Aku mengangkat alat pelku, siap memukulnya jika ia berani macam-macam. Tak ada yang bergerak diantara kami, aku tetap berdiri dengan posisi siaga dan Adry tetap berada agak jauh dariku dengan senyum menyeramkan, khas om-om mesum yang baru lihat anak SMA lewat.
"Kau tetap disana dan jangan macam-macam," ujarku penuh peringatan.
"Kenapa Mela? Apa kau tak merindukan mantan tersayangmu ini."
Aku menendang air yang tadi kugunakan untuk mengepel, berharap ia terpeleset saat mengejarku yang berlari menuju tangga. Ponselku ada di dalam kamar dan itu berarti aku harus kesana untuk menelpon bantuan. Entah tangganya semakin bertambah atau kepanikan membuat kecepatanku melambat, tapi aku merasa begitu lama untuk sampai di kamarku.
Aku semakin panik saat mendengar langkah kakinya yang mengejarku. Jantungku berdetak cepat, nafasku memburu, keringat mulai keluar dari keningku. Aku tak berani menoleh meskipun aku merasa jarakku dan Adry sudah tak terlalu jauh.
Sedikit lagi dan aku akan sampai. Saat tanganku sudah memegang knop pintu Adry tiba-tiba menarik rambutku kasar. Air mata tak dapat kucegah saat kepalaku merasakan sakit dari jambakannya itu.
Adry mengunci leherku dengan lengannya, ia tetap berdiri dibelakangku tak berusaha untuk membalik tubuhku agar menghadap ke arahnya dan aku bersyukur akan hal itu, setidaknya aku tak perlu melihat wajahnya dan mendapat mimpi buruk, aku meronta sekuat tenaga, bayangan buruk sudah berseliweran di kepalaku. Aku menggigit tangannya dengan keras sementara sikuku menyodok perutnya.
Serangan tak terduga itu membuat Adry melepaskan cengkramannya. Seperti kucing yang baru lepas dari karung aku segera membuka pintu kamarku dan menutupnya dengan cepat, tanganku segera bergerak mengunci pintu, untung saja kuncinya masih menempel tadi, aku tak bisa membayangkan jika kunci kamar ini berada di laci atau meja, bisa habis aku saat ini juga. Setelah memastikan bahwa pintu kamar sudah terkunci aku meraih ponselku yang berada di atas nakas.
Tanganku masih bergetar hebat, rasanya kakiku sudah tak mampu lagi untuk menopang tubuhku. Aku menghubungi Radit, mataku tak bisa lepas dari pintu yang digedor dengan keras. Suara teriakan Adry menambah ketakutanku. Bagaimana kalau dia mendobrak pintunya?
"Halo, Mela?" Aku sedikit lega ketika mendengar suara Radit, tapi hal itu tak bertahan lama karena suara keras yang aku dengar dari balik pintu. Apa yang sedang dilakukan Adry?
"Mela kau kenapa?!" Sepertinya Radit juga mendengar suara tadi, kalaupun tidak ia pasti mendengar isakan yang sesekali keluar dari mulutku, nafasku pun tak beraturan.
"Pulang Radit, dia ada di sini. Aku takut," ujarku. Aku sudah tak mampu lagi berpikir mengenai kalimat yang pas.
Saat sekali lagi aku mendengar suara pintu yang didobrak, aku berlari menuju kamar mandi.
"Mela siapa yang ada di rumah? Aku pulang sekarang juga, tenanglah." Aku sudah tak memikirkan mengenai ucapan Radit, aku sibuk mengambil shampo dan sabun cair untuk aku tuang ke lantai yang berada di depan pintu, tak lupa aku menambahkan sedikit air supaya semakin licin. Setelahnya, aku mencari senjata yang bisa kugunakan untuk memukul Adry.
Sayangnya aku hanya menemukan sikat wc yang bisa kugunakan untuk senjata. Sebenarnya ada gunting, tapi aku tak tahu cara menggunakannya. Aku tak bisa menusuk orang.
Dengan sikat wc di tangan kiri dan vas bunga di tangan kanan aku siap menyambut kedatangan Adry yang sepertinya baru minum pil PCC hingga gila seperti ini.
Brakkk
Pintu kamarku terbuka dengan keras, Adry tersenyum menakutkan, namun tak berapa lama ekspresinya berubah terkejut karena saat ia melangkah sendalnya menginjak jebakan buatanku hingga terpeleset. Akhirnya ada gunanya aku menonton kartun dan Home Alone selama ini.
Aku begitu puas mendengar suara tubuh Adry yang terjatuh, apalagi aku melihat kepalanya membentur lantai dengan keras, sialnya makhluk itu masih tersadar. Aku menghampirinya yang masih mengaduh di lantai, tiba-tiba ia menarik kakiku hingga aku terjatuh dan menyebabkan vas bunga yang aku pegang terpecah menjadi dua bagian.
Kesal, aku memukul wajahnya dengan sikat WC berkali-kali. Adry mencoba menangkis tanganku tapi aku tak kalah gigih untuk menganiaya makhluk ini, apalagi tenaga Adry sudah melemah karena terjatuh dan darah yang sudah keluar dari kepalanya. Berkali-kali aku mengetok kepalanya dengan sikat tadi, tanganku meraih pecahan vas yang tadi kupegang, dengan tekad bulat dan niat membela diri aku membenturkannya ke kepala Adry hingga akhirnya dia tak sadarkan diri.
"Mati kau kecoa sialan, menakutiku di rumahku sendiri. Kau pikir kau akan menang dariku!" Aku merangkak keluar dari genangan licin shampo dan sabun cair. Nafasku memburu ketika berhasil keluar dari jebakan itu.
Aku menutup wajahku dengan tangan ketika melihat hasil kekejamanku, adrenalin yang sudah sedikit menurun membuatku sadar akan apa yang baru kulakukan, bagaimana kalau dia mati?
Darah keluar dari kepala Adry. Cairan merah itu bercampur dengan sabun cair serta shampo yang ku tuang tadi. Shampo dan sabun itu masih baru, sehingga bisa dibayangkan betapa banyaknya disana, belum lagi air yang kutambahkan.
Aku terduduk di lantai, memeluk kakiku, wajahku ku sembunyikan di lutut. Suara sirine mobil polisi serta ambulans semakin keras terdengar.
"Mela! Sayang, dimana kau!" Baru kali ini aku lega mendengar suara teriakan Radit.
Aku tak bisa menjawab, aku sudah menangis seperti orang bodoh. Aku bahkan tak tahu kenapa aku menangis.
"Mela!" Aku mengangkat wajahku melihat Radit yang sudah berada di tengah pintu dengan 2 orang polisi yang berada di belakangnya.
Radit melangkah hati-hati, entah karena sepatunya terbuat dari karet atau memang Radit yang pandai menjaga keseimbangan karena dia tak terjatuh seperti Adry tadi.
Radit memelukku erat begitu ia sudah dekat denganku yang masih terduduk di lantai.
"Kau tidak apa-apa Sayang? Jangan takut lagi, kau sudah aman sekarang." Radit mengangkat tubuhku dan membawaku ke tempat tidur. Ia masih membisikkan kalimat manis disertai dengan tangannya yang terus menghapus air mataku.
"Tidak apa-apa, Sayang. Hey kau kuatkan? Bukankah kau yang mengalahkan tikus tadi? Sudah jangan menangis lagi. Kau sudah menang." Aku menangis semakin keras ketika Radit mengingatkanku akan hal yang baru ku perbuat. Apa aku sudah membunuhnya?
Seseorang berdeham, membuatku dan Radit menoleh secara bersamaan.
"Apa Anda terluka, Nyonya? Sudah ada ambulans yang menunggu jika Anda—" aku menggelengkan kepalaku memotong ucapan polisi yang menanyaiku.
Aku mengelap air mata dan ingusku di jas Radit sebelum menanyakan pertanyaan yang menghantuiku sejak tadi. Aku tak menghiraukan wajah jijik Radit.
"Apa Adry masih hidup? Aku bukan pembunuh kan?"
"Dia masih hidup Nyonya, sekarang dia sudah berada di ambulans dan akan segera menuju rumah sakit. Anda yakin tidak apa-apa?" Aku menggelengkan kepalaku. Sementara Radit mengusap punggungku naik turun.
"Kenapa dia tidak mati saja, aku kira tadi dia sudah mati hingga aku tidak kepikiran untuk memukul kepalanya dengan tongkat golf," ujar Radit penuh kebencian.
"Aku akan menceraikanmu dan mencuri semua uangmu jika kau menjadi tersangka," sahutku. Radit tersenyum lebar dan menangkup wajahku dengan kedua tangannya.
"Ah, istriku sudah kembali." Radit akan menciumku saat suara berdeham yang keras datang dari arah polisi tadi.
"Nyonya boleh kami meminta keterangan Anda? Dan Tuan kami juga butuh bukti rekaman CCTV jika ada, aku yakin istri Anda juga haus sekarang, jadi—"
"Iya, akan aku ambilkan!"
********
see y