Tiga Puluh Empat

6.2K 312 2
                                    

Sinar matahari menyusup di antara gorden panjang yang melambai hingga ke lantai kamar yang berada di lantai dua rumah itu. Vero mulai terusik dari tidurnya karena sinar matahari tepat mengenai wajahnya. Vero duduk sejenak di atas tempat tidur sebelum akhirnya ia beranjak keluar dari kamar.

Vero melangkahkan kakinya menuju lantai satu. Dari anak tangga terakhir, ia bisa melihat dengan jelas ibu mertuanya yang tengah berdiri di depan pantry sambil melamun. Ia lalu menghampirinya.

"Maaf, bu. Vero kesiangan."

Ibu mertuanya tersadar dari pikirannya yang entah berada dimana. "Eh, Vero. Udah bangun?"

Vero mengangguk sambil tersenyum. Ia lalu membasuh wajahnya di wastafel samping lemari es.

"Tolong panggilin Dafi sama Darrel ya, Vero. Bilang kalo sarapannya udah ibu siapin di meja. Nanti kita makan bareng."

"Iya, Bu. Sebentar Vero panggil mereka dulu." Ujarnya seraya bergegas mencari kakak beradik itu.

Di ruang keluarga, Vero mendapati Dafi tengah duduk bersandar sambil memencet remote televisi. Ia memindahkan channel setiap tiga detik. Bahkan hampir tak ada satupun yang membuat Dafi berhenti memindahkan channel-channel tersebut. Fisiknya memang berada di ruangan itu, tapi hati dan pikirannya berada jauh di masa lalu. Saat dimana hanya ada kebahagiaan tanpa mengenal rasa sakit akan kehilangan.

"Daf, sarapan dulu yuk? Ibu udah masak."

Dafi tak menggubris ucapan Vero. Ia masih saja memencet tombol remote.

"Daf.."

"Lo makan duluan aja, Ver. Gue gak laper."

"Jangan nahan laper, Daf! Nanti kalo lo sakit gimana?"

"Gue gak akan sakit cuma karena gak sarapan sekali, Vero. Lo tenang aja. Kalo laper, gue pasti makan kok."

"Hm, tapi janji nanti makan ya?"

"Iya."

Vero celingukan sesaat. Ia menyisir ruangan yang bisa ia lihat dari tempatnya berdiri.

"Darrel di teras."

"Hah?"

"Lo nyari Darrel kan? Dia di teras tuh."

"Ngapain?"

Dafi mengedikkan bahu sebagai jawabannya.

Vero lalu berjalan keluar rumah, sesuai arahan Dafi. Dan benar saja, ia melihat Darrel tengah duduk di tangga kecil teras rumah tersebut. Ia duduk bersila menghadap jalanan kompleks perumahan itu dengan tatapan kosong. Vero lalu menghampiri Darrel dan duduk di sebelah suaminya.

"Lagi mikirin apa?"

"Gak ada."

"Jangan bohong, Rel."

Darrel melirik Vero dengan wajah datarnya. "Kepo!" Ia lalu beranjak masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan Vero yang berdecak sebal.

***

Tiga jam yang lalu..

Dalam kamar yang berpenerangan remang-remang itu, tampak Darrel gelisah dalam tidurnya. Bulir-bulir keringat membanjir di dahi dan lehernya.

"Kek, jangan tinggalin Darrel, kek.." igau Darrel pelan. Dan secara tiba-tiba, matanya terbuka dan napasnya sedikit terengah-engah.

Darrel melirik sebelah kanan tempat tidurnya. Vero berbaring menghadap ke arahnya dengan wajah yang tampak begitu tenang. Darrel menghela napas panjang untuk menstabilkan pernapasannya kembali. Ia duduk bersandar pada headboard dan berusaha mengingat kembali malam terakhir ia berbincang dengan kakeknya.

ImpromptuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang