"Mela, lepas dulu ya. Aku mau berangkat kerja."
Aku semakin mempererat genggaman tanganku pada Radit. Aku tidak ingin Radit pergi kemanapun, dia bisa saja pergi menemui wanita murah meriah itu. Beberapa hari yang lalu wanita yang tidak ingin aku sebutkan namanya itu datang kemari dan kembali memakiku. Dia bilang bahwa aku wanita kurang ajar, brengsek, murahan dan segala hal lain yang sangat menyakitkan telinga ketika didengarkan.
Aku masih ingat tuduhan absurd yang ia lemparkan padaku, ia menuduhku telah mengambil Radit darinya, padahal jelas aku tak melakukannya, Raditlah yang memaksaku untuk menikah. Dan sialnya aku terkena perangkap Radit hingga sekarang mengandung anaknya. Aku tidak mau menyalahkan diriku sendiri, pokoknya semua salah Radit. Aku mau berhubungan dengannya juga karena dia yang menggodaku, aku hanya wanita biasa yang ternodai kemesuman Radit.
"Sayang, bagaimana aku bisa kerja kalau kamu seperti ini?" tanya Radit dengan lembut. Akhir-akhir ini aku sering marah jika dia menggunakan kata-kata kasar. Aku sendiri tidak tahu kenapa moodku berubah-ubah, di dua bulan pertama kehamilan aku senang menyiksa Radit, bulan ketiga hingga keempat sekarang aku justru menempel kemanapun Radit pergi.
"Kau pasti mau menemui wanita murah meriah itu kan?"
"Tidak Sayang, aku mau kerja. Tuh lihat jamnya, aku hampir telat. Lepaskan ya, nanti aku belikan satu tangkai bunga mawar saat pulang."
Aku mengerucutkan bibirku sebelum melepaskan tangan Radit. Aku juga tidak suka menjadi manja seperti ini, semoga saja mood ku untuk menjahili Radit segera kembali. Untuk saat ini aku tidak suka melihat Radit merana.
Aku mengacak rambut Radit, ini adalah hobiku akhir-akhir ini. Untung waktu itu Radit tak jadi mencukur rambutnya hingga botak, dia berhasil membujukku untuk pulang ke rumah dan tidak mampir ke salon.
"Jangan mengintip tetangga sebelah lagi," pesan Radit setelah mengecup bibir dan keningku. Aku hanya menganggukkan kepalaku, aku tidak bisa berjanji soal hal itu, lelaki tampan adalah salah satu godaan terbesar bagi wanita.
Aku memiliki tetangga baru yang cukup menyegarkan mata. Dia baru satu minggu pindah ke komplek ini dan sudah membuat Radit uring-uringan karena sering melihatku mengobrol dengannya. Padahal aku sudah bilang ke Radit kalau aku hanya bersikap ramah pada tetangga baru, tapi tetap saja dia tidak percaya.
"Nanti mami ke sini, mami bilang dia sudah membelikan mainan dan pakaian untuk cucunya."
Aku menyembunyikan ketidak sukaanku. Mami terlalu cerewet semenjak aku hamil, terlalu banyak larangan dan perintah. Aku tidak boleh makan sembarangan, harus bergizi dan sehat, aku tidak boleh melakukan apapun selain duduk dan bersantai.
Aku melambaikan tanganku pada Radit yang sudah masuk ke dalam mobil. Radit langsung memencet klaksonnya saat aku melihat ke rumah sebelah. Aku kembali melambaikan tanganku, seolah tak terjadi apa-apa. Dasar posesif...
Pak Har, satpam baru kami membuka pagar untuk Radit, aku bercakap-cakap sedikit dengannya sambil menunggu Radit untuk benar-benar pergi.
Setelah Radit sudah pergi aku langsung masuk ke dalam rumah. Tak ada apapun yang bisa kulakukan. Mau keluar tapi mami mau ke sini, mau pergi ke rumah tetangga takut dosa. Akhirnya aku memutuskan menonton sinetron berjudul 'Azab Istri yang Tidak Bisa Menjaga Mata dan Tergoda Suami Tetangga'.
Aku terlalu fokus pada sinetron itu hingga tak menyadari mami yang sudah masuk ke dalam rumah.
"Sayang, bagaimana keadaanmu?" tanya mami sambil membawa banyak barang di kedua tangannya. Aku ingin membantunya membawa barang-barang itu tapi mami menghentikanku dengan tatapan tajamnya.