"Menurutmu kenapa Adry melakukannya?" tanyaku pada Radit yang saat ini sedang berbaring di sebelahku.
"Apa kau tak tahu kalau ia pecandu narkoba?" mataku terbuka lebar, aku menoleh pada Radit yang masih setia memandangi langit kamar. Semenjak polisi pergi tadi, Radit menjadi irit bicara, ia juga tak mesum atau berteriak seenaknya. Tiga ciri khas Radit itu hilang dalam sekejap dan aku tak tahu apa penyebabnya. Saat menkompres kakiku yang terkilir pun, ia hanya diam dan tak banyak bicara.
"Radit, kau serius?"
"Iya, dia sudah menjadi pecandu selama satu tahun ini, apa kau tak melihat penampilannya yang kurus dan acak-acakan tadi? Lelaki itu sudah seperti mayat hidup, kau beruntung ia tak melukaimu saat kalian masih menjalin hubungan." Aku benar-benar tak tahu masalah ini, lagipula, Adry juga sering menghilang dan tak berbicara banyak. Aku kembali mengingat penampilan Adry, dia memang lebih kurus dari yang dulu, tapi tidak kurus-kurus amat, buktinya ia masih bisa mendobrak pintu kamarku.
Ya, gaya pacaran kami memang aneh, bahkan aku menganggap hubungan kami hanya sekedar status. Itulah sebabnya aku tak pernah mengenalkan Adry pada ibuku atau keluargaku yang lain. Hanya ketiga temanku yang tahu, sebelum aku berpacaran dengan Adry mereka sering mengenalkanku dengan teman pria mereka, hal itu membuatku jengah dan mungkin ini juga yang memaksaku untuk berpacaran.
"Kedua orang tuanya bunuh diri setahun lalu, hal itu sepertinya membuatnya tertekan. Lalu seminggu yang lalu ia kehilangan kakaknya dalam kecelakan beruntun. Ya, kau bisa bayangkan sendiri tekanan yang ia tanggung dan apa yang dia lakukan untuk menghilangkan sakit hatinya itu." aku diam mendengarkan penjelasan Radit.
"Aku sudah curiga dengan dirinya sejak awal, aku meminta seseorang untuk menyelidikinya dan inilah informasi yang kudapat." Radit menghela nafasnya sebelum menoleh ke arahku. "Aku marah padamu, Mela, apa kau tahu itu?"
Apa salahku? tanyaku dalam hari, Radit selalu marah tanpa alasan yang je—
"Kau tak mengunci pintu dan membahayakan dirimu sendiri," ujar Radit seolah tahu apa yang sedang kupikirkan. Aku hanya bisa nyengir, tadi aku memikirkan banyak hal hingga lupa mengunci pintu. Aku sadar pekerjaan rumahku menumpuk, jadi aku buru-buru masuk rumah tanpa berpikir mengenai pintu yang masih belum terkunci.
"Mana aku tahu dia akan datang. Lagipula darimana dia tahu rumah ini," ujarku tak mau disalahkan. Memang bukan salahku kan? Coba kalau si gila Adry tak datang, semua pasti akan aman tentram terkendali dan tubuhku juga tak akan sakit karena terjatuh.
Aku korban dan seharusnya tak disalahkan, Radit tega sekali menyalahkan istrinya sendiri, padahal ia tahu tubuhku sakit semua karena bertarung dengan Adry.
"Soal itu sebaiknya kau tanya sahabatmu apakah mereka pernah memberikan alamat rumah ini pada pria itu. Aku akan memagari rumah ini supaya kecerobohonmu itu tak membuat masalah lagi." Aku tak suka rumah berpagar, menurutku hal itu terlalu berlebihan. Aku lebih suka halaman yang terbuka.
"Aku rasa itu tak perlu, toh dia tak akan kembali lagi."
"Jangan membantah, Mela!" bentak Radit yang mungkin sudah kehilangan kesabarannya. Kesabaran Radit itu setipis tisu, hal kecil saja bisa membuatnya marah besar. Kadang aku begitu ingin membungkusnya dalam box dan mengirimnya ke negara Kenya supaya tak ada lagi Radit yang marah setiap saat.
Namun, tentu saja aku tak sekejam itu, meskipun dirinya pemarah, wajahnya standar dan perilakunya yang mesum tak tahu tempat, Radit tetaplah suamiku. Dia yang mentransfer uang ke rekeningku setiap bulan, jadi kalau aku mengirimnya ke Kenya hal ini tentu akan menghambat laju perekonomian dalam hidupku. Biarlah Radit tetap disampingku meskipun dengan segala sifat antiknya.