Namjin berjalan dengan derap yang teratur. Kedua telapak tangannya menggenggam erat tali tas punggung. Kepalanya sedari tadi celingak-celinguk memperhatikan jalanan Busan yang ramai.
Sekarang setelah menyebrangi jalan, ia harus ke mana? Kiri atau kanan? Ah, pucing pala Namjin.
Pemuda kecil itu lalu berhenti di depan halte bus yang berada di ujung jalan. Ia mengistirahatkan kakinya sejenak sebelum nanti akan berjalan lagi. Sekarang Namjin mengerti kenapa Daddy selalu memarahi mereka kalau mereka bangun kesiangan. Jelas saja, itu karena jarak dari rumah ke sekolah yang sangat jauh. Bahkan sampai detik ini berlalu, Namjin masih belum menemukan jalan-jalan yang familiar di benaknya.
"Ah, aku harus berjalan ke mana lagi? Barat? Atau selatan? Aish!" Namjin mengacak rambutnya bingung, sekarang sekujur badannya sudah dibasahi oleh peluh-peluh yang berjatuhan. Namjin sama saja dengan anak-anak yang bermain bola tadi kalau sudah begini.
Matanya menatap sekitar lalu berhenti pada satu titik. Seperti memiliki lampu yang menyala di dekat kepalanya, bocah itu menyeringai senang. Kakinya melangkah semangat ke arah kotak berukuran sedang yang tergantung pada satu tiang di tepi jalan samping halte. Ya, telepon umum.
Letaknya memang cukup tinggi. Sekalipun Namjin berjinjit mungkin dia tidak akan bisa menggapai gagang telepon yang tergantung di sana. Tapi bukan itu masalahnya. Masalahnya sekarang adalah Namjin sama sekali tidak memunyai uang koin. Bocah itu merogoh saku celana seragamnya berharap ada recehan yang tertinggal namun hasilnya nihil. Sekarang harus bagaimana?
Tak jauh dari halte tersebut, terdapat sebuah vending machine yang menjual minuman ringan. Berbekal pengalamannya dari film-film barat, Namjin mencoba peruntungannya. Bocah kecil itu mengintip kolong mesin berlapis kaca tersebut. Tidak ada apa-apa. Lalu dia mencoba menggoyang-goyangkannya yang tentunya percuma. Tubuhnya terlalu kecil, kekuatannya tidak sepadan. Karena kesal, Namjin menendang mesin penuh kaleng tersebut. Detik berikutnya ia mengaduh kesakitan, lupa bahwa yang ia tendang bukanlah benda lunak.
"Hei apa yang kau lakukan bocah kecil?"
Namjin menoleh, matanya bergerak dari bawah secara perlahan, sudut matanya menangkap dua kaki panjang yang memakai celana pendek. Oh, apa itu preman jalanan? Tapi selama Namjin besar di Busan, ia belum pernah bertemu preman sama sekali. Jadi untuk apa preman itu menghampirinya? Ia bahkan tidak mempunyai uang untuk menelepon rumah.
Atau jangan-jangan preman itu mau menculiknya dan menjual organ tubuhnya? Ah tidak-tidak! Itu terlalu mengerikan.
"Kim Namjin?" suara itu kembali terdengar. Kali ini menyerukan namanya.
Sebentar.
Kalau orang itu tahu namanya, berarti ia mengenal Namjin, kan?
Dengan pelan-pelan, Namjin mendongak, menoleh pada pemilik kaki-kaki panjang itu dan tebak siapa yang dilihatnya?
"Samchon?"
Tepat sekali! Salah satu pamannya menemukan pemuda kecil itu. "Aish, Samchon!"
Lelaki yang ia panggil Samchon itu agaknya meringis mendapati panggilan yang begitu keras dari pemuda kecil itu. Ia merasa terlalu muda untuk dipanggil paman.
"Apa yang kau lakukan di sini, bocah kecil? Kau haus? Kookie Hyung akan membelikanmu satu kalau begitu."
Jungkook—— pemuda itu merogoh kocek celananya lalu mengeluarkan dua logam kecil yang kemudian ia masukkan ke dalam vending machine.
"Samchon jjang!"
"Berhenti memanggilku samchon, Namjin. Panggil aku hyung kalau kita sedang berdua di tempat umum. Oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy Namjoon and Kim Triplets
FanficNamjoon yang care tapi ceroboh. Yejin yang cuek namun cerewet. Bagaimana jadinya jika mereka akhirnya menikah dan memiliki tiga anak kembar? Akankah Namjoon sanggup menjadi ayah yang baik sementara teman-temannya terkadang turut andil membuat kekaca...