Radit tidur dengan pulasnya, tak memikirkan aku— istrinya yang sedang kesal karena tak mendapat kado apapun. Radit bilang gelang itu adalah hadiahnya, padahal kan sama saja dia mengembalikan barangku.
"Aku sudah berbaik hati mengembalikannya padamu, padahal bisa saja aku menjualnya seperti yang sering kau lakukan pada barang-barangku selama ini. Jadi, Istriku anggap gelang itu kado dariku, jangan minta apa-apa lagi, ok?" Ish, mengingat ucapan Radit membuatku kesal sendiri. Lagipula, aku hanya sekali menjual barang Radit, bukannya sering seperti yang dia tuduhkan.
Rupanya saat gelangku hilang, Radit lah yang menemukannya, tapi dia dengan teganya tak langsung mengembalikannya padaku. Ia menahannya selama 2 tahun ini dan menjadikannya sebagai kado ulang tahunku sekarang.
Aku memaksa mataku untuk terpejam, tak ada gunanya aku merutuki Radit yang telah tenggelam ke alam mimpi.
"Ya, naik, Sayang," aku membuka mataku ketika mendengar suara aneh itu. Menoleh, aku melihat mata Radit yang masih tertutup.
"Ah, iya begitu." Dia ngimpi apa? Kok ada naik-naik. Aku masih memperhatikan wajah Radit, menunggu kata apalagi yang akan keluar dari mulutnya. Setelah 15 detik dalam penantian dan tak mendengar suara mengigau dari Radit, aku memutuskan kembali memejamkan mataku. Besok pagi saja aku bertanya tentang apa yang terjadi di alam mimpi Radit.
*******
"Sayang, bangun. Buatkan aku sarapan." Aku menutup wajahku dengan selimut. Rupanya Radit masih tak menyerah untuk menggangguku, ia menarik selimutku dengan paksa. Aku berusaha membuka mataku yang masih begitu lengket.
"Mela, ayo bangun." Aku menutup mataku kembali, tak kuasa menahan kantuk. Radit menggoyangkan tubuhku, memintaku untuk bangun.
"Masak saja mie instan," gumamku.
Aku terpekik merasakan tubuhku terangkat secara tiba-tiba. Radit membawaku menuju kamar mandi.
"Cuci muka, sekarang!" Perintah Radit. Setelahnya ia pergi meninggalkanku sendiri berteman dengan sunyinya kamar mandi.
Setelah menyelesaikan ritual di kamar mandi, aku segera turun ke lantai bawah, aroma kopi memenuhi indra penciumanku saat langkahku semakin dekat dengan dapur.
Aku tersenyum lebar ketika melihat Radit yang sedang menyiapkan semangkuk bubur ayam. Mataku berbinar melihat topping yang begitu banyak. Kerupuk, suwiran ayam, emping, bawang goreng—
"Terimakasih Radit."
"Siapa bilang ini untukmu? Ini untukku, kalau kau mau, beli saja sendiri," ucap Radit tanpa perasaan, ia membawa bubur serta kopi yang tadi kulihat menuju meja makan. Sementara aku hanya bisa mengerucutkan bibirku kesal.
Aku pikir akan ada sarapan pagi romantis hari ini. Tapi ternyata... Harapan memang selalu membuat kecewa, apalagi berharap pada suami macam Radit. Sudahlah, tak perlu kujelaskan bagaimana sifatnya.
Setelah melihat barang-barang yang ada di kulkas, aku akhirnya memutuskan untuk membuat nasi goreng. Sambil bersenandung pelan aku mulai memotong sayur dan sosis.
"Mela, kenapa pria itu masih menghubungimu?!" Aku tak tahu dengan apa yang dibicarakan Radit jadi aku tak menjawabnya dan tetap melanjutkan kegiatan memasakku sambil bernyanyi semakin keras.
Istri juga manusia, punya rasa punya hati....
Jangan samakan dengan..."Mela! Kau dengar aku tidak?" Radit membalik tubuhku menghadapnya, di tangannya sudah ada ponselku yang sedang berdering dan menampilkan nama Adry di layar ponselnya.
"Oh, mungkin dia kangen," jawabku santai. Radit menatapku tajam, lalu kemudian mengangkat panggilan itu. Selama beberapa saat ia hanya mendengarkan Adry berbicara.
"Mela, tak bisa bertemu denganmu, dia sibuk melayani suaminya. Jangan hubungi dia lagi, paham?" Radit mematikan sambungan telpon itu, wajahnya terlihat kesal. Aku mengangkat bahuku tak peduli dan kembali memfokuskan perhatianku pada sayur dan sosis yang sempat terabaikan.
"Mela, kalau dia menelpon lagi kau harus memberitahukannya padaku."
"Hmmm..." aku hanya bergumam menjawab Radit. Dan sepertinya hal itu tak cukup karena Radit lagi-lagi mengganggu waktu memasakku dengan mengambil pisau yang aku pegang.
"Apa lagi Radit? Iya aku akan lapor padamu. Sekarang jangan ganggu aku lagi, aku sudah lapar." Radit melihat sayuran yang baru sebagian aku potong. Sekilas nampak ekspresi bersalah menghiasi wajahnya, lalu sedetik kemudian ekspresi itu hilang diganti dengan wajah datar seperti biasanya.
"Makanya kalau dibangunin, cepet bangun, aku membuang 15 menit waktuku untuk membangunkanmu." Setelah mengomel seperti ibu-ibu Radit kembali memberikan pisau tadi padaku, lalu meninggalkanku begitu saja tanpa rasa iba. Apa dia tak memiliki niat membantu sama sekali?!
Akibat perasaan kesalku, aku memotong sayur dengan tenaga berlebih hingga menimbulkan suara yang cukup keras. Suara talenan dan pisau yang beradu memenuhi dapur pagi ini.
Harum bau masakan membuat emosiku sedikit menurun, Raditpun juga sudah diam dan tak membuat ulah lagi. Setelah selesai memasak aku membawanya ke ruang makan, menyusul Radit yang tampak sudah selesai dengan makanannya.
"Mela, minta." Aku mendelik saat Radit menatap makananku dengan bernafsu.
"kalau kau mau, bikin saja sendiri," ucapku meniru kata-katanya. Tak ada balasan apapun darinya, ia hanya memperhatikanku yang makan dengan lahap.
"Aku mau berangkat kerja, kau tak akan menemui pria itu kan?" Aku memutar mataku, masih saja dicurigai, apa aku pernah selingkuh darinya?
"Iya, aku tidak akan pergi menemui Ardy, hari ini aku sudah janji dengan Paman Rafa akan menemaninya ke pameran lukisan," ujarku sambil mengunyah makananku.
"Tidak, kau temani aku ke kantor." Aku menatapnya heran. Radit aneh sekali, jelas aku sudah dia pecat waktu itu, kenapa aku harus menemaninya? Lagipula ia sudah memiliki Alexa sebagai sekretaris. Aku tak mau menjadi penunggu pojokan kantor.
"Tidak, aku tak mau menunggumu kerja seharian, lebih baik aku menemani Paman Rafa."
"Mela, yang nurut sama suami."
"Bagaimana istri mau nurut kalau suaminya aneh? Jangan bilang kau masih cemburu tak jelas pada pamanku. Dia pa.man.ku. ingat itu baik-baik, kau tak perlu cemburu padanya."
Radit menghembuskan nafasnya kasar. "Baiklah, aku pergi dulu, ingat, jangan macam-macam."
Radit mencium keningku sebelum pergi tanpa mencuci mangkuk yang tadi digunakannya. Suami yang tak pengertian sama sekali...
******
"Bisakah kau bayangkan betapa anehnya Radit itu? Masa dia cemburu padamu, untung rambutku tak botak karena memikirkan keanehan sikapnya." Rafa tertawa mendengar curhatku, sepertinya ia sangat terhibur dengan dongeng yang aku ceritakan.
Sedari tadi ia memintaku untuk terus bercerita, menurutnya kisahku dan Radit lebih menarik dari lukisan yang terpajang di hadapan kami. Aku tahu ia tak terlalu suka dengan yang namanya lukisan, tapi demi sang gebetan ia rela mengunjungi pameran ini, jadi wanita incaran pamanku adalah seorang pelukis dan yang aku tahu wanita itu juga mengikuti pameran ini, tapi entah ada dimana dia sekarang.
"Suamimu benar-benar posesif. Eh, kau dapat kado apa dari Mami Radit?" Aku sedikit ragu saat akan menjawab pertanyaan Rafa. Tadi pagi aku sudah membuka kado yang diberikan oleh Mami dan juga teman-temanku.
Dan aku sangat terkejut ketika melihat apa yang diberikan Mami. Entah kenapa Mami Vera selalu memberiku sesuatu yang aneh dan berhubungan dengan ranjang, dari buku kamasutra, obat kuat, obat subur, dan kemarin...
"Kau janji tidak akan tertawa?" Tanyaku pada Rafa, Rafa menggeleng, dari raut wajahnya jelas sekali dia penasaran. Aku memberikan kode agar dia mendekatkan telinganya.
"Jadi, Mami memberiku lingerie dan—"
********
Dan terjadi lagi.... kisah lama yang terulang kembali wkwkwkwk.
Coba tebak Mela dapat apa dari si mami, permen kopiko atau permen ting ting.