"Jujurlah padaku, jujurlah padaku ... kau menyimpan rasa, kau menyimpan rasa, cinta—"
"Mela berhenti bernyanyi, sudah 7 hari 7 malam kau menyanyikannya, kenapa tidak bosan juga?"
Seperti biasa Radit itu lebay, aku hanya menyanyikan lagu ini setiap pagi dan tak pernah menyanyikannya di malam hari. Bagaimana ceritanya dia menghitung hingga 7 hari 7 malam? Pasti matematikanya jeblok dulu.
Lagipula, aku menyanyi pasti ada alasannya. Dan alasan itu adalah Radit yang masih setia diam tentang perasaannya padaku, ia masih memendam dan belum berani mengungkapkan segala yang ada di hatinya selama ini. Padahal aku ingin sekali melihat ekspresi Radit saat mengucapkan kata cinta.
Meskipun aku sudah berkali kali bertanya, Radit selalu berkelit dengan segala kebohongan yang keluar dari mulutnya. Sekarang, aku sudah tak meragukan kemampuan Radit untuk berdusta. Semoga saja ia tidak menggunakan skill itu untuk berselingkuh.
"Radit, siapa yang kau cintai?" Tanyaku. Radit hanya bergumam, perhatiannya tetap tertuju pada layar ponselnya, aku memutar mataku ketika melihat apa yang sedang ia lakukan.
"Main AOV dapat 7 M!" Teriakku di telinga Radit. Menyebalkan sekali, aku diabaikan hanya karena game. Radit menggosok telinganya yang pasti berdengung karena teriakan kencangku.
"Ini bukan AOV, Mela, ini ML. Apa kau tak bisa membedakannya?"
"Apa peduliku? Kau saja tak bisa membedakan game dan wajah istrimu. Matamu masih saja tertuju ke game itu meskipun aku bertanya padamu."
Radit meletakkan ponselnya di meja sebelum menatapku. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya.
"Apa kau cemburu pada sebuah game, Mela?" Aku mendelik menatap Radit.
"Tidak, aku hanya kesal pertanyaanku tidak dijawab," jawabku. Aku tidak cemburu pada game, konyol sekali tuduhan Radit. Memangnya aku seperti dirinya yang selalu meminta perhatianku meskipun aku sibuk menonton acara gosip?
"Oh, ya? Jujur saja tidak usah gengsi, Mela, aku tahu kau menginginkan perhatianku." Aku bangkit berdiri karena Radit masih saja menggodaku.
"Hey, mau kemana? Kau belum jujur padaku."
Aku tak menghiraukan teriakan Radit dan tetap berjalan menuju kamar kami. Hari ini mami mengajakku untuk menemaninya jalan-jalan. Sebagai menantu yang baik tentu aku tak akan menolak permintaannya— asalkan permintaan itu tak aneh-aneh, seperti minum obat kuat atau semacamnya.
Aku mandi dan berganti pakaian dengan cepat. Aku lupa belum memberitahu Radit mengenai kegiatanku hari ini.
"Radit, aku mau ke rumah mami, hari ini mami mau berbelanja."
Radit mengalihkan perhatiannya dari ponsel yang sedari tadi lengket di tangannya. Pasti ia kembali memainkan ML. Aku tak pernah memahami perasaan laki-laki dan gamenya.
"Kau meninggalkanku sendiri di rumah? Tidak Mela, kau tidak boleh pergi. Hari ini hari minggu dan kau harus menemaniku bersantai di rumah."
"Kalau mau istirahat, ya istirahat saja, aku bosan di rumah dan mau menemani mami. Bye, Radit," ujarku sambil berjalan melewati Radit.
"Aku ikut. Dasar istri pembangkang."
Ya, Radit kembali seperti dulu setelah aku menggodanya waktu itu. Ia kembali menjadi Radit yang suka mencela dan cerewet. Memang susah menghilangkan kepribadian yang sudah mendarah daging.
Dampak positif dari kembalinya sifat asli Radit adalah rumah tak pernah sepi, akan selalu ada pertengkaran dan perdebatan di antara aku dan Radit. Memilih warna korden dan cat saja kami bertengkar hingga satu jam.