Dua Puluh Enam

6K 302 5
                                    

Sudah dua hari ini Vero menghabiskan waktunya di ruang rawat inap VIP rumah sakit ternama di Jakarta. Meskipun pelayanannya bagus dan membuat nyaman, tapi Vero benar-benar ingin cepat pulang. Ia tak ingin terus menerus mencium bahan-bahan kimia yang begitu menyengat indera penciumannya. Terlebih karena ia merasa bosan sendirian di kamar yang cukup luas untuk dirinya sendiri.

Pernikahan Meira semakin dekat, sehingga siang tadi ibunya harus kembali ke Semarang untuk menyiapkan segalanya. Ayahnya baru akan sampai besok pagi karena terlalu banyak pekerjaan yang tidak bisa ditinggal. Selain itu, ayah dan bundanya memang berniat untuk datang ke Jakarta secara bergantian, agar baik Meira maupun Vero, harus bisa di handle dua-duanya.

Meskipun Meira kini tengah di Bali, namun komunikasi diantara ia dan kakaknya itu tak pernah putus. Tak henti-hentinya Meira menelpon Vero, bahkan tak jarang melakukan video call dengan adik semata wayangnya tersebut, hanya untuk sekedar memastikan bahwa adiknya baik-baik saja.

Sementara Darrel, sejak siang tadi ia tak menampakkan batang hidungnya di hadapan Vero. Entah ia sedang berada dimana, ataupun sedang melakukan apa. Yang Vero tahu, ia bersyukur Darrel tak ada di dekatnya. Setidaknya untuk beberapa saat.

Vero yang tengah duduk bersandar di ranjang pasien hanya bisa memainkan ponselnya untuk membunuh rasa bosan. Karena matanya mulai lelah, ia akhirnya menyerah dan mengalihkan pandangannya dari layar ponsel ke luar jendela yang gordennya terbuka.

Dari jendela besar tersebut, tampak olehnya gemerlap ibukota yang seperti langit di musim panas. Penuh dengan gemintang.

Vero menghela napasnya sejenak. Pandangannya kini mengarah ke kaki kanannya yang dibebat.

Kakinya memang tidak terluka parah. Hanya terkilir, namun hal itu membuat pergelangan kakinya sedikit retak. Oleh sebab itulah ia tak diperbolehkan pulang secepat yang ia mau. Selain agar perawatannya dapat dipantau tenaga medis, juga agar ia bisa beristirahat total tanpa harus memaksakan kakinya untuk bekerja lebih berat. Dengan kata lain, agar Vero tak 'pecicilan' seperti biasanya, yang sering berjalan kemanapun ia mau.

Baru saja Vero menyimpan ponselnya di meja sebelah ranjang ketika tiba-tiba benda itu bergetar. Ia kembali meraihnya dan melihat nomor tak dikenal tertera di layar. Vero menaikkan alisnya sebelah. Lalu ia menaruhnya kembali dan membiarkannya hingga tak lagi bergetar.

Tak berapa lama, ponselnya kembali bergetar. Vero melihat nomor yang sama tertera di layar 5 inch tersebut.

"Siapa sih?"

Saking penasarannya, akhirnya ia mengangkat panggilan tersebut.

"Halo, selamat malam."

"Hai, tan. Gue denger lo dirawat di rumah sakit ya?"

"Siapa nih?"

"Ya elah, pura-pura lupa. Ini gue, Aris."

"Aris.. siapa ya?"

"Astaga, lo amnesia? Baru tau gue kalo terkilir bisa bikin amnesia."

"Ih, serius. Aris mana?"

"Yang ganteng dan menggemaskan itu.."

"Auk ah. Orang aneh lo!"

"Nggak-nggak, gue gak aneh. Gue ganteng." Terdengar suara tertawa diujung sambungan.

Vero mengernyitkan dahi lalu menutup panggilan tersebut. "Orang iseng! Makin parah aja jaman sekarang."

Ting!

Ponselnya kembali berbunyi. Kini hanya pesan masuk melalui sebuah aplikasi chat.

Vero membuka pesan tersebut. Ternyata dari nomor yang sama dengan panggilan tadi. Isinya..

ImpromptuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang