Dua Puluh Dua

7.1K 359 9
                                    

Kepulan asap melayang diatas secangkir kopi di hadapan Darrel. Tatapannya tak pernah lepas dari laporan yang berada di tangannya. Sekelebat bayangan Vero menyusup dalam pikirannya, membuat ia semakin tidak fokus mengikuti meeting pagi ini.

"Jangan buat gue bingung sama perasaan gue sendiri, Rel."

"Maksud lo apa, Ver?"

"Gue takut, Rel."

"Tentang?"

"Gue takut kalo ternyata gue jatuh cinta sama lo."

Darrel menggeleng-gelengkan kepalanya, berharap ingatan itu membuyar.

"Pak Darrel kenapa? Tidak enak badan?" Tanya seorang wanita berjilbab disebelahnya.

"Saya tidak apa-apa, Tan." Jelas Darrel pada wanita itu. "Tania, tolong handle meeting ini sebentar ya. Saya ada urusan penting." Pinta Darrel pada Tania, sekretarisnya.

"Baik, pak."

Darrel mengangguk, lalu keluar dari ruang meeting tersebut. Ia bergegas ke lantai teratas gedung tempatnya bekerja itu untuk  sekedar mencari udara segar. Tak banyak yang tahu jika Darrel sering ke tempat itu di saat-saat penat melandanya, karena ia memang selalu sendiri disana.

Darrel berdiri di sebelah pagar pembatas. Pandangannya entah tertuju kemana. Angin sepoi-sepoi menyapa rambutnya yang tidak diberi gel, membuat mereka menari bebas.

Ting!
Ponsel yang ia genggam menyala dan menampilkan notifikasi dari aplikasi chat.

Andita : Rel, gue yakin kalo itu Fara. Fara masih hidup, Rel. Dan dia disini.

Darrel menghela napasnya dengan berat. Lalu menaruh ponselnya ke dalam saku.

Fara.
Nama seseorang yang sudah terlalu lama tak ia dengar.
Seseorang yang sosoknya selalu menghantui Darrel selama lebih dari dua tahun ini.
Juga.. yang telah membuat ia tak lagi percaya akan cinta.

"Gak mungkin itu Fara. Gue lihat sendiri dia ngedrop di rumah sakit waktu itu. Bahkan kalopun dia benar Fara, kenapa baru sekarang dia kembali?" Bisik Darrel.

***

Vero tengah duduk di balkon rumahnya yang dulu. Sambil memegang segelas jus mangga ditangannya, ia berbincang dengan Meira sambil sesekali tertawa bersama.

Di hadapan mereka ada Indri dan Reza yang masih saja bertengkar jika bertemu. Dan itulah yang membuat Vero dan Meira tertawa.

"Ih, kalian itu ya, malah ngetawain terus deh." Ujar Indri.

"Ya habisnya kalian tuh gak pernah akur banget, Ndri. Kakak sumpahin kalian berjodoh loh."

"Jangaan!" Teriak Reza dan Indri bersamaan.

"Tuh kan, kalian emang udah ditakdirkan berjodoh tuh." Ujar Vero terkekeh.

"Nih ya, gimana gue gak berantem terus sama dia kalo dianya aja ngeselin? Apa aja dia komentarin, bahkan hal sepele sekalipun. Mulutnya tuh udah kayak cewek tau gak."

"Eh, sembarangan ya. Gue gak kayak yang lo omongin. Enak aja!"

"Udah, udah. Akur sebentar bisa gak? Kakak mau ngomong serius nih."

"Ngomong serius?" Tanya Vero. Wajahnya tak bisa menyembunyikan kebingungannya.

"Jadi gini, Ver." Meira menggenggam tangan Vero yang bebas. "Bulan depan, kakak tunangan!"

ImpromptuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang