagai kemungkinan buruk yang akan terjadi. Semakin tua usia kandunganku, berbagai pikiran buruk juga ikut berdatangan. Sudah 8 bulan anakku berada di dalam sana dan sebentar lagi dia pasti akan terlahir ke dunia.
Bagaimana kalau aku tidak bisa melihatnya? Bagaimana kalau aku justru tidak bisa memeluknya setelah dia lahir?
Mungkin aku memang paranoid apalagi dokter bilang bahwa kandunganku baik-baik saja, tapi menurutku kemungkinan buruk selalu bisa terjadi. Tidak ada yang tahu kapan maut akan menjemput. Kematian ibu melahirkan pun bukan hal yang mustahil.
Aku berusaha untuk menghilangkan pikiran buruk itu dan menyusul Radit untuk tidur. Selama beberapa menit mataku terus memandang langit-langit kamar, kantuk tak kunjung datang menghampiriku.
Aku menoleh menatap wajah Radit. Pria aneh ini sudah mewarnai hari-hariku selama hampir satu tahun. Aku tidak pernah membayangkan pernikahan ini akan bertahan selama ini. Aku pikir kami hanya akan menikah beberapa bulan lalu bercerai. Ternyata tidak... Tuhan memiliki rencana lain untuk kami.
"Radit, jika nanti aku pergi duluan, jaga anak kita ya. Kau boleh menikah lagi, tapi aku ragu ada yang mau denganmu, kau memiliki banyak sifat buruk."
Tanganku bergerak menyentuh keningnya, sebenarnya aku ingin menyentil kening itu, tapi aku urungkan karena kasihan melihatnya yang begitu terlelap.