Aku meringis merasakan gel dingin itu menyentuh kulitku, dokter yang sedang memeriksaku tersenyum. Mungkin baginya, aku adalah pasien kesekian yang memiliki ekspresi seperti ini. Aku tidak tahu gel apa yang dioleskannya tadi, aku juga tidak berminat untuk bertanya karena nantipun aku pasti akan lupa.
Radit menggenggam tanganku dengan erat, ia tampak gelisah dan gugup. Padahal tadi saat berangkat, Radit lah yang paling bersemangat. Dia terus saja bercerita mengenai apa yang akan dilakukannya jika anaknya lahir, padahal kita saja belum tahu usia kandunganku.
Setelah tadi dokter menanyakan beberapa hal padaku, seperti HPHT dan keluhan yang mungkin aku rasakan, dokter menyuruhku untuk berbaring dan disinilah aku sekarang, menunggu penuh kekhawatiran dan gugup.
Aku menatap layar yang berada di sebelah ranjangku, tak mengerti dengan apa yang saat ini aku lihat. Aku hanya tahu itu kondisi perutku dan tak mengerti bayiku ada di posisi mana, kanan, kiri atas atau bawah?
"Selamat Ibu Mela atas kehamilannya, usianya adiknya masih sekitar 4 minggu. Ibu dan bapak lihat, ini adalah kantung janinnya—"
Aku sudah tak mendengarkan apa yang dikatakan dokter, aku hanya terpaku dengan pernyataan bahwa aku sedang mengandung. Jujur saja aku takut, memiliki anak sama dengan memiliki tanggung jawab yang semakin besar. Aku tidak tahu apakah aku dan Radit bisa melakukannya.
"Masa awal kehamilan adalah masa yang rawan jadi mohon untuk bapak menjaga istrinya dengan baik, jangan sampai kecapekan, jangan berpikir terlalu berat, mengkonsumsi makanan bergizi dan vitamin yang akan saya catatkan nanti."
"Nah, kamu nggak boleh kecapekan, berarti kamu di rumah saja, tidak boleh ke rumah Caca apalagi menemui pria yang sudah aku hajar itu. Mata juga dijaga, jangan jelalatan kemana-mana supaya mata kamu tidak capek. Ingat jangan banyak pikiran, apalagi mikirin mantan."
Aku melirik Radit yang terus berceloteh menyampaikan segala hal yang tak boleh aku lakukan. Dokter Arini, terlihat menahan tawanya mendengar semua ucapan Radit.
"Radit, bisakah kau diam? Ingat setelah ini kau harus mencium Alex."
Radit langsung diam, ia menunjukkan wajah jijik setiap kali aku menyebutkan hukumanku itu. Kemarin ia memohon padaku agar mengubah keputusanku, tapi aku suka melihat Radit tersiksa jadi aku tak mengabulkan permintaannya.
"Sayang jangan begitu, aku masih normal. Apa kau tidak cemburu aku mencium pria lain?"
Dokter Arini langsung tersedak, sementara aku mengulum senyumku. Penderitaan Radit adalah kebahagiaan untukku, semakin Radit merana, aku semakin bahagia.
Setelah dokter memberikan resep padaku, aku menyeret Radit untuk segera menuntaskan proses pembayaran lalu pergi ke apotek. Aku sudah tidak sabar untuk pergi ke rumah Alex. Dia tidak tahu apa-apa mengenai hal ini, aku melarang Radit untuk memberitahunya, aku takut Alex akan kabur jika mendengar hukuman Radit.
"Sayang, kamu tidak boleh terlalu capek, kita pulang lalu istirahat, bagaimana? Atau kamu mau berbelanja sebentar? Aku antarkan dan kamu boleh membeli apapun."
Aku tetap menggeleng, kekeh dengan keputusanku. Aku hanya ingin melihat ekspresi jijik Radit dan Alex, setelah itu pasti akan bahagia dan tertawa puas.
Selama perjalanan menuju rumah Alex, Radit mengemudi bagaikan kura-kura, dia tidak mempedulikanku yang marah-marah karena dia mengulur waktu. Suara klakson terus terdengar gara-gara Radit membuat kemacetan di setiap lampu merah yang kami lewati.
Aku menguap, perjalanan ini sangat lama dan membosankan, Radit berkali-kali membujukku untuk tidur, tapi aku tidak mau. Dia pasti akan membawaku pulang jika aku sampai tertidur.