Sentuhan tangan seseorang di wajahku membuat tidurku terusik, aku menyingkirkan tangan tersebut masih tak mau membuka mata. Tapi lagi-lagi tangan itu membelai wajahku.
"Radit menyingkirlah," ujarku dengan mata masih tertutup. Aku menarik selimutku hingga menutupi wajah sehingga Radit tak menggangguku lagi.
Aku mulai tertidur kembali saat selimut yang kugunakan ditarik dengan paksa. Mau tak mau aku harus membuka mataku yang sebenarnya terasa sangat berat, maklum saja aku baru mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit.
Wajah Radit yang tersenyum menjadi pemandangan pertama yang aku lihat. Aku tak menyangka jarak Radit ternyata begitu dengan wajahku. Bibirnya bergerak maju, aku tahu jika aku tak menghindar, bibir itu pasti akan menempel di wajahku. Aku mendorong wajah Radit dengan keras, membuatnya terjengkang ke samping.
"Mela!"
"Aku ingin tidur Radit. Mataku sudah tak mampu terbuka," gerutuku. Aku memunggungi Radit, ingin melanjutkan tidurku yang sempat terganggu.
"Mela, aku ingin itu."
"Ada di dapur. Aku ingin tidur. Pergilah dari kamarku."
"Aku tidak ingin makan, Mela. Aku mau jatahku." Aku menarik nafas dalam, sepertinya aku tak bisa tertidur lagi, Radit terlalu merepotkan dan cerewet. Sekarang, apalagi maunya? Jatah apa? Jatah uang belanja? Jatah kursi DPR atau jatah makan 3 kali sehari?
"Kau mau apa, Radit? Bicaralah yang jelas. Otakku sedang malas berpikir, kalaupun kau mau sesuatu, kau tinggal beli dan tak perlu mengganggu istri malangmu ini."
"Masa, aku harus membeli wanita? Yang benar saja, ini tugasmu Mela, kau istriku."
Setelah memaksa otakku untuk bekerja keras aku akhirnya mengerti maksud Radit. Lelaki mesum itu sepertinya juga melihat bahwa aku sudah memahami maksudnya. Radit tersenyum lebar, tangannya menarik tubuhku hingga menempel pada tubuhnya.
"Dasar mesum, aku masih sakit kau tak ada pengertiannya sama sekali, inipun masih siang bolong, lagipula apa kau tidak dengar apa yang tadi dokter katakan? Aku harus banyak istirahat."
"Cerewet, aku akan pelan-pelan, Sayang. Nanti juga dirimu yang tak mau berhenti. Kau sama mesumnya denganku, Mela. Akui saja hal itu."
Radit menutup mulutku saat aku ingin mendebatnya. Tangannya sudah berkelana di bawah bajuku.
"Sstt... talk less do more."
*******
Aku terbangun karena suara bel yang terus berbunyi. Radit mengerang di sebelahku, ia juga terganggu dengan orang yang tak ada pengertiannya sama sekali.
Aku mengguncangkan tubuh Radit, agar ia cepat bangun dan membuka pintu. Tapi bukannya terbangun suamiku yang super pengertian itu justru memunggungiku dan dan memeluk gulingnya.
"Kau saja yang buka pintunya, aku masih lelah." Andai kaki kananku tak terkilir aku juga sudah membuka pintunya dari tadi. Turun tangga itu membutuhkan tenaga ekstra dan aku malas melakukannya, tadi saja aku memaksa Radit untuk menggendongku untuk naik ke kamar.
"Radit buka pintunya atau kau tidur di luar malam ini." Radit menggerutu sebelum menyingkirkan selimut yang menutupi tubuh setengah telanjangnya. Radit hanya mengenakan boxer sementara kaosnya entah tadi kulempar ke mana.
Aku meraih ponsel yang ada di atas meja di samping tempat tidur. Setelah membaca chat yang masuk, aku menyimpulkan tak ada pesan yang menarik selain ucapan maaf dari Lena yang mengatakan bahwa dirinya lah yang memberi tahu Adry mengenai alamat rumahku.
Ia bilang Adry beberapa hari yang lalu menelponnya dan menanyakan alamat rumahku. Lena awalnya juga curiga tapi karena Adry beralasan bahwa ia ingin mengirim undangan pernikahan ke rumahku, akhirnya Lena memberitahunya.