Aku mengenalnya setahun yang lalu.
Kami bertemu di studio dance, tempat pelarianku ketika dunia mulai mengupas pelan topeng-topeng tawaku. Rambutnya pendek, dan tubuhnya lebih pendek dariku. Senyumnya manis, tawanya renyah. Ia kentara mengingatkanku pada sosok perempuan pertama dalam hidupku. Ibuku.
Aku menghabiskan satu tahun untuk yakin bahwa aku menyukainya, dan menghabiskan satu tahun yang sama untuk membuatnya melihatku juga. Dia pribadi hangat dan penuh perhatian. Dia ... Bae Hyeonji.
"Bae, selain menjadi partner dance-ku. Kau mau kan jadi partner hidupku?" tanyaku, di suatu malam yang telah kurencanakan. Dengan yakin dan percaya diri. Berbekal 365 hari yang telah lewat, dukungan dari teman-temanku dan saran dari salah satu yang terdekat. Mawar putih, Hyung. Kurasa dia lebih suka itu dibanding yang merah. Sebuket tengah ada dalam genggamannya, dipandangi dalam diam dan menemaninya bersama keterkejutan.
"Kau tak perlu buru-buru menjawab. Santai saja."
Aku ingat wajah bingungnya. Aku ingat tanda tanya besar dalam ekspresinya. Tapi aku memilih tutup mata, memilih untuk berpikiran positif. Toh bagiku, pada akhirnya ia pasti akan memilihku. Aku sudah meninjau lingkungan kami, dan aku yakin aku tidak memiliki saingan. Aku tidak akan gagal. Aku pasti diterima. Ini bukan hanya keyakinan kosong, aku pun bisa melihat rasa yang sama pada sorot matanya. Tapi aku tidak dapat melihat alasan apa yang membuatnya tidak begitu yakin untuk menjawab. Dia benar-benar tidak terburu. Dia meminta waktu.
Mungkin hari ini, aku tahu jawabannya.
"Kami tahu kok, selain berisik Samchon kan juga payah!" Aku tersentak dan tersedak air minumku sendiri saking terkejutnya. Bukan. Bukan karena celetukan Minchan yang terbilang cukup kasar untuk ukuran anak kecil, tapi karena penglihatanku yang menangkap pemandangan tak terduga.
Ini ... tidak benar, kan?
Sesuatu yang terasa sesak berdiam di dadaku. Kepalaku rasanya ingin meledak. Itu bukan mereka kan? Aku menyipitkan pandangan untuk memperjelas apa yang harusnya kupastikan. Seingatku, dokter tidak pernah memberiku diagnosis rabun jauh dan aku tak sebegitu merindukan perempuan itu hingga terbayang wajahnya. Aku menahan napas sejenak, itu benar mereka-yang tengah berpelukan dengan mesranya di tengah keramaian para pengunjung. Jimin dan Hyeonji? Kenapa bisa?
"Minchan! Boleh berbicara pada Samchon seperti itu?" Nada tinggi Namjoon yang memarahi Minchan berhasil mengalihkan perhatianku, tapi tidak sepenuhnya. Aku melihat wajah Minchan yang ketakutan, membuatku tak tega. Tidak, tidak, ini bukan salahnya.
"Tidak. Tidak apa-apa Joon." Aku tersenyum, berharap hal ini bisa membuatnya sedikit tenang. Termasuk juga Minchan. "Sebentar aku ke toilet dulu."
Kubanting kasar botol yang semula berisi mineral. Sialan! Setelah merasa sangat yakin dengan keadaan di sekitarku, ternyata aku melewatkan seseorang. Bagaimana bisa? Dan mengapa Jimin?
Apa selama ini Jimin ... Ah, tidak, memikirkannya saja aku takut. Terlalu banyak praduga muncul di kepalaku. Tapi sungguh, mataku tak mungkin salah lihat, meski aku sangat berharap aku salah dalam mengira. Mungkin, ya, mungkin hanya orang-orang yang mirip. Tidak mungkin mereka berdua berjalan di belakangku, kan?
Kakiku melangkah, mengikuti nurani, mungkin. Toilet berada di sebelah kiri. Dan aku berjalan ke arah kanan, ke arah keduanya berjalan menuju sebuah wahana, masih sambil merangkul satu sama lain. Demi Tuhan, tidakkah Jimin merasa bersalah berjalan dengan Hyeonji?
Kemungkinan-kemungkinan terus berkutat di kepalaku, terlalu banyak hingga rasanya kepalaku ingin pecah saja. Sungguh, aku tak bisa menerima pemandangan di depanku dengan akal sehat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daddy Namjoon and Kim Triplets
FanfictionNamjoon yang care tapi ceroboh. Yejin yang cuek namun cerewet. Bagaimana jadinya jika mereka akhirnya menikah dan memiliki tiga anak kembar? Akankah Namjoon sanggup menjadi ayah yang baik sementara teman-temannya terkadang turut andil membuat kekaca...