Sejak hari itu, Aldo dan Aurel tidak pernah kelihatan bersama. Putusnya hubungan mereka menyebabkan keduanya memutuskan semua kemungkinan mereka akan bertemu. Bahkan Bagas yang biasanya menyapa Aurel dan teman-temannya memilih untuk bungkam dan mengabaikannya seperti yang Aldo lakukan.
Begitupun Aurel. Meskipun dia merasa sedih, tetapi entah kenapa perasaan marah lebih mendominasi. Dia tahu hubungannya dengan Aldo tidak berjalan lama, tetapi apakah itu semua tidak ada artinya sama sekali?
Apa semua perasaan manusia memang mudah berubah seperti laju angin?"Gue gak ngerti deh. Sumpah ya, Aldo itu udah goblok malah makin goblok aja!" Maki Anya. Aurel memilih bungkam dan memainkan ponselnya.
Tidak ada notifikasi.
Kosong.
Sama seperti hatinya.
"Udah lah, lo ngatain dia juga Aldo sama Aurel gak akan balikan." Ucap Reni menenangkan Anya yang berapi-api.
"Tapi dia tuh gak punya otak, Ren. Cukup gue yang dia gituin, masa Aurel dia gituin juga? Dan konteksnya Aurel 'kan temen gue. Gak abis pikir deh sama manusia iblis kayak gitu." Masih dengan makian yang sepertinya tidak akan pernah habis.
Aurel menghembuskan nafas lelah. Harusnya dia gak usah terlihat galau seperti sekarang. Harusnya dia bisa tersenyum seperti biasa. Harusnya dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Harusnya dia bisa memperlihatkan siapa yang memutuskan dan siapa yang diputuskan. Tapi kenapa sepertinya hanya dia yang menderita?
Yaiyalah, cowok kaya dia mana punya hati? Batinnya.
"Gue keluar bentar ya." Aurel memilih keluar kelas dan mencuci mukanya. Karena berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja sangat melelahkan.
"Eh, Rel, mau kemana?" Tanya Anya.
"Toilet."
Begitu Aurel menghilang dibalik pintu kelas, Reni tanpa ampun memukul bahu Anya, "lo sih! Udah tahu lagi kesel, makin kesel lah lo gituin."
Anya mengaduh berusaha menghindari pukulan Reni, "ya 'kan gue berusaha menuangkan pikiran gue doang. Abis udah kesel banget, Ren."
"Lo kesel, ya dia lebih kesel lah dodol."
Anya memutuskan untuk menyusul Aurel diikuti oleh Reni. Sebenarnya, yang dikatakan Reni ada benarnya. Bahkan sangat benar.
Tapi Anya mengerti apa yang Aurel rasakan sekarang. Sebagai seorang teman, Anya merasa tidak melakukan hal yang baik untuk Aurel. Terlebih lagi, Aurel dikatakan masih belum mengenal betul bagaimana Aldo. Entah bagaimana dulu dia menerimanya begitu saja. Lagipula, Anya pernah berada diposisi Aurel saat ini, dan itu sangat menyakitkan.
Saat ditoilet, Anya dan Reni melihat Aurel sedang membasuh wajahnya. Untungnya toilet sedang sepi, jadi tidak ada yang melihat Aurel dikondisi seperti ini.
"Kalo lo mau nangis, gapapa Rel nangis aja." Ucap Reni mengusap punggung Aurel pelan.
"Gue gak sedih. Gue cuma marah, kesel, bete kalo liat muka dia."
Anya menepuk bahunya pelan, "wajar kok, Rel. Dulu, pas gue putus sama dia, bawaannya pengen matiin aja itu orang."
Reni menepuk bahu Anya pelan, "ih salah mulu gue daritadi."
Aurel tertawa, "berarti gue masih terlalu baik ya?"
Saat itulah, pintu kamar mandi dibuka dan disana berdiri Bila dan Dona.
Entah hanya perasaan Aurel, atau Bila terlihat lebih bahagia dari biasanya? Ingin rasanya Aurel menghilangkan muka bahagianya itu. Masih bisakah dia merasa senang diatas penderitaan orang lain?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sixteen [Selesai]
Teen FictionGue, siswi baru di SMA Brawijaya yang gak kenal siapapun, tiba-tiba ditarik sama cowok ganteng yang sayangnya nyebelin dan dia cium gue di tengah lapangan. Bayangin dia CIUM GUE. -Aurelia Isabella Friz Gue, cowok ganteng di SMA Brawijaya yang sayang...