Suasana pagi yang begitu cerah, aku langsung keluar dari mobil begitu aku tiba didepan halaman sekolah. Dengan cepat aku berjalan menelusuri setiap koridor sekolah hingga aku tiba disebuah gedung lantai 3. Aku mencoba mengatur nafasku setelah mampu menaiki ribuan anak tangga karena lift yang menjadi fasilitas utamaku sedang diperbaiki. Aku mengumpat beberapa kali, ini benar-benar diluar kemampuanku, butuh beberapa anak tangga lagi agar langkahku dapat mencapai lorong kelasku, tepatnya di lantai 4.
"Carry!" aku langsung membalikkan tubuhku hingga pandanganku menangkap gadis pirang bertubuh ramping tengah berlarian sambil melabaikan tangannya kearahku. Senyumanku merekah begitu kami saling berhadapan. "Kau darimana saja?" dia mendengus.
Aku mendesis kearahnya, "sstt, aku tidak kemana-mana. Aku disini, Audie." Tidak puas dengan jawabanku, dia langsung memutarkan bola matanya malas hingga membuatku terkekeh. Kami berjalan bersama menaiki beberapa anak tangga lagi dengan banyak perbincangan yang ringan.
Asal kalian tahu saja, bahwa Audie adalah sahabatku sejak aku menjadi orang baru di sekolah ini. Dia yang aku percaya dan yang satu-satunya aku miliki. Entahlah, karena dia sangat berbeda dengan kebanyakan orang yang mencoba mendekatiku karena maksud khusus misalnya seperti ingin terlihat kaya raya dibalik ketidakmampuannya. Yah, semuanya selalu begitu dan itu sangat membuatku muak.
"Kau pulang ke Seattle tanpa memberitahuku." Dia memicingkan matanya kearahku, mencoba menebak-nebak dengan isi pikirannya.
"Ya dan semua ini terjadi karena keadaan mendesak. Ibuku menyuruhku pulang dan aku tinggal selama 2 hari. Mengapa kau begitu kesal?" tanyaku penasaran.
Dia menggidikan bahunya, "Entahlah. Aku hanya memilikimu dan rasanya seperti orang kikuk jika tidak bersamamu sehari."
Aku terkekeh, "Untukmu." Aku menyerahkan sebuah paperbag yang cukup besar kearahnya. Alih-alih sebagai obat untuk menghilangkan kekesalannya. Lagi pula, selama aku di Seattle, aku hanya menghabiskan waktuku dengan berbelanja pakaian.
"Kau tidak perlu memberikanku apapun."
"Ayolah, kau tidak perlu menolak."
Bel sekolah berbunyi begitu nyaring hingga membuat para murid yang bersekolah di Riverdale Country langsung berhamburan untuk masuk kedalam kelas mereka masing-masing.
Lagi-lagi pikiranku berputar mengenai masalah sepele yang selalu membuatku penasaran dan untungnya aku sudah mendapat jawabannya dari pertanyaan yang cukup mengganggu rasa keingintahuanku yang tinggi, yaitu tentang sekolah ini, kota ini dan mengapa kedua orangtuaku lebih memilih aku tinggal di New York daripada di Seattle. Ternyata karena kami adalah orang yang terpandang. Satu-satunya yang ku dengar dari orang yang berbeda adalah nenekku, dia mengatakan bahwa kita terlahir dari keluarga yang tidak biasa. Hidup dengan kemewahan dan tahta. Semuanya tampak berkelas, mewah, dan tidak memalukan. Hanya orang yang memiliki keberuntungan besar untuk bersekolah di Riverdale Country adalah yang memiliki beasiswa. Kau harus bersyukur karena terlahir sangat mampu dan ingat, semua dunia mengenal kita.
Aku menghelakan nafas berat, jika ku pikir-pikir Oma Elle adalah satu-satunya yang memiliki sifat yang glamour. Tidak salah jika seluruh anak cucunya mewarisi sifatnya.
Aku langsung mengalihkan pandanganku kearah Mrs. Allery yang sedang memandangi satu persatu muridnya di kelas, dia mencoba memastikan bahwa tidak ada satu murid pun yang datang terlambat. Aku masih memperhatikannya yang sedang fokus mengambil tumpukan kertas memuakkan. Sial, selalu saja ada ujian dadakan.
"Well, anak-anak. Kerjakan semua soal ini dan jangan ada satupun soal yang ku berikan kosong. Juga, tidak ada jawaban konyol dan menyontek. Aku selalu mengawasi kalian. Waktu yang ku berikan 30 menit dan itu cukup untuk menjawab 15 soal eksak." Rasanya aku mual ketika aku sudah mendapati soal yang mengerikan. Mrs. Allery memang luar biasa, dia selalu semangat dengan soal-soal yang dia buat untuk membuat semua muridnya tidak berdaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are Mine Ms.Nelson
RomanceTatapan yang tajam dan gelap itu sangat menusuk mataku. Baru kali ini aku melihat seorang pria yang menatapku dengan tatapan tajam dan penuh kebencian. Ditambah lagi, posisiku sekarang sedang terpojok, pria itu mengunci kedua tanganku ditembok denga...