XXXVII

88.2K 2.9K 255
                                    

AUREL

Hari itu, terakhir kalinya aku melihat Aldo. Bukan dalam artian dia pindah dari sekolah atau aku yang pindah. Hanya saja, aku dan dia sama-sama menghindar. Jika ada kesempatan kami bertemu, maka sebisa mungkin untuk tidak saling bertatap muka. Kami kembali menjadi orang asing yang tak saling mengenal. Lucu saat mengetahui fakta bahwa seseorang yang dulunya sedekat nadi, bisa sejauh matahari. Dan juga, dia benar-benar menepati janjinya padaku.

Dan anehnya, sejak hari dimana kita bertengkar dan aku menangis semalaman hingga tidak bisa masuk sekolah, saat itu juga aku merasakan perasaan yang luar biasa leganya. Entah karena apa, mungkin karena aku sudah melampiaskan semuanya dan dia pun sama. Aku mulai tidak memikirkannya sama sekali, kecuali hari ini.

Tiba-tiba Anya menghampiriku dengan terburu-buru.

"Rel, lo harus tahu ini!"

"Kenapa? Ada berita apa?"

"Tentang Aldo!"

Aku mendengus kesal, "udah lah. Gue gak mau denger apapun tentang dia."

"Di-a ja-di-an sa-ma Bi-la." Ucap Anya menekankan setiap suku katanya.

Aku kira, perasaan sakit itu sudah hilang. Aku kira, seterusnya tidak akan merasakan perasaan seperti ini lagi. Aku kira, akan merasa biasa saja saat tahu berita ini. Tapi, sepertinya perkiraanku melenceng jauh.

"Gue, salah ngomong ya?" Tanya Anya merasa bersalah.

"Ah enggak. Biasa aja kali, lebay lo!" Tuturku berusaha mencairkan suasana.

"Serius, gue bisa nonjok Aldo sekarang kalo lo gak suka."

Aku tertawa pelan, "gue udah gak ada hak, ngapain gue harus gak suka? Toh yang pacaran dia, biarin aja lah."

Anya melihatku dengan tatapan menyelidik, "tapi kenapa mata lo kayak mau nangis gitu, sih?"

Aku tertawa. Sungguh segitu terbacanya kah? Kenapa susah sih menyembunyikan perasaan seperti ini.

Anya mengusap pipiku pelan, "lo ketawa, tapi kenapa sampe keluar air mata gini?"

Demi apa? Aku bahkan tidak sadar akan hal itu.

"Saking lucunya, Nya, jadinya sampe kayak nangis gini."

Anya menepuk bahuku pelan, "kalo mau nangis ya nangis aja. Gak usah ditahan. Waktu itu gue juga gitu, tapi besoknya lo janji harus biasa aja."

"Ih sumpah gue gak nangis. Cuma ya lucu aja, akhirnya mereka gak butuh waktu lama buat jadian."

Anya hanya memandangku dengan tatapan yang susah aku jelaskan, mungkin kasihan? Aku tidak tahu.

"Yaudah deh, sekarang mending ke kantin aja yuk. Reni udah nunggu soalnya."

Aku mengangguk dan mengikuti Anya menuju kantin, berharap tidak bertemu dengan seorang pun yang tidak ingin aku temui.

Kami membicarakan banyak hal, dimulai tentang bagaimana waktu yang cepat berlalu dan tidak terasa akan memasuki ujian akhir, dan juga bagaimana kelanjutan hubungan Anya dan Ari.

Ya akhirnya usai dari penampilan kelas waktu itu, Ari mulai memberanikan diri mendekati Anya secara terang-terangan. Dimulai dari mengajaknya kekantin bersama, makan, nonton, bahkan hanya sekedar jalan-jalan.

"Tapi kenapa dia gak juga nembak gue ya, Rel?" Tanya Anya.

Aku berpikir sebentar, "mungkin dia masih nyaman sama kalian yang kayak gini? Soalnya kalo pacaran 'kan pasti bakal ada ribut, berantem masalah sepele, ya gak enak lah. Tapi gak tahu juga deh pikiran Ari gimana. Eh tapi, kalo dia nembak emang bakal lo terima?"

Sixteen [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang