Aku menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhku. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 8, tapi aku begitu malas untuk meninggalkan tempat tidurku. Lagipula, tidak ada yang harus aku lakukan hari ini. Aku sudah tidak memiliki pekerjaan, dan itu berarti aku bisa bermalasan sepuasnya. Sayangnya otakku yang pintar ini tahu bahwa aku tidak bisa hidup tanpa uang, bermalasan satu atau dua hari memang tidak masalah, tapi jika sampai satu bulan aku bermalasan dan tidak mendapat pekerjaan maka aku harus bersiap untuk menggelandang di ibukota ini.
Aku memaksakan kakiku untuk melangkah ke kamar mandi, kejadian kemarin masih terekam jelas dalam ingatanku. Radit dan sifat pemaksanya telah memaksaku untuk mengambil keputusan ini— menjadi pengangguran. Setelah mencuci muka dan melakukan bisnis penting di kamar mandi, aku lalu mengganti pakaianku. Aku harus mulai mencari lowongan pekerjaan dan langkah itu dimulai dari membaca koran.
Aku keluar rumah, berniat untuk mencari penjual koran. Tapi baru sampai di depan rumah, niat jahatku mulai muncul. Sebuah koran tampak terselip di pagar rumah salah seorang tetanggaku. Aku ingat sang pemilik kemarin bilang bahwa ia akan pergi keluar kota selama seminggu. Melihat lingkungan yang sepi, aku segera menyebrang jalan. Rumah itu tepat berada di seberang rumahku. Tanganku yang telah terlatih, langsung mengambil koran tersebut dan segara pergi sebelum ada yang melihatku.
Sesampainya di rumah aku langsung tancap gas mencari kolom lowongan pekerjaan. Setelah beberapa menit mencari dan aku masih belum mendapatkan pekerjaan yang cocok, aku mulai sadar bahwa mencari pekerjaan itu susah. Meskipun begitu aku tak menyesal sudah menolak lamaran Radit. 'Apakah kejadian kemarin bisa disebut sebagai lamaran?' cibirku dalam hati. Lelaki seperti Radit benar-benar membuatku kesal dan sayangnya di zaman sekarang ini begitu banyak pria dengan tipe seperti itu. Arogan, mau menang sendiri, pemaksa. 'Lebih baik aku jomblo daripada tersiksa lahir batin' batinku. Aku meremas kertas koran yang sudah kubaca, sedikit kesal dengan banyaknya iklan penyedot wc disana.
"Mela!" suara itu sangat aku kenal. Suara yang selama dua tahun ini selalu menghantui hidupku, meneriaku dengan berbagai kata perintah disertai omelan panjang. Gedoran di pintu begitu mengganggu, belum lagi suara Radit yang terus menerus memanggilku. Semoga tetanggaku tidak mengira bahwa aku sedang ditagih debt collector, bisa turun harga diriku.
"Ada apa?!" sentakku saat membuka pintu, kekesalanku semakin memuncak saat Radit dengan seenaknya memasuki rumahku. Nampaknya sang bos besar lupa siapa sang pemilik rumah.
"Cepat ganti bajumu, kita akan menemui pengacara botak itu." Aku tetap berdiri di tempatku, tak peduli dengan Radit yang terlihat begitu panik.
"Apa kau tak malu, aku sudah menolakmu kemarin." Aku tahu ucapanku sangat kasar namun untuk menyadarkan orang seperti Radit hal itu bisa ditoleransi.
"Aku juga tak mau menginjakkan kakiku di tempatmu ini jika bukan karena harta warisanku," ujar Radit membuat darahku semakin naik. Enak saja dia mau menjadikanku sebagai tumbal dari keserakahannya.
"Keluar dari rumahku sekarang!" usirku.
"Baiklah, tak usah ganti baju," aku tak tahu apa yang terjadi setelah itu, tiba-tiba tubuhku terangkat dan sudah berada di pundak Radit, kepalaku terasa pening karena aliran darah yang mengalir dari kaki ke kepalaku. Aku memukul punggung Radit dengan kedua tanganku, namun hal itu sama sekali tak mempengaruhi Radit yang sudah berambisi untuk mendapatkan harta warisan dari ayahnya bagaimanapun caranya. Pria sialan itu tetap tak mau menurunkanku meski aku sudah berteriak seperti orang kesetanan.
"Hei, ternyata bokongmu seksi juga." Komentar Radit membuat wajahku merah karena marah.
"Bangsat, turunkan aku!"