Dua Puluh Empat

43.8K 2.9K 95
                                    

"Ca, dari kemarin suamiku aneh," curhatku pada Caca, Caca mengalihkan perhatiannya dari film yang sedang ia tonton. Sedari tadi pun aku tak fokus dengan film apa yang diputar oleh Caca, aku hanya tahu kedua pemeran utama jatuh cinta lalu ciuman dan berakhir di ranjang, sayangnya kejadian setelah itu tak ditayangkan dan langsung pagi menjelang. Entah apa yang dilakukan kedua tokoh itu di bawah selimut.

"Aneh kenapa? Dia selingkuh?" tanya Caca dengan mata melebar.

"Bukan, jika Radit selingkuh aku tinggal menuntut cerai dan meminta uang bagianku, aku akan kaya mendadak setelah itu. Tapi ini bukan masalah itu, pagi ini Radit membuatkanku sarapan lalu ia membangunkanku dengan ciuman bukannya dengan celaan seperti biasanya, anehkan?"

Caca memiringkan kepalanya, menatapku, kemudian keningnya berkerut.

"Kau yang aneh, suamimu cerewet dan tidak pengertian kau sebut menyebalkan lalu sekarang saat Radit berubah menjadi penuh perhatian kau sebut aneh. Maumu bagaimana sebenarnya?"

Iya juga, mauku bagaimana? Aku menopang kepalaku dengan tangan, memikirkan Radit dan tingkah anehnya pagi ini. Radit selalu bangun lebih pagi dari diriku, termasuk juga hari ini, biasanya ia akan membangunkanku dengan paksa dan menyuruhku untuk mempersiapkan semua keperluannya tapi hari ini tidak, padahal aku sengaja pura-pura tidur untuk melihat apakah Radit sudah sembuh dari penyakit kemarin atau belum.

Radit bangun, mandi dan menyiapkan keperluannya sendiri, ia bahkan membuatkan aku sandwich ayam. Sementara aku makan dalam kebingungan Radit justru sibuk dengan ipad-nya, tak mengajakku bicara seperti biasanya. Aku merasa diabaikan.

"Mau sampai kapan kalian menikah?" tanya Caca, ia sudah tahu mengenai kesepakatanku dengan Radit, dirinya pula yang awalnya menentang pernikahan aneh kami ini.

"Sampai salah satu dari kita menyatakan cerai, kan aku sudah bilang kalau Radit tak mau aku memberi batas waktu. Aku bisa meminta cerai kapan saja dan bagianku tentu akan segera cair." Entah kenapa Radit bersikeras untuk tak mau memberi batas watu pernikahan kita, awalnya aku mengira bahwa Radit melakukan itu supaya ia bisa langsung menceraikanku jika ia menemukan wanita yang dicintainya, tapi sekarang aku mulai ragu dengan dugaan itu. Apalagi dengan keterangan Alex dan juga mami yang mengatakan bahwa Radit menyukaiku—

Aku menepuk kepalaku dengan tangan begitu menyadari hal penting itu. Radit berubah setelah ia bertanya mengenai apa yang tidak ku suka darinya. Apakah itu berarti ia berubah karena aku? Mami kemarin juga menyebut kata cinta begitu aku tanya.

"Jika kalian berdua saling mencintai dan tak ada yang mau bilang cerai bagaimana?"

"Ya, pernikahan ini akan terus berlanjut hingga kami tua," jawabku. Otakku yang lemot akhirnya berhasil menyatukan kepingan clue yang selama ini diberikan oleh Radit, Mami dan Alex. "Oh my God, Radit benar-benar mencintaiku. Dia tak akan menceraikanku dan aku akan terikat dengannya."

Mataku terbuka lebar, sementara caca hanya memutar matanya kemudian melemparku dengan bantal sofa.

"Anak SD jaman sekarang saja tak selambat dirimu, Mela. Aku kan sudah bilang diawal, Radit selalu memintamu lembur karena pria itu ingin berduaan denganmu tapi kau tidak percaya, aku juga bilang dia judes karena ingin perhatianmu tapi tentu saja otakmu yang bebal itu masih saja tak mau menerima kenyataan yang ada."

Aku menatap Caca tajam, enak saja otakku dibilang bebal, aku itu cerdas, hanya kadang-kadang aku terlalu cuek dan tak peduli dengan sekitarku. Apalagi cara Radit mengekspresikan perasaannya itu aneh.

"Otakku tidak bebal, Radit yang aneh, apa susahnya bilang dia mencintaiku."

"Kau pikir Radit tak punya gengsi yang besar? Kau tahu sendiri bagaimana ego suamimu itu. Dan kau juga aneh jadi jangan mencela Radit, kalian berdua itu sama dan diciptakan untuk bersama mencetak generasi absurd."

"Sialan kau Ca!"

******

Baru kali ini aku tak sabar menunggu kepulangan Radit. Aku sudah menunggu di depan pintu para pekerja yang membereskan alat-alat yang mereka gunakan untuk membuat pagar. Aku tak tahu apa saja namanya jadi lebih baik tak disebutkan supaya tak terjadi kesalahan nama.

Aku beberapa kali mengecek ponselku untuk memastikan tak ada pesan dari Radit yang menyampaikan bahwa ia lembur. Aku sebenarnya ingin menelponnya tapi aku tak mau dia besar kepala karena mengira aku kangen.

Aku tersenyum lebar ketika melihat mobill Radit yang masuk ke halaman rumah kami. Radit menatapku heran, sebelum menyapa para pekerja dan masuk ke dalam rumah dengan aku yang mengekorinya.

"Selamat sore, Radit."

"Mela, ada apa denganmu? Biasanya kau tak seceria ini. Oh ya ini aku bawakan martabak kesukaanmu, banyak coklatnya, kejunya sedikit."

Saking fokusnya dengan wajah Radit aku sampai tak menyadari ada makanan di tangannya, biasanya aku akan selalu tahu jika Radit membawa makanan, pasti hari ini hidung dan kepekaanku bermasalah.

"Terimakasih, sekarang mandilah dan aku akan menyiapkan makanan untukmu, kau belum makan kan?"

Radit menggeleng tapi ekspresinya masih tampak kebingungan. Namun beberapa detik kemudian, senyum menghiasi wajahnya. Tangan Radit tanpa diduga meraih pinggangku hingga tak ada jarak di antara kami.

"Tak biasanya kau pengertian seperti ini, apa kau menginginkan sesuatu dariku, Istriku? Atau jangan-jangan kau merusakkan barangku dan menggodaku supaya aku tidak marah?" aku mengerucutkan bibirku.

"Tidak, kenapa kau selalu berpikiran buruk tentangku? Aku tidak menggodamu dan aku juga tidak menginginkan sesuatu sekarang, mungkin nanti saat aku butuh perhiasan aku akan bilang."

Tanpa aba-aba langsung mencium bibirku.

"Kau matre sekali. Baiklah aku mandi dulu. Hati-hati di dapur, jangan ceroboh."

Radit pergi sebelum mengecup bibirku sekali lagi, setidaknya sifat mesumnya itu masih belum hilang. Rasanya aneh dengan sikap Radit yang manis itu. Biasanya pulang kerjapun ia akan berteriak karena aku tak menyambutnya lalu kami akan berdebat mengenai istri tak perhatian dan suami banyak maunya. Jika dipikir lagi, aku tak menyukai suasana rumah yang sepi seperti ini.

Setelah menyiapkan makanan Radit, aku duduk di ruang makan, memikirkan kata yang tepat untuk kusampaikan pada Radit nanti.

"Jangan melamun."

Aku mendongak melihat Radit yang sudah berganti pakaian dengan kaos dan celana pendek.

"Makanlah, aku sudah menyiapkannya untukmu."

Radit hanya melihat meja makan sekilas sebelum kembali memusatkan perhatiannya padaku.

"Mela, ada yang salah denganmu, cepat katakan apa masalahnya." Radit megambil duduk di depanku.

"Tidak ada yang salah, kau juga aneh sejak kemarin," balasku.

"Aku memiliki alasan yang jelas untuk itu, sekarang katakan apa masalahmu dan jangan coba menghindar. Tidak apa jika kau menjual salah satu bajuku atau melubangi celanaku dengan setrika lagi—"

"Jangan ungkit masa lalu. Aku hanya ingin bertanya.... ehm, kapan kita cerai?"

Brak

Aku memegang dadaku saat Radit menggebrak meja, sialan Radit, untung aku tak memiliki penyakit jantung.

"Dengarkan ini, Mela, aku tak akan pernah menceraikanmu. Sekarang katakan siapa lelaki yang kau sukai, sampai kau bertanya mengenai perceraian padaku. Aku tak segan untuk menghancurkan wajahnya hingga kau bahkan tak bisa melihat bentuk hidungnya lagi."

Aku tak menyangka Radit akan semarah ini, sebelumnya aku pernah bertanya hal ini dan respon Radit tak seperti sekarang.

"Tidak ada laki-laki lain, aku hanya ingin mengetes sejauh mana kau mencintaiku. Ternyata Tuan Radit yang menurut dirinya sendiri begitu sempurna, sangat mencintai istrinya dan tak mau kehilangannya, bukan begitu?" wajah Radit sedikit memerah sebelum kemudian memberi alasan mengenai tindakannya tadi.

"Diam Mela, aku hanya tak mau menjadi duda, jangan besar kepala."

******

seribu alasan setiap kali ku ajak jalan.... #eakkk

Bye see ya

Crazy MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang