Sebelas

8.4K 429 0
                                    

Vero baru saja menyelesaikan cuci piringnya ketika mendengar suara tawa Darrel dan kakek di ruang keluarga. Ia melihat sekilas sebelum akhirnya memilih untuk bergabung dengan Sarah di kamar Dafi yang berada tepat di sebelah ruang keluarga.

Tampak oleh Vero, Sarah sedang membereskan setumpuk baju. Disebelahnya ada koper berukuran sedang.

"Ibu lagi apa?"

"Eh, Vero. Sini nak. Ibu lagi bantu beresin bawaannya Dafi. Katanya besok dia mau pergi ke Palembang. Nanti pas kalian pulang, ibu titip koper ini ya. Kasian Dafi kalo harus pulang dulu kesini."

"Oh iya, bu. Nanti biar Vero sampein ke Darrel, biar ada yang ngingetin kalo Vero lupa. Hehe." Vero terkekeh. "Ngomong-ngomong, Dafi ke Palembang mau ngapain bu?" Tanyanya.

"Ya biasalah, mencari pundi-pundi rupiah. Hehe." Jawabnya sambil terus melipat baju dan memasukkannya ke dalam koper.

Vero mengambil baju dan ikut melipatnya. "Setahu Vero, ayah Darrel punya perusahaan juga. Tapi kok Darrel ataupun Dafi nggak ada yang kerja di perusahaan ayah ya bu?"

Sarah tersenyum. "Bukan cuma kamu yang berpikiran seperti itu. Banyak banget yang sering tanya itu ke ibu. Tapi ya gimana, mereka nolak semua. Bukan passion mereka, katanya. Jadi ya, mau nggak mau, ibu yang ambil alih."

Suara tawa Darrel dan kakek terdengar lagi. Vero menoleh ke arah datangnya suara.

"Kamu jangan heran kalo melihat Darrel yang seperti ini."

"Maksud ibu?"

"Apa Darrel sering tertawa seperti itu kalo dirumah?"

Vero mencoba mengingatnya, namun langsung menggeleng.

Sarah tersenyum lagi. "Disini bukan hal aneh kalo Darrel bisa tertawa selepas itu. Apalagi kalo ada kakek."

"Darrel deket banget ya bu, sama kakek?"

"Bukan deket lagi, Ver. Deket banget! Gak ada yang ngalahin kedeketan mereka deh pokoknya. Bahkan nih ya, kamu bisa lihat sendiri. Semalem dia langsung datang kesini pas tau kabar kalo kakek kenapa-kenapa. Padahal ya, kalo ibu yang telpon minta dia datang kesini, susahnya minta ampun. Emang keterlaluan tuh anak. Haha." Sarah terkekeh. Begitupun dengan Vero.

"Sampe segitunya ya?"

"Iya, Ver. Apapun tentang Darrel pasti kakek duluan yang tau dibandingkan ibu atau almarhum ayahnya. Dulu salah ibu juga sih yang membuat dia jadi gak terlalu deket sama ibu."

"Maksudnya?"

"Oh, Darrel belum cerita ya tentang masa kecilnya?"

Vero menggeleng.

"Darrel itu besar di Jakarta, di rumah yang kalian tinggali. Dari kecil, Darrel udah tinggal terpisah dari ibu dan ayah. Mungkin sekitar umur lima tahun pertama kalinya Darrel dititipkan ke kakek dan nenek. Sementara itu ayah dan ibu harus pindah ke Singapura karena kerjaan ayahnya Darrel. Darrel kami tinggal karena waktu itu dia kondisinya nggak bisa dibawa jauh dari nenek. Akhirnya kami cuma bawa Dafi yang belum genap berumur satu tahun. Bertahun-tahun kami hidup terpisah, membuat Darrel semakin menutup diri dari kami. Sampai akhirnya enam tahun yang lalu, saat ayahnya meninggal karena kecelakaan, dia baru sadar bahwa tidak seharusnya ia bersikap terlalu cuek kepada orangtuanya sendiri."

"Ngomongin Darrel ya, bu?" Tanya Darrel yang tiba-tiba sudah berdiri bersandar di pintu kamar Dafi.

"Kamu nih ada-ada aja, Darrel. Masa udah hampir sebulan menikah, istri kamu belum tau apa-apa tentang kamu?" Omel Sarah.

"Tentang apa nih, bu?" Darrel menghampiri mereka dan duduk di bawah tempat tidur, tepat di sebelah sang ibunda.

"Ya tentang masa lalu kamu dong."

ImpromptuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang