Aku tertawa puas ketika melihat Radit yang menutup hidungnya karena mengganti popok Arthur. Melihat Ekspresi Radit yang pucat dan seperti hampir pingsan membuat tawaku semakin meledak.
Radit mengerucutkan bibirnya, menatapku dengan tatapan memelas. Dia pikir aku peduli? Jangan harap! Aku berbalik meninggalkan Radit dan Arthur, bersenandung riang, seolah hari ini adalah hari terbahagia dalam hidupku.
Karena kemarin aku sudah bertugas merawat Arthur maka hari ini adalah giliran Radit. Radit akan kabur lagi hari ini, ia bilang ia harus bertemu dengan Alex untuk membahas project mereka. Tentu saja aku tak percaya dan memutuskan untuk menelpon Alex langsung. Jawaban yang aku terima begitu melegakan, karena Alex bilang ia tidak bekerja dan tidak akan membicarakan pekerjaan di hari Minggu.
Saat kebohongannya terbongkar, Radit hanya nyengir tanpa dosa, bibirnya sudah maju bersenti-senti saat aku menjelaskan tugasnya hari ini. Aku yakin aku bisa menguncir bibirnya itu dengan karet gelang saking majunya itu bibir.
"Mela, sekarang dia nangis, padahal popoknya sudah diganti dan aku sudah pastikan kalau popoknya tidak terbalik lagi. Shussh, oey, diam anak tampan. Om gak gigit kok kecuali sama istri Om." Aku langsung menoleh ketika mendengar suara Radit, ia sedang menggendong Arthur yang menangis.
"Mela, ini anak kenapa nangis? Cengeng ya?" aku menarik nafas dalam, mengeluarkan dengan sangat perlahan sebelum menjawab pertanyaan aneh Radit.
"Radit direktur utama yang tampan, pintar dan nggak bodoh-bodoh amat, apa kau sudah memberinya minum? Makan?"
"Itu kan tugasmu!" balas Radit.
"Enak saja, sudah kubilang itu tugasmu! Apa kau tak dengar saat aku menjelaskannya tadi?" Tanpa kata, Radit menyerahkan Arthur padaku. Sepanjang perjalanannya ke dapur Radit hanya menggerutu tanpa jeda.
"Hai, Arthur, sudah jangan menangis, Om jahatnya lagi bikinin makan buat Arthur." Aku menghapus air mata di pipi Arthur dan memberinya majalah yang tadi aku baca, Anak itu akhirnya diam dan meremas kertas majalah dengan kuat, mengeluarkan segenapa amarah yang terpendam. Aku bermain dengannya, selagi menunggu Radit.
"Untung ya, Nak, ayah kandungmu bukan Radit, bisa kelaparan kamu seharian. Nangis dibilang cengeng, belum lagi pasang popok sering kebalik—"
"Mela, apa maksudnya itu? Aku ayah yang baik tahu?" Radit sudah kembali dengan membawa susu serta makanan untuk Arthur.
"Tidak ada, aku hanya curhat pada Arthur, iyakan anak manis?" Radit mendelik, tapi ia memilih diam dan menyuapi Arthur yang berada di pangkuanku.
******
"Mela, jaga matamu, kau sudah punya suami." Aku mengerucutkan bibirku saat Radit dengan teganya menjewer telingaku. Padahal aku hanya memanjakan mataku dengan melihat makhluk tampan, tapi Radit dengan teganya justru menarikku menjauh.
Saat ini kami sedang berada di supermarket, Radit dan aku memutuskan untuk membawa Arthur jalan-jalan. Kebetulan, hari ini adalah saatnya aku belanja bulanan, jadi kita tak perlu mengadakan rapat atau voting untuk menentukan tujuan jalan-jalan kami.
Biasanya saat aku dan Radit ingin keluar jalan-jalan, kami harus melewati fase berdebat, musyawarah lalu kemudian voting sebelum pergi. Hal ini disebabkan oleh selera kami yang berbeda. Radit suka pantai, aku tidak suka berpanas-panasan jadi malas kalau ke pantai, Radit tidak suka belanja, aku jelas sangat suka, Radit suka makan di restoran mewah, aku tidak, karena tempat itu terlalu sepi dan membosankan menurutku.
"Kenapa kau beli mie instan banyak sekali? Itu tidak baik untuk kesehatan." Ujar Radit saat aku mengambil 10 bungkus mie instan.
"Ini lebih praktis Radit, aku tak perlu repot saat lapar di malam hari."
"Kembalikan, Mela. Beli yang lebih lebih sehat." Aku tak mempedulikan Radit dan tetap memasukkan mie tersebut ke trolley. Radit sepertinya lebih memilih untuk mengalah kali ini, karena ia hanya menggelengkan kepalanya dan kembali memusatkan perhatiannya pada Arthur yang berada di gendongannya.
"Wah, anak Pak Radit dan Bu Mela lucu sekali." Aku tersenyum kikuk saat Kayla datang menghampiri kami. Aku mengenalnya sebagai resepsionis di perusahaan Radit, ia baru bekerja sebulan sebelum aku mengundurkan diri, jadi aku tak terlalu mengenalnya. Tunggu sebentar, aku dipanggil Bu?! Aku masih muda, belum jadi ibu-ibu. Protes yang ingin aku keluarkan masih tertahan di bibirku.
"Jadi anak ini mirip siapa? Aku atau Mela?" tanya Radit antusias. Kayla memiringkan kepalanya menatap Arthur, kali ini ia melihat Arthur dengan seksama, bukan hanya sekilas seperti tadi.
"Ehm, tidak ada—" aku menahan tawaku saat Kayla mengatakan dengan jujur bahwa tak ada diantara kami yang mirip Arthur. Berbeda denganku, wajah Radit justru terlihat masam, menyadari hal itu kayla segera menambahkan, "tapi hidungnya mirip Pak Radit kok."
"Tidak perlu berbohong, tentu saja dia tidak ada mirip-miripnya dengan kami, memang dia anak orang lain." Kayla melongo, mungkin baru kali ini ia tahu bahwa Radit itu memang memiliki otak yang susah dimengerti. Kasihan sekali pegawainya memiliki bos seperti Radit.
Kayla mencoba untuk tetap tersenyum meskipun aku yakin ia kesal pada bosnya ini. Siapa yang tak kesal mendapatkan pertanyaan menjebak seperti tadi. Kayla berpamitan kepada kami karena kekasihnya sudah menunggunya di tempat kasir. Aku dan radit kembali melanjutkan berbelanja daging setelah Kayla pergi.
"Mela, aku ingin anak yang mirip denganku, nanti kita bikin ya," ucap Radit tanpa sadar situasi dan tempat dimana ia berada sekarang, seorang ibu-ibu yang sedang memilih daging di samping kami pun langsung menoleh menatap kami berdua.
"Dia sedang amnesia, otaknya tidak berada pada tempat yang pas, maaf Bu, silahkan kembali berbelanja," ujarku meminta pengertian. Aku melotot pada Radit, mengajaknya pergi dari tempat itu. setidaknya aku bisa menyelamatkan mukaku, secepatnya.
"Aku tak tahu ada orang di samping kita tadi, tapi bagaimana lagi aku terlanjur bicara. Kenapa kau malah menjelekkanku sih? Otakku masih berada di posisi yang pas belum bergeser." Aku akan membalas ucapannya saat Arthur mulai rewel dan akhirnya Radit menyerahkan Arthur padaku. Suami yang sangat pengertian sekali.
Kami mempercepat kegiatan belanja kami, Arthur terlihat begitu lelah saat kami sampai di kasir, anak itu memilih banyak barang tadi, bahkan Radit sempat mengomel karena Arthur ingin membeli semua permen yang ia lihat.
*******
Aku menguap beberapa kali saat menunggu Mami menjemput Arthur, ini sudah jam 10 dan Mami masih belum nampak, Mami bilang ia akan menjemput Arthur malam ini, tapi sampai sekarang ia masih belum datang juga.
Mataku langsung terbuka lebar ketika mendengar suara bel, Radit dengan cepat membuka pintu, tersenyum bahagia menyambut Mami.
"Mami, Sayang, akhirnya datang juga," ujar Radit dengan antusias, Mami, menatapnya dengan curiga, sementara aku tentu lebih pintar berakting dari Radit, aku tersenyum sopan dan memeluk Mami sebelum dengan semangatnya mengambil Arthur yang tidur di kamar.
"Arthur sehat, Mam, kami merawatnya dengan baik dan benar. Tak ada yang terlewat, makanan tidak telat, jalan-jalan sudah, popok aman, semuanya sempurna!" ujar Radit meyakinkan Mami yang curiga bahwa kami tidak menjaga Arthur dengan benar.
"Baiklah, Mami percaya, dan Mami harap kalian segera punya anak sendiri, usaha tiap malam sudah, pengalaman merawat anak sudah, nah tinggal kalian berdoa pada Tuhan, ok?" aku dan Radit kompak mengangguk.
Senyum lebar menghiasi wajah kami berdua saat melihat mobil Mami yang berlalu pergi.
"Mela, ayo usaha."
"Enak saja, kau saja tak bisa merawatnya mau usaha. Oh, iya aku lupa memberitahumu kalau seminggu ini aku tak bisa, ehmmm kau tahu wanita—" aku menggantung ucapanku.
"Sialan!" maki Radit.
"Tenang saja, aku sudah membelikanmu banyak sabun dan body lotion tadi."
********
baiklah, dongeng penuh kemesuman ini berakhir dengan Radit yang main sama sabun, sekian......
bye see y