"Aku tak tahu kau suka sepakbola." Aku hanya mengangkat bahu menanggapi komentar Radit, ia duduk di sampingku dengan popcorn di tangannya.
Aku melirik popcorn tersebut, menunggu Radit peka dan menyodorkannya padaku. Detik demi detik berlalu begitu lambat, aku menghitung dalam hati, hingga detik ke 20 dan masih tak ada tanda-tanda Radit akan membagi makanan itu denganku.
Aku bersenandung pelan, berharap Radit akan ingat padaku yang kelaparan ini. Masih tak ada respon dari Radit meskipun aku sudah menggumamkan satu lagu. Sementara saat aku melirik lagi, popcorn itu tinggal setengah. Mana bagianku?!
"Pelit lagi ....suamiku pelitnya kumat lagi ... lapar lagi ....aku jadi lapar lagi!" Lagu Suamiku Kawin Lagi dari Sibad akhirnya berubah menjadi lagu Pelit Lagi gara-gara Radit yang tak peka.
Radit menaikkan alisnya, menatapku, lalu kemudian seperti baru tersadar, ia nyengir dan melihat popcorn di tangannya. "Ini tinggal setengah Mela, kau buat saja sendiri, di dapur banyak jagungnya, kau tinggal memanaskannya—" Radit tak melanjutkan ucapannya karena aku sudah merebut popcorn yang menjadi sengketa itu.
Aku memakannya dengan cepat, seperti orang yang tak makan berhari-hari. Radit hanya menggelengkan kepalanya ketika melihat cara makanku.
"Hati-hati makannya, nanti kau tersedak." Karena Radit seperti tak ada niat untuk merebutnya lagi, aku akhirnya menuruti ucapan Radit. Ia menyodorkan air minum padaku, membuatku sedikit mengernyit bingung dengan sikapnya yang tumben baik.
Radit kembali memusatkan perhatiannya pada layar tv yang sedang menyiarkan pertandingan sepak bola, tak menyadari aku hanya diam sedari tadi. Aku membulatkan tekad sebelum memutuskan untuk bertanya pada Radit mengenai hal yang menggangguku akhir-akhir ini.
"Radit," panggilku ragu. Radit menoleh, menungguku untuk berbicara. Aku masih sedikit ragu sebenarnya, bagaimana kalau Radit menggodaku setelah bertanya hal ini? Dia pasti mengira aku kepedean dan terlalu mengharapkannya.
"Mela, kenapa diam saja?"
"Eh, begini aku mendengar dari Alex kalau kau menyukai sejak pertama aku bekerja di kantormu, apa itu benar?" Radit tak menjawab, ia justru kembali menonton tv dengan santainya.
"Radit!" Panggilku sekali lagi.
"Tidak, Mela!" Aku memaksa wajahnya untuk menoleh padaku, Radit tampak bosan, aku mencari kebohongan di wajahnya tapi, aku tak menemukannya. Mungkin hal ini karena diriku tak mengerti teknik mendeteksi kebohongan. Lagipula Radit adalah seorang aktor ulung.
Aku melepaskan wajah Radit dan kembali menonton pertandingan sepak bola yang ada tv. Anehnya, aku merasakan tatapan Radit yang sedari tadi tak lepas dari wajahku, aku meliriknya, melihat tangan Radit yang terangkat menuju rambutku.
"Kenapa ada popcorn di rambutmu?"
"Ambil saja apa susahnya, kenapa kau malah menatapku terus?" Ujarku kesal. Radit tertawa kecil sebelum menggodaku.
"Apa istriku sedang marah?" Aku menatapnya tajam, membuat Radit bungkam dan memilih menahan tawanya. Baguslah kalau ia sudah belajar dari pengalaman, sehingga aku tak perlu repot mengusirnya dari kamar lagi.
Aku sudah berhasil menemukan kunci rahasia yang dimiliki Radit, jadi kalau aku sudah marah Radit sudah tidak bisa masuk seenaknya ke kamar. Dia harus tidur di ruang tamu jika terjadi pertengkaran antara kita.
Sebenarnya Selama dua minggu pernikahanku dan Radit tak ada masalah yang terlalu serius, yang ada hanyalah masalah kecil dan selalu berakhir dengan perdebatan sengit, aku dan Radit bukanlah orang yang mudah mengalah. Kami berdua akan mempertahankan pendapat masing-masing meskipun kita tahu kadang kita berada di pihak yang salah. Menang adalah hal penting di rumah ini tak peduli benar atau salah.
"Halo, Mi?" Radit mendekatkan ponselnya ke telinga, tangannya yang bebas ia gunakan untuk merangkul pundakku.
"Hah? Kenapa harus menitipkannya padaku? Teman mami bisa menitipkannya ke baby sitter." Telingaku langsung siaga ketika mendengar kata baby dan menitipkan. Jangan sampai ada bayi di rumah ini, bisa naik tekanan darahku mengurusi monster kecil itu. Aku tak tahu apa-apa mengenai bayi dan Radit? Aku yakin pria itu sama bodohnya denganku jika menyangkut hal ini.
"Sudah ada di depan rumah? Kenapa mami tidak bilang kalau mau datang?" Beberapa detik setelah Radit menyelesaikan ucapannya, suara bel berbunyi dengan nyaring, aku menelan ludahku tak mau mengambil resiko membuka pintu dan menemukan bayi di gendongan tangan mami.
Aku menyikut pinggang Radit, mendesaknya untuk segera membuka pintu. Radit sedikit menggerutu sebelum beranjak dari duduknya dan menuju pintu depan.
Suara tangisan langsung bisa kudengar begitu Radit membuka pintu, doaku tak terkabul sepertinya. Mami dan Radit terlibat obrolan sengit sebelum Mami memanggil namaku. Habis sudah aku!
Dengan senyum yang terpasang, aku menghampiri Mami dan mencium tangannya. Aku menatap horor pada bayi yang berada di gendongan Radit, bayi itu masih menangis dengan keras, sementara Radit dengan kikuk menepuk pantat bayi tersebut.
"Lihatlah, bukankah ini pemandangan yang indah?" Aku mengangguk dengan terpaksa.
Mami mengajari aku dan Radit cara menggendong yang benar, cara membuat susu, mengganti popok dan berbagai hal ribet lainnya. Mami Vera menjelaskan semuanya dengan cepat dan sangat semangat. Aku dan Radit hanya mengangguk-angguk meskipun kadang tak mengerti dengan apa yang Mami ucapkan.
Radit merupakan anak tunggal, dan aku adalah anak terakhir, jadi wajar jika kita berdua sama-sama tak mudeng dengan masalah ini. Apalagi kakakku yang sudah memiliki bayi rumahnya jauh dan aku jarang berkunjung.
"Nah, Mela, Radit, ini buku panduan untuk kalian, bayi ini akan menemani kalian selama 2 hari, rawat dia seperti kalian merawat anak kalian nanti. Mami harus pergi sekarang, ingat jaga anak ini baik-baik."
Aku dan Radit sama-sama memandang bayi berumur satu tahun itu. Matanya telah tertutup, ia tertidur pulas saat aku menggendongnya tadi. Bayi laki-laki itu sebenarnya menggemaskan tapi saat menangis ia bagaikan penguasa yang sedang marah dan harus segera dituruti keinginannya. Semenakutkan itulah kekuatan bayi menurutku.
"Menurutmu, siapa yang tega menitipkan anak sekecil ini pada orang asing?" Tanya Radit sambil membawa bayi itu ke dalam kamar kami.
"Mami Vera," jawabku, di tanganku sudah ada satu tas besar berisi mainan dan baju.
"Bukan itu maksudku, siapa orang tua bayi ini?"
"Ya, mana kutahu." Radit melirikku tajam, tak puas dengan jawaban jujurku.
********
Aku masih begitu mengantuk saat mendengar suara tangisan bayi. Mataku yang masih begitu lengket mau tak mau harus terbuka karenanya. Aku melihat bayi yang tidur di sampingku, mencari alasan kenapa bayi ini menangis. Mungkin haus atau pup?
Membulatkan tekad, aku membuka popok itu. Bau harum langsung menyergap indra penciumanku dan membuat kantukku hilang seketika. Sementara Radit terlihat tak terganggu sama sekali, ia malah mendengkur dengan damainya. Apa hidungnya tak mencium bau busuk ini? Tapi dia juga mendengkur, seharusnya baunya juga masuk ke mulut, tapi kenapa dia tidak bangun? Aku memutuskan untuk berteriak membangunkan Radit.
"Radit! Bayinya pup! Bangunlah!"
********
Bye, see y