"Saya sudah memperkenalkan calon istri saya dan sudah mengecek dokumen itu, jika ada hal lain yang perlu dibicarakan, silakan telepon saya nanti. Permisi, saya sibuk, saya harus kembali sekarang." Radit menarik tanganku dengan kasar, aku yakin ini hanya alasan Radit supaya Pak Bondan tak menanyakan banyak pertanyaan padanya.
"Enak aja, dibilang aku nggak mau."
"Permisi, kami pergi dulu." Lelaki botak itu mengangguk, tak ada niat sama sekali dari dirinya untuk membantu wanita malang sepertiku. Ada apa dengan orang jaman sekarang yang tak memiliki perikemanusiaan?
Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan, tak ada orang yang bisa membantuku sekarang. Aku kira Pak Bondan akan membantu, tapi ternyata aku salah, pengacara itu terlihat tak peduli jika Radit telah memaksa wanita cantik sepertiku. Mungkin aku harus membayarnya dulu agar pengacara itu peduli. Radit tak hentinya tersenyum, aku ingin mencakar wajahnya itu supaya ia tak bisa tersenyum lagi, bagaimana bisa dia bahagia di atas penderitaanku?
Selama perjalanan pulang, aku merenungi nasibku yang tiba-tiba sial, aku tak pernah merasa melakukan sesuatu yang bisa membuatku terkena karma seberat ini. Radit adalah ujian terberat yang harus aku hadapi setiap hari selama di kantor, dan kini, aku berpotensi akan menghadapi ujian itu selama 24 jam, Tuhan, salah apa diriku?! Aku hanya mencuri koran!
"Sudahlah, seharusnya kau bersyukur menikah dengan orang sesempurna diriku." aku tak tahu apa yang bisa melunturkan sifat angkuh dan narsis Radit tapi jika produk seperti itu memang ada, aku pasti akan akan membelinya berapapun harganya.
"Semakin cepat kau menikah denganku, semakin cepat perusahaan itu menjadi milikku. Apa kau tak bangga punya suami kaya?" Aku mendelik, Radit selalu saja seenaknya. Belum menikah saja sudah seperti ini, apalagi jika sudah resmi, bisa dibayangkan hidupku akan seberantakan apa.
Aku segera keluar dari mobil Radit ketika kita sudah sampai di rumahku. Berada di dekat Radit membuat tanganku gatal untuk memukul kepala pria itu hingga otaknya bisa kembali ke tempat seharusnya.
"Jangan ikut masuk!" Radit tak menghiraukan ucapanku, ia mengikutiku masuk ke dalam rumah.
"Sayang, kau harus terbiasa berbagi dengan calon suamimu ini," Aku memijit kepalaku yang pusing karena tingkah Radit. Aku menghempaskan tubuhku ke sofa, beberapa jam bersama Radit telah menguras banyak energi dalam diriku. Mengomel dan mengumpat ternyata membutuhkan energi besar.
Setelah menarik napas sebentar, aku menyadari bahwa Radit telah menghilang. Aku mencarinya ke dapur, mungkin saja pria itu kelaparan dan berniat untuk mencuri mie instan milikku. Mataku terbelalak ketika melihat ponsel berhargaku berada di tangan Radit. Aku tak tahu apa yang pria itu lihat tapi tentu ini bukanlah hal yang bagus untukku. Rahasia terbesarku ada di sana.
"Radit!" teriakku, aku langsung mengambil ponselku dari tangan usilnya. Radit mengerucutkan bibirnya seperti anak kecil.
"Mel, aku kan belum baca adegan uh ah-nya," Wajahku memerah karena malu, rahasia besarku terbongkar. Bagaimana aku bisa seceroboh ini? Bodohnya aku yang tak mengunci ponselku. Aku tahu apa yang baru saja dilihat Radit, pasti ia membaca koleksi ebook erotisku.
"Eh, ngapain deket-deket?" ujarku panik karena tangan Radit yang berada di pinggangku membuatku ia tak bisa kemana-mana. Jantungku berdetak dengan kencang, mulutku terbuka dan tertutup, tak tahu mau berbicara apa.
"Bagaimana kalau kau mempraktekkannya padaku? Aku bersedia menjadi korbanmu kalau masalah ini."
Aku memukul bahu Radit, membuatnya mengaduh kesakitan. "Sekarang sudah menjadi korban kan?" tanyaku setelah berhasil menguasai diriku dari keterkejutan karena ulah Radit.
"Aku belum menikah denganmu tapi kau sudah melakukan kekerasan padaku," gerutu Radit mengusap bahunya yang terkena pukulan mautku.
"Otakmu perlu dibenahi," makiku.
"Otakmu juga perlu dicuci, Sayang." Sialan Radit yang membuatku malu. Getaran dari benda di tanganku membuat rasa maluku teralihkan.
"Halo, Ma?"
"Mela kenapa kau tak pernah menelpon, Sayang? Bagaimana kabarmu?"
"Baik, Ma, Mama sendiri bagaimana?" tanyaku. Aku tahu sebentar lagi akan ada pertanyaan wajib dari ibu tersayangku itu, pertanyaan yang tak pernah berganti format sejak dua tahun yang lalu. Pertanyaan inilah yang sering membuatku malas untuk menelpon orang yang telah melahirkanku ini. Aku memang bukan anak yang baik, tak mau menelpon ibuku hanya karena takut dengan kata 'calon' yang pasti akan keluar dari mulut sang ibu.
"Mama juga baik. Apa kamu sudah memiliki calon, Nak?" nah, benarkan? Apa kataku tadi. Aku memutar mataku, andaikan yang ditanyakan ibuku adalah calon legislatif atau calon presiden Amerika, mungkin jawabannya akan lebih mudah bagiku, setidaknya mesin pencari seperti Google masih bisa menemukan jawabannya.
"Kok diam, Sayang, belum ya? Mama sih nggak masalah, tapi temen-temen mami pada nanya, masa jawaban mami itu-itu terus dari dua tahun yang lalu, 'aduh, Jeng, masih lama kayaknya, Mela masih mau kerja' gitu aja terus jawabannya, kan nggak kreatif, Mela," aku menghela napasku, ibuku memang sangat kreatif saat mendesakku untuk menikah. Dan sayangnya aku tak sekreatif itu untuk bisa menghindar dari desakan ibuku.
"Kalau ada yang nanyain masalah kapan Mela nikah, bilang aja Mela bakal nikah kalau sudah waktunya," jawabku. Aku melirik Radit yang tiba-tiba tersenyum aneh. Perasaanku tidak enak ketika melihat raut licik yang ditampilkan oleh mantan bosku itu.
Radit merebut ponsel di tanganku, ia memegang ponsel dengan erat hingga aku kesulitan ketika ingin merebutnya kembali.
"Halo, Tante, perkenalkan saya Radit, kekasih Mela, saya sudah melamarnya kemarin, tapi Mela bilang dia tak mau. Padahal saya sangat mencintainya, Tante. Hanya karena saya bosnya di kantor, ia menolak saya." Dengan segala kekuatan, aku kembali merebut ponselku, aku bahkan menarik dasi Radit dengan kuat supaya pria itu kesakitan. Namun sial, karena sepertinya aku terlambat untuk mencegah bencana yang akan terjadi.
"Mela!"