Aku menutup telingaku dengan bantal, siapapun orang yang telah mengetuk pintu rumahku tentu tahu bagaimana caranya mengganggu pagi seseorang. Ketukan pintu itu semakin keras, membuatku mau tak mau harus membuka pintu untuk manusia tak tahu diri yang telah mengganggu tidur seorang pengangguran. Bahkan pengangguran pun tak bisa tidur nyenyak di zaman sekarang.
Dengan mata yang masih mengantuk serta rambut acak-acakan, aku keluar dari kamarku, menuju pintu depan tempat suara kegaduhan itu berasal.
"Mela! Buka pintunya!" meskipun aku masih mengantuk, otakku sudah mampu mendeteksi sang pemilik suara yang kini sedang meneriakkan namaku. Dengan kesal aku membuka pintu malang yang baru saja mendapat kekerasan dari Radit.
"Astaga, lihat dirimu, kau jelek sekali!" rasa kantukku tiba-tiba hilang begitu melihat wajah Radit dan mendengar apa yang baru saja diucapkannya. Bagus, aku akan menikah dengan seorang pencela. Sepertinya mulai sekarang aku harus terbiasa dengan kata-kata kejam Radit.
"Jelek-jelek begini, aku akan menikah dengan seorang direktur utama, apa kau percaya?"
"Sial sekali pria itu mendapatkan wanita sepertimu." Radit menyingkirkan tubuhku dan langsung masuk ke dalam rumah, rumahku. Aku menatap punggung tegap itu dengan tajam, aku baru saja tak dianggap di rumahku sendiri. Memangnya aku bidak catur yang bisa digeser seenaknya?
Dengan langkah kaki penuh tekad dan keyakinan, aku menyusul Radit. aku memegang pundaknya dan memaksanya untuk berbalik. "Kau pikir kau siapa? Ini rumahku, kau tidak bisa seenaknya masuk begitu saja."
"Aku dirut sial yang akan menikahimu, apa kau lupa?" aku memutar mataku, belum sempat aku membalas, Radit sudah memberikan perintah padaku, "cepat mandi dan berganti pakaian, kita akan fitting baju."
Aku masih berdiri di tempatku, tak beranjak sama sekali. Enak sekali pria ini, datang tak diundang, masuk rumah orang seenaknya dan sekarang justru memerintahku dengan arogannya. Aku melotot padanya, tapi itu semua tak ada artinya bagi Radit, ia justru mengangkat tangannya dan menyentuh rambutku yang berantakan.
"Kau harus keramas, ketombemu banyak," ucap Radit enteng. Radit mengeluarkan ponselnya, aku melotot menyadari apa yang akan dilakukannya. Belum sempat aku menghindar, suara kamera sudah terdengar lebih dulu.
"Radit!" teriakku sambil berusaha mengambil hp yang berada di tangannya.
"Menjauh dariku, kau belum mandi." Radit berusaha menghindar, tapi aku juga tak mau kalah untuk merebut ponselnya. Aku harus berjinjit untuk mengambil ponsel yang berada tangan kanan Radit, tangannya yang terangkat semakin menyusahkanku untuk mendapatkannya.
Aku mengalungkan satu tanganku ke lehernya, menjadikannya pegangan agar aku tak terjatuh karena berjinjit. Tanpa kuduga, Radit melingkarkan tangannya di pinggangku, membuat mataku otomatis terbelalak. Apa yang dilakukannya?! Aku mundur untuk menghindari wajah Radit yang semakin mendekat. Perjuanganku untuk meraih ponsel Raditpun terlupakan. Aku gugup, Radit begitu dekat denganku hingga aku bisa merasakan nafasnya di permukaan kulitku. "Ra-radit."
"Kau bau, cepat mandi," WTF! Aku segera melepaskan diri dari Radit dan pergi dari hadapan manusia pencela yang akan menjadi calon suamiku. Kurang ajar sekali dia! Oh, Tuhan, berikan aku uang dan kesabaran untuk menghadapi Radit.
"Jangan lama-lama!" aku menutup pintu kamarku dengan keras menjawab teriakan Radit. Aku masih tak bisa mengontrol emosiku sekalipun air dingin telah mengguyur kepalaku. Radit telah berhasil merusak hidupku, dan itu bukanlah hal positif, aku bisa cepat tua jika Radit terus memancing emosiku seperti ini. Beberapa kali aku menghela nafas panjang, tapi itu sama sekali tak berpengaruh untuk menenangkan kekesalanku.
Aku memilih baju secara asal, tak peduli apa yang akan dipikirkan calon suamiku tersayang. Celana jeans dan kaos oblong tentu tak akan sesuai dengan seleranya tapi aku memang sengaja ingin memancing emosinya sehingga ia bisa merasakan apa yang aku rasakan sekarang. Aku pastikan dadanya akan panas menahan bara amarah.
"Mela, cepatlah!" pintu kamarku terbuka, menampilkan Radit yang begitu terpana dengan penampilanku. Luar biasa ternyata celana jeans dan kaos mampu membuat seorang Radit terpesona hingga tak mampu berkata-kata.
"Apa yang kau pakai itu?!" aku memiringkan kepalaku dengan wajah paling lugu yang aku miliki. Ekspresi Radit sudah seperti banteng yang siap menerkam buruannya. Aku tersenyum puas dalam hati, rasakan panas yang membakarmu, Radit, rasakan dendam Nyai Mela, hahahaha.
Radit membuka lemari pakaianku dengan kasar, membuatku lagi-lagi harus bersabar untuk menghadapi sikapnya. Tarik nafas panjang, keluarkan pelan-pelan.
"Pakai ini." Radit menyodorkan sebuah gaun selutut berwarna hijau tosca padaku, aku menggeleng tak mau menuruti perintahnya. Radit menggeram, menahan marah, seperti biasa matanya menatapku dengan begitu tajam dan mengancam tapi itu sudah tak berpengaruh padaku, dia bukan bosku lagi, dia hanya Radit seorang pria yang mengaku sial karena menikah denganku, tak ingatkah dia, siapa yang memaksaku menikah?
Radit memberikan sundress itu padaku, aku tak bisa menolak karena Radit memaksa tanganku untuk memegangnya. "Cepat ganti pakaianmu, kau sudah membuang—" Radit melihat jam yang melingkar di tangannya. "5 menit 36 detik waktu kita."
"Aku tak mau, Radit."
"Pakai, kau sadarkan kalau sebentar lagi kau akan menikah dengan seorang jutawan, apa pantas kau memakai pakaian seperti itu?" aku langsung menutup wajah Radit dengan gaun yang berada di tanganku setelah ia selesai mengucapkan kata-kata tak berbobot itu.
Suara pintu yang diketuk, menyelamatkanku dari amarah Radit yang pasti sudah memuncak. Dengan cepat aku berlari dari kamarku, menghampiri sang pemilik ketukan penyelamat. Aku membuka pintu dengan semangat, dan begitu aku membuka pintunya aku tak tahu harus menangis atau tertawa melihat siapa yang ada di sana.
"Adr." Lesung pipi yang aku rindukan muncul di wajah tampannya, membuatku terpana meskipun sebentar.
"Hai!" aku mendelik ke arahnya, tanganku sudah gatal untuk mengorek telingaku dan memastikan bahwa aku tak salah dengar. Apa dia bilang? Hai! THE FREAKING HAI!
Setelah satu bulan tak ada kabar sama sekali, tiba-tiba dia muncul sekarang, menyapaku seolah tak ada yang salah sama sekali. Kekasihku ini, memang tak tahu diri, satu bulan tak ada pesan atau telepon, tak ada kejelasan mengenai keberadaannya atau status kita. Apakah aku masih bisa menyebutnya kekasih?
"Mela, maafkan aku. Aku akan menjelaskan semuanya di dalam, ok?"
"Tidak bisa, kau sedang mengganggu waktu bermesraan kami," sebuah tangan memeluk bahuku, membuat tubuh Radit lagi-lagi menempel padaku. Aku melihat ekspresi terkejut dan bingung di wajah Adry. Jangankan dia, akupun juga terkejut dengan apa yang dilakukan Radit. Apalagi kata bermesraan yang Radit ucapkan sangat tak cocok dengan kenyataan sebenarnya. Kecuali jika bermesraan dalam kamus Radit sama dengan berdebat tiada akhir.
"Mela, bisa kau jelaskan?" tanya Adry, matanya menatap tangan yang masih berada di pundakku.
"Kau kekasihnya ya? Maaf, Bro, dia akan menikah denganku, tunggu saja surat undangannya."
************