tujuh

37.1K 2.5K 50
                                    

Selamat membaca!

******

Aku mendelik merasakan sebuah tangan yang berada di pinggangku. Entah apa maksud Radit menempel macam ulat bulu seperti ini, jujur aku risih dengan tangannya yang tak tahu malu itu. Aku sudah berusaha melepaskannya, tapi tangan Radit seperti habis terkena lem sehingga bisa menempel dengan kuat dan sempurna di pinggangku.

Adry yang duduk di hadapan kami terlihat penasaran dengan hubungan kami, wajahnya hanya menunjukkan raut wajah penasaran, tak ada kemarahan sama sekali di sana, membuatku bertanya-tanya, apakah pria tenang ini pernah hilang kendali? Dan pertanyaan terpenting adalah kenapa dulu aku mau berpacaran dengan makhluk datar macam dia?!

Aku merasa tak ada artinya bagi Adry, dia tak pernah marah saat aku dekat dengan seorang lelaki, bahkan sekarang saat ada seseorang yang mengklaim diriku sebagai calon istrinya, ia hanya diam dengan raut wajah penasaran. Penasaran dan bukannya cemburu! Rupanya sial sekali hidupku selalu bertemu dengan pria absurd macam mereka berdua.

Radit, terlalu sombong dan bermulut berbisa, hidupnya terpaku pada dirinya sendiri, tanpa memikirkan orang lain. Pantas saja dia masih lajang diusianya yang 33 tahun ini, wanita yang menjadi pasangan Radit harus sabar menghadapi sikap sombong dan blak-blakan pria itu, dan sial bagi diriku yang harus menikah dengan Radit.

Sementara Adry, pria yang menjadi kekasihku selama 6 bulan ini, memiliki sikap yang sangat tenang, terlalu tenang bahkan. Aku tak pernah melihat Adry marah, segala masalah yang pernah terjadi di antara kami ia sikapi dengan tenang dan dingin. Kadang sikapnya itu membuatku jengah dan bosan, hubungan kami terlalu datar, masalah yang ada pun hanya masalah kecil yang bisa diselesaikan sekali duduk. Hingga, tiba-tiba Adry menghilang tanpa kabar, membuatku bertanya-tanya akan alasannya. Apakah dia bosan denganku, seperti aku yang bosan dengannya dan hubungan ini?

"Jadi, kalian akan menikah?"

"Dua minggu lagi," sahut Radit dengan cepat. Pria ini seperti menegaskan bahwa Adry harus menyingkir dan tak menghalangi jalannya untuk menikahiku, aku akan tersanjung jika saja Radit adalah orang yang kucintai dan alasan pernikahannya bukanlah harta, tapi mau bagaimana lagi, khayalanku mengenai lelaki posesif yang tergila-gila padaku, harus ku simpan dalam-dalam.

Aku selalu suka karakter seperti itu dalam novel dan aku pikir akan menyenangkan memiliki pria semacam itu. Sayang sekali harapan tinggallah harapan. Aku tak akan pernah menemukan lelaki idamanku begitu aku menikah dengan Radit, kecuali aku ada niatan berselingkuh dan berburu pria idamanku.

"Mela, kau mengerti kalau hubungan kita bahkan belum putus kan?"

"Oh ya? aku kira kau sudah memutuskanku satu bulan yang lalu." mata hitam itu menatapku intens, aku tak bisa menebak apa yang ada di pikiran Adry. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi marah atau kecewa, pun saat dia bertanya padaku tadi, tak ada ekspresi yang bisa kubaca dari wajah tenang dan datar itu.

Tangan di pingganggku semakin mengencang, membuatku heran dengan apa yang Radit lakukan, aku meliriknya, dia tidak sedang menatapku, tatapannya tertuju pada Adry, keningnya berkerut menandakan ia sedang memikirkan sesuatu. Aku tak tahu apa yang dipikirkannya, tapi kesunyian yang hadir di antara kami bertiga membuatku tak nyaman. Adry memang terbiasa diam dan mengamati tapi Radit bukanlah tipe seperti itu kecuali dalam hal bisnis. Kediaman Radit membuatku heran, apalagi sekarang mereka berdua saling bertatapan, tak ada yang mau mengalihkan perhatiannya padaku.

"Baiklah, aku pergi dulu. Mela, aku rasa hubungan kita sampai di sini?"

"Ya." Adry mengangguk dan tersenyum kecil, ia pergi begitu saja tanpa berusaha mempertahankanku. Wow, aku merasa sangat berharga.

"Darimana kau mendapatkan pria macam itu? Dia pasti sangat mencintaimu, karena membiarkanmu menikah dengan orang lain," lagi, Radit berhasil memancing emosiku hanya dari satu kalimat yang ia ucapkan. Aku menatapnya tajam dan bibir Radit secara otomatis membentuk sebuah senyum mengejek. Dia pasti puas sekali melihatku yang selalu sial saat memilih seorang pria.

Radit menarik tubuhku semakin dekat, membuatku sadar bahwa tangan Radit masih berada di pinggangku sedari tadi. senyuman di wajah Radit perlahan menghilang seiring dengan jarak yang semakin menipis di antara wajah kami. Mata Radit begitu intens menatapku hingga membuatku meneguk ludah karena gugup.

"Jangan pernah bertemu dengannya lagi." Radit meniup mataku setelah mengatakannya, membuat mataku mengerjap karena terkejut. Aku tak lagi merasakan hangat tubuh Radit yang menempel denganku, pun dengan tangan yang tadi bertengger di pinggangku. Radit telah berdiri di hadapanku, dengan seringaian khas yang membuat siapapun akan tergoda untuk memukul wajahnya hingga seringaian itu hilang dari sana.

"Aku tahu aku memang mempesona," ucapan penuh kebanggaan itu membuatku mual. Aku juga menyalahkan diriku sendiri yang bisa-bisanya terpana dengan apa yang baru saja dilakukan Radit. Aku sudah tak waras sepertinya.

"Ayo, berangkat, kita sudah terlambat dari jadwal yang ditentukan." Suara Radit berubah serius, membuatku terheran dengan perubahannya yang begitu cepat. Radit meraih tanganku dengan tidak lembut, menarikku hingga aku mengikuti langkah lebarnya. Aku kepayahan mengikutinya yang menarik tanganku dengan paksa, tapi Radit sepertinya sama sekali tak peduli dengan hal itu.

Radit membuka pintu mobil untukku, menyuruhku masuk dengan tatapannya yang mengancam. "Aku belum mengunci pintu rumahku."

"Cepat masuk, aku yang akan menguncinya," Radit menunjukkan kunci berbandul panda yang berada di tangannya, itu adalah kunci rumahku yang entah bagaimana ceritanya bisa berada di genggaman Radit sekarang. Mungkin Radit mengambilnya saat dia masuk ke kamarku tadi, mengingat kejadian tadi membuatku kesal. Radit selalu saja seenaknya, bahkan sepertinya ia telah menganggap rumah ini sebagai rumahnya sendiri, mengingat betapa santainya dia memasuki kamarku.

Aku jadi berpikir, jika nanti aku tinggal dengan Radit, pasti dia akan lebih leluasa untuk mengganggu ruang privasiku. Sementara surat perjanjian yang aku siapkan kemarin masih belum ditandatangani oleh Radit, padahal itu adalah surat penting mengenai hakku sebagai seorang wanita yang terperosok dalam kesialan menikah dengan manusia narsis macam Radit.

"Apa kau punya hutang yang begitu banyak hingga membuat kening itu mengerut permanen?" aku menoleh melihat Radit yang sudah duduk di balik kemudi, sepertinya aku terlalu tenggelam dalam pikiranku hingga tak menyadari bahwa Radit telah selesai melakukan tugasnya, mengunci rumahku.

"Kalau aku punya hutang, apa kau mau membayarnya?" tanyaku dengan wajah meyakinkan.

"Kau yang menikmati uangnya, kenapa aku yang harus membayar?"

"Radit, sudah tugas seorang pria untuk bertanggung jawab, seharusnya kau tahu itu." Radit mendengus, tangannya sudah bergerak menyetir mobil, perlahan meninggalkan rumahku.

"Bayar hutangmu sendiri, aku tak memiliki urusan dengan itu, dan jangan lupa dengan pesanku, menjauh dari mantan kekasihmu."

"Memangnya ada apa dengan Adry?" tanyaku penasaran.

"Pria yang tak memiliki ekspresi lebih berbahaya dari pria sombong dengan senjata di tangannya."

***********

Crazy MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang