"Kau mau kemana? Katanya mau di rumah saja," ujar Radit tidak mengerti akan kegundahanku. Aku melepaskan pelukannya untuk menatap wajah suamiku itu.
"Bukan itu maksudku, kau tahu kan resiko orang melahirkan? Aku takut—"
"Enak saja mau meninggalkanku. Dosamu masih banyak terhadapku, kau harus menebusnya. Lagipula, aku tidak bisa mengurusi anak sendirian. Kalau dia mau minum bagaimana? Masa aku harus menggunakan dadaku. Aku tidak akan memaafkanmu jika kau meninggalkan kami. Sudah jangan berpikiran buruk, sekarang sebaiknya kita jalan-jalan supaya pikiranmu tidak aneh seperti ini."
Seperti biasa, Radit tak menerima penolakan. Setelah ia membuatkan susu dan sarapan untukku, dia memaksaku untuk pergi ke pusat perbelanjaan bersamanya. Radit beralasan bahwa ia membutuhkan baju baru, padahal aku tahu lemari kami sudah penuh dengan berbagai pakaian.
Peralatan bayi juga sudah kami beli, apalagi mami juga tak pernah berhenti untuk membelikan anak kami segala hal yang mungkin dibutuhkannya. Aku rasa justru mami adalah orang yang paling antusias diantara kami semua. Dia menelepon setiap pagi atau malam untuk menanyakan keadaanku, kalaupun tidak begitu maka ia akan datang ke rumah kami dengan membawa segala mainan dan pakaian bayi.
Aku melirik Radit, aku tidak tahu apa yang di pikirannya sekarang, sampai sekarang ia hanya diam dan terlihat fokus dengan jalan yang ada di depannya.
"Apa kau baru sadar kalau aku tampan?"
"Percaya diri sekali. Aku melirikmu karena kau hanya diam saja sedari tadi, siapa tahu kau diam karena menahan berak," balasku.
"Aku memang pendiam, Mela. Aku cool, tak banyak tingkah dan bermulut manis."
Aku ingin muntah mendengar apa yang baru dikatakannya. Meskipun telah cukup lama menikah dengan Radit tapi aku masih belum kebal dengan sifat narsisnya. Bagiku hal itu merupakan hal lucu sekaligus hal yang sangat mengganggu kesehatan telingaku.
Aku tidak tahu darimana Radit memiliki sifat itu, mami Vera tidak senarsis ini. Tidak mungkin juga ia mirip dengan almarhum Pak Erlangga yang setahuku sangat bijak. Aku hanya beberapa kali berbicara dengan ayah Radit, itupun hanya masalah pekerjaan.
Pak Erlangga meninggal sangat mendadak, ia dikabarkan terkena serangan jantung saat sedang berada di rumahnya. Aku ingat Radit menelponku untuk menghadiri pemakaman ayahnya, dia bahkan menyuruh sopirnya untuk menjemputku di rumah. Sampai saat ini aku masih belum mengerti apa alasannya memaksaku.
Setelah kematiannya aku pikir hartanya akan langsung jatuh ke tangan Radit, tapi ternyata Pak Erlangga memiliki rencana lain dengan mempersulit cairnya harta itu. Radit harus menikah, dan entah apa yang dipikirkan Radit ketika ia memilih dan memaksaku meskipun sudah ku tolak.
"Radit, di surat yang kutemukan di lacimu itu kau bilang akan memilih wanita lain, kenapa jadi tetap aku? Sudah bilang mau melepasku tapi ujung-ujungnya malah memaksaku untuk menikah denganmu."
"Awalnya memang begitu, tapi aku tidak bisa membayangkan hidupku dengan wanita lain. Jadi, aku memutuskan untuk memintamu menjadi istriku, siapa menyangka bahwa membujukmu itu susah. Sok jual mahal sekali..."
Aku menggigit tangannya yang sedang menggenggam tanganku. Radit langsung menarik tangannya dan melepas genggamannya di tanganku.
"Ini namanya KDRT, kau suka sekali menyakitiku."
"Itu salahmu sendiri. Apa kau mau anakmu menikah dengan orang gila yang tiba-tiba memaksa untuk menikahinya?"
Radit menghembuskan napasnya kasar, dia tahu aku benar. Radit memang gila telah memaksaku untuk menikah dengannya. Semoga saja anakku tak memiliki nasib seperti diriku. Memang cinta bisa tumbuh seiring dengan berjalannya waktu tapi alangkah lebih indah jika kedua orang yang ingin menikah telah memiliki perasaan sayang satu sama lain. Setidaknya jika sudah saling mengenal maka kesalahpahaman kecil bisa dihindarkan.