Selamat membaca!
*******
Radit ngambek, dia mogok bicara setelah kejadian tadi. Bahkan kini ia hanya melihatku yang sedang makan, tak ada komentar mencela yang biasanya ia keluarkan. Ketenangan ini menyenangkan tapi sedikit mengganggu menurutku. Dari tadi Radit menatapku, tak mengalihkan pandangannya sama sekali.
"Apa aku secantik itu hingga kau melihatku terus menerus?" tanyaku setelah aku menghabiskan burger yang aku pesan.
"Tidak, kau biasa saja, mantan-mantanku lebih cantik darimu," jlebb, sakit. Seharusnya aku tahu kalau aku akan mendapatkan jawaban seperti ini dari Radit tapi tetap saja ada rasa kecewa yang aku rasakan ketika Radit seolah membandingkanku dengan mantannya. Mungkin ini hanya perasaan perempuan yang memang pada dasarnya suka dengan pujian, makanya aku sedikit merasa kecewa dan sakit. Ya, pasti itu alasannya, tak mungkin aku peduli dengan apa yang Radit pikirkan tentangku.
"Iya, tapi sayang sekali kau tak bisa menikah dengan wanita-wanita cantik itu dan harus terjebak dengan wanita biasa sepertiku." kepala Radit mengangguk dengan ringan dan tanpa dosa, menyetujui ucapanku yang sebenarnya hanya sarkasme.
Aku menahan kegeramanku atas sikap Radit itu, tak mungkin aku memukulnya di tempat umum seperti ini, aku tak mau dianggap sebagai wanita bar-bar penganiaya calon suami. Aku tak akan merusak nama baikku hanya karena tak bisa mengendalikan nafsuku untuk memukul Radit.
"Apa kau tak bisa mengucapkan kata paman?" aku menghela nafasku mendengar pertanyaan yang sudah keempat kalinya dilontarkan oleh Radit. sepertinya dia benar-benar ingin aku memanggil Rafa dengan sebutan paman.
"Bisa."
"Lalu kenapa tak kau lakukan?" tanya Radit terlihat geram.
"Jika ini mengenai Rafa..."
"Paman Rafa," Potong Radit. Aku tak mengerti apa perbedaan dari aku memanggil Rafa dengan sebutan paman atau tidak, menurutku Radit terlalu membesarkan masalah yang amat sangat kecil ini.
"Baiklah, Paman Rafa, ah, ini sulit, lagipula kau lebih tua darinya dan aku juga tak memanggilmu paman." Kali ini Radit tak menjawab atau mengajakku berdebat, ia menarik pergelangan tanganku, menyeretku keluar dari restoran cepat saji yang kami datangi 10 menit yang lalu.
Aku berusaha melepaskan cekalan tangannya tapi tak berhasil, Radit mencengkram tanganku dengan kuat. Apapun yang kini sedang dipikirkan Radit aku yakin itu bukan hal baik, aura kemarahan terasa sangat kental menyelubungi dirinya. Dan kali ini aku bertanya-tanya, apa masalah pria ini dengan sebutan Paman.
"Masuk," perintah Radit sambil membuka pintu mobilnya. Aku tetap berdiri di samping mobil, tak peduli dengan mata Radit yang menatapku dengan mengancam.
"Masuk atau aku akan mencium bibirmu." Tubuhku menegang mendengar ancaman gila yang baru saja terlontar dari mulut Radit. Aku menatap wajahnya dan tak menemukan ekspresi ragu sedikitpun, tekad kuat jelas terpancar dari matanya. Bahkan dengan kurang ajarnya mata itu tertuju pada bibirku.
Dengan cepat aku masuk mobil Radit, menyelamatkan bibirku yang mungkin akan dimangsa oleh pria gila yang berstatus calon suamiku. Aku tak mengerti apa yang merasuki Radit hingga seperti ini, diam dan berbahaya.
Pintu di sampingku tertutup dengan kencang, membuatku sedikit terlonjak karenanya. Yang aku pikirkan sekarang adalah apa yang akan Radit lakukan padaku, apa dia akan melakukan kekerasan hanya untuk memaksaku memanggil Rafa dengan sebutan paman? Alasan Radit akan sangat konyol jika seperti itu.
Aku mengerutkan keningku ketika Radit masih tak menjalankan mobilnya, ia hanya meremas setir dengan kuat, menyalurkan rasa marah yang aku masih tak mengerti bermula dari mana.
Wajahnya tiba-tiba menengok padaku, matanya menelusuri wajahku, entah apa yang sedang dicarinya tapi setelah beberapa detik ia mendengus. Aku menahan nafas saat wajahnya semakin mendekat, aku berusaha untuk keluar namun pintu di sampingku tak bisa dibuka.
"Kau tak akan bisa kemana-mana gadis pembangkang." Dan ucapan itu adalah pembuka kesialanku, wajah Radit semakin dekat. Jantungku berdetak kencang, otakku bertanya-tanya apa yang akan dilakukannya, tanpa sadar aku menahan nafas saat jarak kami semakin menipis.
"Jangan panggil aku paman, karena... aku.suamimu," ucapan penuh penekanan itu belum bisa merasuk ke dalam otakku sebelum sebuah benda hangat menempel di bibirku, membut otak dan tubuhku membeku.
Secepat bibir itu mendarat di bibirku, secepat itu pula perginya. Tanpa dosa, Radit meraih setir mobilnya, meninggalkanku yang masih membeku dan menerka apa yang baru saja terjadi. Aku mengerjapkan mataku ketika merasakan mobil yang aku naiki bergerak perlahan.
"Seatbelt," ucap radit dingin. Meskipun kesal, aku tetap melakukan apa yang diinginkan Radit, bagaimanapun aku tetaplah warga negara yang baik dengan mematuhi peraturan berkendara.
"Apa yang baru kau lakukan?" tanyaku karena sudah tak mampu menahan rasa campur aduk yang ada dalam diriku. Pertanyaan dalam otakku tak akan terjawab jika aku tak menanyakan langsung pada si pelaku.
"Apa salahnya mencium calon istri nanti kita juga akan melakukan yang lebih dari ini," Radit menjawab dengan begitu ringan, tak ada beban apalagi rasa bersalah. Mungkin hanya aku yang terpengaruh dengan kejadian gila tadi, entahlah karena ekspresi Radit sama sekali tak terbaca.
Aku geram mendengar jawabannya, seolah kita akan benar-benar menjadi suami istri lengkap dengan ritualnya. Enak saja, tak akan ku biarkan hal ini terjadi, aku tak akan terbuai lagi seperti tadi. Tadi adalah kesalahan, kesalahan besar karena aku hanya diam seperti orang bodoh, bukannya mendorong Radit menjauh.
"Jangan harap aku akan melakukannya denganmu."
"Aku tidak hanya berharap, Mela tapi aku tahu pasti, kita akan melakukannya," Radit menoleh padaku dengan seringai menyebalkan yang terpasang di wajahnya.
"Dasar kau mesum!"
"Katakan itu pada wanita yang memiliki koleksi cerita erotis di handphone-nya." Sialan, Radit!
"Aku yakin kau lebih parah dariku, kau pasti memiliki video porno di handphone-mu." Ucapku dengan nada sedikit meninggi, aku tak terima, Radit kembali membicarakan aibku. Lagipula aku yakin Radit juga bukanlah orang yang suci dengan ponsel bersih tanpa gambar atau video ehem.
"Memang, apa kau mau menontonnya?" mulutku terbuka mendapat jawaban yang begitu frontal dari Radit. tanganku otomatis terangkat memukul kepala Radit yang entah terbuat dari apa.
Tuhan, aku tak tahu apakah aku bisa bertahan dengan orang seperti ini. Serumah dengannya, melihat wajahnya dari bangun tidur hingga tidur lagi, mendengar suaranya yang menyebalkan dan aku harus menghadapi kemesuman Radit setiap hari. Aku ingin menyerah sekarang, membayangkannya sudah membuatku ingin menangis meratapi nasib dan mulutku yang sudah mengatakan iya kemarin.
"Sakit Mela, aku tak keberatan jika kau liar di ran... hmmm" aku menutup mulutnya dengan tanganku, menghentikan kata laknat yang akan keluar dari mulutnya. Bagaimana bisa ada makhluk seperti ini di bumi! Hancur sudah hidupku, bye bye ketenangan, aku akan merindukanmu.
"Mela, tanganmu kotor!" maki Radit ketika dia sudah berhasil melepaskan tanganku dari mulutnya.
"Ups..."
*************