Tiga Puluh Tiga

5.7K 317 5
                                    

Vero duduk di sofa ruang keluarga, menunggu Darrel yang masih belum keluar dari kamarnya. Ia melirik jam dinding yang berada di atas televisi. Pukul dua lebih empat puluh delapan menit.

"Ini udah lebih dari lima belas menit yang perintah Darrel tadi, kenapa dia yang ngaret sih? Nyebelin banget. Tau gitu gue gak usah buru-buru aja." Pikir Vero.

Vero masuk ke dalam kamarnya dan mencari jaket yang agak tebal, agar tidak kedinginan. Maklum, Bandung memang selalu dingin. Apalagi di waktu dini hari seperti sekarang.

Vero mencari-cari jaket yang sekiranya cukup membuatnya hangat. Ia pun memilih sebuah jaket yang panjangnya sampai lutut  berwarna khaki.

Vero keluar dari kamar dan kembali melihat jam. Lima menit lagi jam tiga, namun belum ada tanda-tanda Darrel sudah keluar dari kamarnya.

"Apa gue beneran salah denger? Atau tadi gue mimpi ya? Lagian tadi dia gak bilang mau ngapain ke Bandung jam segini.." Vero semakin berpikiran aneh.

Tidak ingin menunggu yang tidak jelas, akhirnya Vero memberanikan diri mengetuk pintu kamar Darrel.

Tok tok!

"Darrel, lo udah siap?"

Tidak ada jawaban dari dalam.

"Darrel.." Vero menempelkan telinganya di daun pintu kamar Darrel.

Masih tak ada jawaban.

"Gue masuk ya?"

Cklek!

Pintu terbuka. Di hadapannya, Vero hanya bisa melihat kegelapan yang begitu pekat.

"Rel?"

Vero masuk ke dalam dengan meraba dinding, berharap ada saklar listrik. Ia sangat jarang masuk ke dalam kamar Darrel, sehingga ia tidak hapal dimana letak saklar untuk menyalakan lampu di kamar itu.

Baru beberapa langkah ia masuk ke dalam kamar, matanya mulai beradaptasi dan mendapati siluet kepala seseorang yang sedang menunduk di pojokan kamar tersebut.

"Astaga! Rel, lo kenapa?" Vero berlari dan duduk di hadapan Darrel.

Cahaya remang-remang dari lampu jalan menyinari tempat Darrel berada. Di hadapannya, tampak Darrel sedang menunduk dengan memeluk kedua lututnya.

"Rel.." Vero mengusap pelan punggung tangan Darrel, sehingga lelaki itu mengangkat wajahnya dan menatap Vero. Tatapannya begitu sayu, kelopak matanya agak sembab, di pipinya tampak aliran bekas air mata, membentuk sungai-sungai kecil yang mulai mengering.

"Lo kenapa?"

"Kakek, Ver.. kakek.."

"Kakek? Kakek kenapa?"

Air mata Darrel kembali mengalir di pipinya.

Segelintir perasaan tak enak menyeruak. Vero takut apa yang ia pikirkan memang terjadi. Nggak mungkin, kakek pasti baik-baik aja. Pikir Vero.

"Biar gue yang nyetir ya?"

Darrel mengangguk pasrah.

Please, jangan terjadi.. pinta Vero dalam hatinya.

***

Langit sudah lebih terang. Matahari mulai mengintip di ufuk timur. Vero melambatkan laju mobilnya ketika mereka sudah dekat dengan rumah mertuanya. Di kiri-kanan jalan terlihat beberapa mobil terparkir. Juga beberapa orang berpakaian hitam yang berlalu-lalang. Tepat di gerbang rumah itu, Vero melihat bendera kuning melambai diterpa angin pagi. Vero menghentikan mobil itu  di depan rumah yang sangat dikenalnya dalam satu tahun ini.

ImpromptuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang