Panti asuhan itu masih belum berubah semenjak awal didirikan duapuluh lima tahun yang lalu. Hanya cat bangunannya yang berubah dari waktu ke waktu agar bangunannya selalu terlihat baru. Panti asuhan yang berada di pinggiran kota Jakarta ini tidak menampung banyak anak, hanya ada limabelas anak yang seluruhnya masih dibawah umur.
"Makan malam sudah siap."
Elena Jasmine, seorang wanita berusia duapuluh dua tahun itu merupakan anak tertua yang ada di panti asuhan. Sejauh yang ia ketahui, sejak bayi, Elena terpaksa hidup di panti asuhan karena kedua orangtuanya yang berpisah dengan cara yang buruk.
Elena sudah menyelesaikan pendidikannya hingga jenjang sekolah menengah atas. Ia memilih untuk tidak melanjutkan ke bangku kuliah, Elena lebih memilih untuk mendedikasikan hidupnya untuk panti tempat dirinya dibesarkan sebagai tanda terimakasihnya karena ia telah diberi kesempatan hidup setelah kedua orangtuanya berpisah.
"Hey, kalian harus menghabiskan makanannya!"
Seluruh anak berlarian melewati Elena yang sedang membawa nampan berisi gelas yang hampir saja jatuh karena ditabrak oleh mereka. Elena yang semula ingin marah menjadi tersenyum saat ia membalikkan badannya dan mendapati seluruh anak-anak panti sedang memeluk Austin secara bergantian.
"Austin," sapa Elena.
Austin Sebastien, satu-satunya teman yang Elena miliki saat ini. Austin merupakan mahasiswa tingkat akhir di Universitas Indonesia dan menjadi sukarelawan untuk membahagiakan anak-anak panti di pinggiran kota Jakarta. Terkadang Austin akan membawa seluruh anak-anak untuk pergi ke suatu tempat atau sekedar bermain di taman agar mereka semua bahagia, termasuk Elena.
"Elena! Maaf aku datang saat makan malam hari ini," sapa Austin seraya tersenyum pada Elena dan kembali menatap anak-anak panti yang sedang bersamanya. "Ayo, kalian harus makan malam. Setelahnya, aku akan membacakan dongeng untuk kalian semua."
Austin bangkit setelah semua anak kembali berlari ke meja makan dan menikmati makan malam yang telah disediakan. "Kau sudah makan malam?"
"Aku sudah kenyang menghirup aroma sup selama aku memasaknya," kata Elena.
"Sayang sekali, padahal aku membeli pasta untukmu," kata Austin sambil menunjukkan satu porsi pasta yang ia beli pada Elena.
Elena tersenyum. "Kau bisa memberikannya untuk Bunda. Ia tidak berselera makan sejak siang tadi."
"Kenapa? Apa ada masalah?"
"Tidak ada, mungkin Bunda hanya kelelahan."
Elena dan Austin berjalan melewati koridor menuju ruang kerja Bunda yang berada bersebelahan dengan ruang pertemuan panti.
Savannah, atau para anak panti dan pengunjung panti memanggilnya Bunda, adalah pemilik sekaligus pengurus panti asuhan tempat Elena tinggal. Savannah hanyalah seorang Janda yang tidak memiliki anak setelah suaminya meninggal tepat seminggu setelah pernikahan mereka. Itu yang menjadi alasan Savannah untuk mendirikan panti asuhan ini—agar ia bisa merawat dan membesarkan anak-anak yang ditelantarkan oleh orangtua yang tidak bisa mensyukuri apa yang telah Tuhan berikan kepada mereka.
Suara pintu yang diketuk tiga kali menyadarkan Savannah dari lamunannya. "Silakan masuk."
"Bunda," Elena dan Austin muncul dari balik pintu dengan senyuman diwajahnya. "Austin membawakan pasta untukmu."
"Semoga sesuai dengan seleramu," Austin menambahkan.
"Terimakasih," jawab Savannah seraya menerima bungkusan berisi pasta yang diberikan oleh Elena.
Tidak ada obrolan setelahnya, Elena dan Austin akhirnya memilih untuk keluar meninggalkan ruangan dan kembali ke ruang makan untuk melihat apakah seluruh anak telah menyelesaikan makan malamnya.
"Bunda terlihat sangat lelah," kata Austin sesaat setelah mereka meninggalkan ruangan Savannah.
"Lebih tepatnya terlihat banyak pikiran."
"Kami sudah selesai makan, kak!" teriak Ethan, salah satu anak panti berusia delapan tahun sambil menunjukkan piring kosongnya kepada Austin. Serentak seluruh anak mengikuti tingkah Ethan yang menunjukkan piring kosongnya masing-masing.
"Baiklah, cuci tangan dan kaki kalian lalu pergi ke kamar tidur. Aku akan membacakan dongeng untuk kalian setelah membantu Elena merapikan ruang makan."
Seluruh anak langsung berlari berhamburan menuju toilet untuk membersihkan diri mereka sebelum tidur. Elena selalu suka dengan cara Austin yang bisa dengan mudahnya membuat seluruh anak mau menuruti perintahnya. Mungkin dongeng yang ia ceritakan itulah yang membawa dampak positif yang besar pada seluruh anak panti ini.
"Kau tidak perlu membantuku, Austin. Lebih baik segera temui anak-anak sebelum mereka marah padamu," kata Elena seraya menerima piring kotor dari Austin.
"Ini tidak akan lama, mereka bisa menunggu."
"Mereka tidak akan pernah bisa menunggu kelanjutan dari dongengmu itu."
"Baiklah," kali ini Austin menyerah. "Datanglah ke teras depan setelah kau menyelesaikan semua pekerjaanmu."
Elena menganggukan kepalanya pertanda setuju dengan Austin, dan ia pun akhirnya setuju dengan Elena yang menyuruhnya segera menemui anak-anak yang sudah tidak sabar dengan dongengnya.
***
Malam sudah semakin larut saat Elena selesai dengan semua pekerjaannya. Ia mengeringkan tangannya sebelum mulai berjalan menuju ke teras depan untuk menemui Austin. Elena sempat berhenti di ruang kerja Savannah untuk mengecek keadaannya. Ia mendapati ruangan tersebut kosong, menandakan Savannah sudah kembali ke kamarnya untuk beristirahat.
Langit sudah semakin gelap saat Elena duduk di kursi bersebelahan dengan Austin.
"Apa kau tidak ingin pulang? Ini sudah larut—"
Omongan Elena terhenti saat Austin menunjukkan sebuah kue muffin dengan satu lilin kecil diatasnya. Senyum Elena mengembang saat ia tahu kalau Austin masih mengingat hari ini.
"Tahun keempat," kata Austin dengan senyum tersungging di wajahnya. Elena dan Austin memang memiliki kebiasaan merayakan hari pertemuan mereka setiap tahunnya. Itulah alasan mengapa Elena sangat bahagia saat Austin mengingatnya.
"Aku kira kau sudah lupa karena jadwalmu yang sangat padat," kata Elena.
"Mana mungkin aku bisa melupakannya," kata Austin. "Ready to make a wish?"
Elena mengangguk, lalu mereka secara bersamaan memejamkan mata untuk memohonkan permintaan. Setelah selesai, mereka membuka mata dan meniup lilinnya bersama.
"Aku ingin mengatakan sesuatu padamu," kata Austin setelah menaruh kue muffin di atas meja. "Setelah aku lulus nanti, aku akan pergi dari Indonesia untuk mengurus anak perusahaan orangtuaku di Eropa dan Amerika."
"Apa itu artinya kita tidak bisa bertemu lagi?" tanya Elena dengan tatapan sedih.
"Bisa," jawab Austin. "Melalui video call. Namun saat aku kembali ke Indonesia, orang pertama yang aku temui adalah kau Elena."
"Janji?"
Austin mengangguk seraya mengangkat jari kelingkingnya sebagai pertanda ia berjanji pada Elena, dengan cepat Elena menyambutnya dengan mengaitkan jari kelingkingnya pada jari lelaki yang sudah bersamanya selama empat tahun belakangan ini.
"Anak-anak sudah tidur?" tanya Elena.
"Sudah," jawab Austin singkat.
"Um, kapan kau akan meninggalkan Indonesia?"
"Kau ingin mengusirku, ya?"
Elena tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya. "Tentu saja tidak. Aku hanya ingin menghabiskan banyak waktu denganmu sebelum kita berdua terpisah oleh jarak dan waktu."
"Setelah aku wisuda, kurang lebih dua bulan lagi."
Elena mengangguk mengerti kemudian terdiam sejenak karena ia tidak ingin membahas kepergian Austin lebih lanjut. Mereka berdua menghabiskan malam dengan menatap langit yang ditaburi bintang-bintang, sesekali melihat kearah gedung-gedung pencakar langit kota Jakarta. Suara riuh dari kendaraan yang melewati panti dijadikan musik pengiring obrolan mereka malam ini—malam yang mungkin menjadi malam terakhir untuk mereka bertemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kylena
General Fiction[COMPLETED] Bagaimana jika tiba-tiba kau diajak menikah oleh seseorang yang bahkan baru kau kenal? Bagaimana kehidupanmu selanjutnya? Bahagiakah, atau malah sebaliknya? cover pict source: pinterest