empat

53.9K 2.9K 68
                                    

Aku duduk di hadapan orang tuaku, di sampingku Radit sedang bercerita mengenai kemalangannya. Bagaimana ia kehilangan ayahnya dan sekarang ia juga harus merasakan patah hati karena aku menolaknya. Aku hanya diam selama ia bercerita, tak ada gunanya mengelak karena Radit sudah berhasil menguasai orang tuaku dengan kebohongannya.

Ibuku bahkan sudah seperti remaja yang sedang menonton drama romantis, air matanya beberapa kali turun mendengar Radit menceritakan perjuangannya untuk mengejarku. Radit menempatkan dirinya sebagai tokoh pejuang cinta, sedangkan aku? Aku dijadikan tokoh antagonis, sang wanita yang menolaknya, yang buta akan perhatian dan kasih sayangnya hingga mengabaikan segala perjuangan dirinya untuk mendapatkanku. Pfftt... semoga saja bibirnya jontor setelah ini, seperti pinokio.

Aku ingin muntah mendengar kata cinta yang keluar dari mulutnya, bahkan Patkai dan Sun Go Kong lebih pandai memaknai cinta daripada Radit. Pria ini hanya tahu mengenai uang dan kekuasaan. Baiklah, aku tak munafik, aku tahu uang bisa sangat menyilaukan tapi masalahnya di sini adalah aku harus mengorbankan masa depanku.

Aku memimpikan menikah dengan sosok lelaki tampan, mapan dan bertanggungjawab. Dan Radit tak memenuhi kriteria itu, dari cara dia memaksaku sudah menunjukkan betapa minimnya rasa tanggung jawab dalam dirinya. Dia tak peduli denganku dia hanya peduli pada harta warisan sialan yang menjadi sumber bencana dalam hidupku. Andai aku tahu dimana surat wasiat itu, pasti sudah aku bakar dan abunya aku biarkan bertebaran di rumah Radit, mengganggu pernafasan pria itu hingga giliran Radit lah yang harus membuat surat wasiat. Aku rasa itu rencana pembunuhan terselubung yang bagus.

Ayahku, menatapku cukup lama, aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Selama 25 tahun hidupku, aku masih tak bisa menebak jalan pikiran ayahku, dia adalah orang yang tak banyak berbicara, marahpun jarang.

"Mela, apa kau mencintainya?" tanya ayahku.

"Tidak," jawabku tegas, Radit menggenggam tanganku dengan keras, memperingatkanku untuk menjawab sesuai keinginannya. Jangan harap kau manusia penindas!

"Kenapa? Dari cerita nak Radit, dia sangat mencintaimu." Aku melirik Radit.

"Tak ada kata cinta di antara kami, Ayah. Dia ingin menikahiku karena-"

"Karena Mela hamil." Bukan, bukan aku yang mengatakannya, tapi pria sinting bernama Radit lah yang mengarang cerita gila nan nista itu. Mataku terbelalak, kebencian yang tadi kurasakan semakin berlipat ganda.

Mataku menatap Radit dengan tajam, wajah Radit berubah sedih, dan saat itu aku tahu, sang aktor sedang beraksi. Tangannya yang tadi menggenggam tanganku kuat, kini melonggar, matanya yang selalu menatapku tajam berubah melembut. "Sayang, maaf, aku tak bisa berbohong lagi, mereka harus tahu kebenarannya," dan ucapannya bagaikan sang manusia suci tanpa dosa, seolah ia tak terbiasa berbohong.

Sekarang, aku tak meragukan kemampuan Radit untuk menjadi seorang aktor sekaligus penulis naskah. Kemampuan bersandiwara yang ia miliki sama bagusnya dengan kemampuan mengarangnya, tinggal menunggu seorang sutradara untuk meliriknya dan Radit pasti akan terkenal. SEORANG CEO SEKALIGUS AKTOR FILM, RADITYA BRAMASTA BERHASIL 'MENGGONDOL' DUA PIALA OSCAR..... setidaknya begitulah gambaran judul di majalah yang menyorot prestasi Radit nantinya.

"Mela, kau-" mata ibuku terbelalak, tangannya menutup mulutnya, aku yakin dirinya sedang shock dengan apa yang baru didengarnya. Ayahku menatap Radit dan aku bergantian.

"Itu tidak benar-"

"Maaf," ucapanku lagi-lagi dipotong oleh Radit, nada bicaranya penuh dengan penyesalan. Aku sudah tak bisa menerima fitnah keji ini, Radit telah mencemarkan nama baikku sebagai seorang wanita.

Aku melepas tanganku dari genggaman Radit, perhatianku tertuju pada kedua orang yang telah membesarkanku. Dengan kemarahan yang membara, aku mengucapkan kalimat yang akan mengubah masa depanku, "aku tidak hamil, tapi aku mau menikah dengan pria ini."

Pandangan ibu dan ayahku langsung tertuju pada perutku, seolah mereka akan menemukan bukti hanya dengan melihatnya. Aku bersyukur aku tak memiliki lipatan lemak yang banyak. Setidaknya mereka tak akan menganggapku hamil hanya karena lipatan lemak yang menumpuk di perutku.

"K-kau mau menikah denganku?" tanya Radit, tak percaya dengan keputusanku. Aku hanya mengangguk, tak mau menatap wajahnya yang sangat layak untuk dipukul. Tapi sekarang aku harus sabar, aku bisa menyiksanya setelah menikah nanti. Ya, itulah rencanaku mau menikah dengan Radit, aku akan membalaskan dendamku selama ini, selama dua tahun aku hanya menjadi wanita penurut sudah saatnya aku berubah menjadi sang penuntut.

"Jadi kau tidak hamil? Lalu kenapa kau mau menikah dengannya?" tanya ayahku heran.

"Dia sudah memohon padaku selama beberapa hari, setidaknya aku harus menghargai usahanya itu. Bahkan dia repot mempersiapkan kedatangan kalian kemari, kita tak tahu jodoh, siapa tahu jodoh bisa dipaksa," jawabku. Orang tuaku baru datang dari Pekanbaru hari ini, ibuku begitu antusias untuk bertemu calon menantunya hingga memaksa ayah untuk cuti agar bisa datang ke Bandung menemuiku atau lebih tepatnya menemui Radit.

Radit pun menyambut berita kedatangan mereka dengan gembira, dia bahkan mengirim tiket untuk mereka, mengatakan pada ibuku bahwa ia ingin secepatnya menikahiku. Menikah, my ass! dia hanya ingin warisannya cepat cair. Mungkin aku harus membuatnya melarat, sebelum bercerai nanti, agar dia tahu bahwa uang bisa hilang kapan saja.

"Apa kau yakin, Mela? Menikah bukan hal main-main, Nak," kali ini ibuku yang berbicara, aku tahu di balik sifat penuntutnya sebenarnya ibuku perhatian padaku.

"Aku pikir, aku mau mencobanya," ucapku, meyakinkan mereka. untuk pertama kalinya, mereka berdua terlihat ragu dengan Radit.

"Terima kasih, Sayang," ucap Radit sambil memelukku, ingin aku melepas pelukan yang tak diharapkan ini, tapi aku tak mau mengingkari ucapanku sendiri. Aku sudah bilang mau mencoba menjalani hubungan ini dan salah satu konsekuensinya adalah kontak fisik. Tak mungkin aku berteriak saat dipeluk suami sendiri, jika dipeluk saja sudah berteriak, apalagi-

"Jangan merubah keputusanmu, kita bicarakan ini nanti," bisik Radit di telingaku, benar-benar penipu ulung. Radit melepas pelukannya dan kembali memasang wajah malaikatnya.

"Nak Radit, saya tak menyukai caramu berbohong seperti tadi, meskipun kamu mencintai Mela, kamu tak bisa menghalalkan segala cara untuk memilikinya, cinta tak harus memiliki, Nak," meskipun ucapan ayah seperti judul lagu, aku tetap bangga dengan kalimatnya. Radit terlihat salah tingkah karena kebohongannya ketahuan.

"Mela, ibu sama ayah mau ke rumah nenekmu dulu dan Nak Radit, saya tunggu kedatangan keluargamu," Radit mengangguk menjawab ucapan ayah. Aku memeluk kedua orang tuaku sebelum mereka pergi ke rumah nenekku yang hanya 15 menit dari sini. Biasanya aku akan ikut mereka, tapi masalahku dengan Radit belum selesai.

"Jadi-"

************

Emang sengaja itu dipotong 😏

Crazy MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang