sembilan belas

17.7K 1.8K 54
                                    

"Jadi, Mami memberiku lingerie dan ... mainan."

"Mainan anak?" Tanya Rafa masih tak mengerti dengan maksudku. Wajahku kembali memerah mengingat benda-benda laknat yang tadi kulihat. Sebenarnya, aku ingin menjualnya ke online shop karena benda laknat itu pasti tak terpakai tapi entah kenapa aku malu sendiri jika menjualnya. Hingga sekarang, benda-benda itu masih tersimpan rapi di kolong tempat tidur.

"Mainan itu ... masa kau tak tahu."

Tawa Rafa meledak begitu menyadari apa yang kumaksud. Ia memegang perutnya, tertawa dengan keras hingga menarik perhatian para pengunjung pameran ini.

Aku perlahan-lahan menjauh dari Rafa, tak mau ikut-ikutan dianggap gila. Padahal tadi dia sudah berjanji untuk tidak tertawa, nyatanya dia malah ngakak tak tahu tempat.

Aku tak tahu darimana mami bisa memiliki ide yang unik seperti itu, mungkin ia masih berpikir bahwa aku dan Radit mainnya kasar sehingga dengan bahagianya ia memberiku kado berupa borgol dan— aku tak sanggup melanjutkannya.

Sebenarnya, aku tak tahu sama sekali mengenai seni tapi daripada diam di rumah dan tak melakukan apapun aku pikir lebih baik menemani Rafa berburu tante untukku.

"Ponakan kurang ajar, kenapa kau meninggalkanku jadi tontonan orang, kau tahu aku hampir diseret satpam tadi."

"Salah sendiri menertawanku." Rafa menutup mulutnya dengan tangan, menahan tawa yang akan keluar.

"Lagipula mertuamu pengertian sekali memberimu sesuatu untuk dimainkan bersama Radit. Kalau aku yang dapat hadiah seperti itu, tentu aku akan memanfaatkannya dengan baik. Kenapa kau tak bilang pada suamimu, aku yakin Radit tahu bagaimana cara menggunakannya."

Aku mencubit pinggang Rafa, biarkan aku dianggap durhaka yang penting aku sudah menyalurkan kekesalanku.

"Rafa?" Seorang wanita cantik menghampiri kami, tubuhnya tinggi dan langsing, wajahnya sedikit chubby, matanya yang bulat memandang kami penuh keingintahuan.

"Hai, Love. Aku mencarimu sejak tadi tapi tak menemukanmu. Perkenalkan ini adikku."

"Keponakan, Paman. Kau sudah tua jangan suka berbohong," sahutku. "Hai, Kak, aku Mela, keponakan tercantik yang dimiliki Paman Rafa."

"Haruskah kau memanggilku paman sekarang?" Bisik Rafa geram.

"Namaku April, tapi entah kenapa pamanmu suka sekali memanggilku Love, senang bertemu denganmu, Mela." Aku menjabat tangannya, tersenyum manis dan cantik pada calon tanteku. Semoga Rafa pandai merayu dan bisa mendapatkan cinta wanita bernama April ini, supaya pamanku cepat menikah dan tak lagi menelponku malam-malam hanya karena galau chatnya tak terbalas oleh sang gebetan.

Aku rasa Rafa tak sebodoh Radit dalam hal merayu perempuan, setidaknya ia tak akan mengancam atau memaksa wanita untuk menikah dengannya.

"Apa kamu menikmati pamerannya, Rafa?" Aku memperhatikan dua orang yang sedang PDKT itu, entah kenapa aku merasa lucu melihatnya.

"Tentu saja, tapi aku tak tahu banyak mengenai lukisan, jadi—"

"Mau aku jelaskan sambil berkeliling?" Tanya April antusias.

"Tentu saja, Mela kau mau ikut atau tidak?" Meskipun kalimat itu berupa pertanyaan, namun percayalah bahwa ada maksud pengusiran dibaliknya. Jika mau berniat mengajakku tentu tak perlu bertanya seperti itu.

Habis manis sepah dibuang ini namanya, tadi dikejar sekarang dibuang. "Tidak usah, aku mau menelpon suamiku tersayang, menanyakan kabar bisulnya sudah sembuh apa belum. Bye paman, bye kak April."

Aku pergi meninggalkan mereka berdua yang sedang dimabuk asmara. Aku memahami bahwa step pendekatan adalah salah satu step penting sebelum menjalin hubungan serius.

Melihat ke sekeliling, aku tak menemukan sesuatu yang menarik perhatianku. Aku rasa aku hanya tak tahu bagaimana menikmati seni.

Akhirnya aku memutuskan untuk berburu makanan karena perutku sudah protes, aku melangkahkan kakiku menuju restoran yang berada tak jauh dari sini, aku hanya perlu menyebrang dan sampai.

Setelah memilih tempat duduk yang dekat dengan jendela aku mengeluarkan ponselku yang bergetar sejak aku menyebrang tadi. Nama Radit terpampang nyata di depan mataku.

"Mela, kenapa lama sekali, kenapa baru diangkat, habis ngapain sih. Kau tahu ini ketiga kalinya aku menelpon—" aku meletakkan ponselku di meja agar tak mendengar omelan Radit yang seperti emak-emak kehilangan anak perawan.

Aku memesan makanan seolah tak ada Radit yang masih tersambung di telepon. Pelayan yang melayaniku pun ikut heran karena mendengar teriakan Radit yang memanggil namaku. Suara Radit memang luar biasa kerasnya, dulu saat aku masih jadi sekretarisnya aku sering mengorek telingaku untuk memastikan indra pendengaranku baik-baik saja.

"Halo, Radit," sapaku setelah selesai memesan makanan.

"Mela, kenapa kau mengabaikanku? Dan itu tadi siapa? Aku mendengar suara laki-laki."

"Aku sedang di restoran dan pelayannya laki-laki, apa aku perlu menggantinya dengan perempuan, Tuan Radit?" Tanyaku menyindirnya.

"Jangan mengejekku Mela, kenapa telponku tak diangkat sedari tadi?"

"Aku sedang menyebrang tadi, apa kau mau aku tertabrak karena mengangkat telponmu? Aku tak menyangka sebegitu inginnya kau menjadi duda." Aku memutar mataku ketika Radit menceramahiku untuk menelponnya setiap 4 atau 5 jam sekali. Untuk apa? Apa dia sudah kecanduan dengan suara merduku?

Aku memasang headset di hpku karena sepertinya Radit tak akan mematikan sambungan telponnya dalam waktu dekat. Suamiku itu masih bercerita mengenai harinya yang dipenuhi kertas dan laporan membosankan.

Aku makan sambil mendengarkan Radit bercerita, sesekali aku akan bertanya ini dan itu.

"Setelah makan kau ke kantorku saja, berbagi penderitaan dengan suamimu ini," ucap Radit setelah bercerita panjang lebar.

"Maaf Suamiku, aku sudah dipecat oleh pemilik perusahaan tempat kau bekerja. Bahkan ia mengataiku butiran debu, kau kan tahu betapa cantiknya istrimu ini, masa aku disamakan dengan butiran debu yang bisa bikin bersin. Aku tak mau menginjakkan kakiku di sana nanti dia marah."

"Dia tidak akan marah, Sayang, kalaupun dia marah aku akan menciummu supaya sedihmu hilang," bujuk Radit dengan rayuan yang membuatku mual seketika.

"Tidak, Radit aku tidak mau."

"Mela, butiran debuku sayang, kemari ya? Sekali-kali berbakti pada suami." Aku mengerucutkan bibirku, aku dipanggil butiran debu lagi. Mana ada merayu tapi mengolok seperti ini.

"Radit jangan kepala batu deh, aku tidak mau. Lebih baik aku ikut arisan di tetangga, siapa tahu dapat tiket liburan. Bye Radit, kerja yang semangat nanti pulang bawakan martabak rasa coklat keju, coklatnya yang banyak, kejunya sedikit, jangan lupa tambah kacang juga yang banyak, ok? Awas kalau tidak pas dengan pesananku, aku tak mau menyetrika bajumu lagi."

Aku mematikan sambungan telponnya tanpa menunggu jawaban Radit. Setelah membayar aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Pekerjaan rumahku sebenarnya banyak karena dengan soknya aku mau menjadi ibu rumah tangga biasa.

Padahal aku sering keteteran mengurus ini dan itu, cucian numpuk, kamar belum dibersihkan lantai belum dipel, apalagi masak. Problematika semua istri tanpa pembantu.

Begitu sampai rumah, aku mengganti pakaianku dengan daster, rambutku yang tak terlalu panjang ku kuncir kuda. Setelah menyiapkan peralatan tempur, aku mulai melakukan tugasku. Sengaja aku menyetel musik dengan keras untuk menambah semangat sekaligus hiburan.

Sambil mengepel bokongku bergerak mengikuti irama musik dangdut koplo yang aku putar.

"Suit... suiiit." Aku menoleh ketika mendengar cuitan dari belakangku.

Senyum mesum Adrylah yang pertama kulihat, dengan panik aku menggenggam gagang pel dengan erat.

"Apa yang kau lakukan di sini?!"

*********

Ingatkan siapa Adry? Si mantan yang ditinggal kawin itu 😄😄

See y guys

Crazy MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang