Empat Puluh Tujuh

6.5K 439 68
                                    

Hujan sejak tadi siang masih belum reda hingga malam datang. Darrel berkutat dengan setumpuk pekerjaan yang ia tumpuk di meja kerjanya di kamar. Sudah tiga jam berlalu, namun ia masih betah berlama-lama disana. Lelaki itu meraih mug yang berada di sampingnya tanpa ia lihat terlebih dahulu. Ia baru sadar bahwa ternyata kopi dalam mug tersebut sudah habis. Ia lalu beranjak dari tempat duduknya untuk membuat secangkir kopi lagi di dapur.

Saat keluar dari kamarnya, ia terkejut dengan kondisi rumah itu yang kini terang-benderang, padahal ia belum menyalakan lampu selain kamarnya sendiri. Ia melihat pintu kamar yang sedikit terbuka di seberang kamarnya. Apa mungkin Vero kembali? Pikirnya.

Darrel menggeleng, menghapus kemungkinan tersebut. Ia bergegas ke dapur dengan langkah cepat.

Lelaki itu membuka toples kopi, isinya hanya sisa-sisa kopi yang berada di dasar toples tersebut. Ia lalu membuka kabinet gantung di hadapannya, tempat menyimpan isi ulang kopi dan sembako lainnya. Dilihatnya kabinet yang masih setengah terisi. Hanya ada gula, teh, tanpa ada bungkus kopi yang tersisa.

"Sial, gue kehabisan stok."

Darrel kembali menutup kabinet, lalu berjalan ke arah lemari es dan membukanya. Di dalam sana hanya ada sosis, dua kaleng soda dan beberapa buah pir. Setelah menghela napas, ia mengambil soda dan kembali menutupnya. Ia berjalan kembali ke kamarnya.

Saat ia membuka pintu, terdengar suara gedebuk dari kamar di belakanganya, kamar Vero. Ia berhenti sejenak, berusaha menajamkan telinganya. Ia berbalik menghadap pintu yang sedikit terbuka itu. Bertanya-tanya, apakah Vero memang kembali untuknya?

Beberapa detik kemudian, pintu itu semakin terbuka lebar dan sesosok Dafi keluar dari sana.

"Kenapa lo? Kayak liat setan aja." Dafi lalu duduk di sofa dan menyalakan televisi.

"Kok lo bisa disini?"

"Loh, kenapa? Memang gak boleh berkunjung ke rumah kakak gue sendiri?"

"Ya bukan gitu.." Darrel ikut duduk di samping adiknya. "Maksud gue, kok lo bisa masuk ke rumah ini tanpa bilang ke gue?"

"Dikasih kunci serep sama ibu." Dafi merebut soda yang berada di tangan kakaknya dan meminumnya. Merasa ditatap oleh Darrel, lelaki itu hanya nyengir dan mengembalikan kaleng soda yang kini berisi tinggal setengahnya. "Sorry, haus." Kilahnya.

"Gue kira ada rampok tadi."

"Mana ada rampok seganteng gue?"

"Cih! Laga lo.." cibir Darrel, yang langsung di balas tawa oleh Dafi.

"Kalo lo kesini buat nyari Vero, dia gak ada."

"Gue tau kok kalo Vero udah gak tinggal disini sejak dua minggu yang lalu."

Kok bisa? Ah, iya.. dia kan punya rasa sama Vero. Udah pasti lah dia tau apapun tentang cewek itu. Pikir Darrel dalam hatinya.

"Ibu nanyain lo tuh. Katanya lo gak bisa dihubungin. Di telpon gak bisa, di chat malah gak di bales. Ibu khawatir sama lo.."

"Apa ibu juga udah tau?"

Dafi menggeleng. "Gue gak punya hak buat ngelaporin urusan rumah tangga lo, Rel."

Darrel menghela napas. "Syukurlah.. thanks ya bro."

"Hm."

Tiba-tiba ponsel di saku celana Darrel berbunyi. Ia mengeluarkan benda itu dan melihat siapa yang menelpon. Fara. Nama itu tercetak jelas di layar ponselnya.

Dafi yang juga melihat ke layar langsung memalingkan wajahnya.

Darrel tidak langsung mengangkat panggilan itu. Ia tahu kalau Dafi benar-benar benci dengan kekasihnya. Ia membiarkan ponselnya hingga akhirnya berhenti berdering.

ImpromptuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang