Lima Puluh Tujuh

5.6K 371 90
                                    

Vero duduk di kursi yang terbuat dari drum besi, memperhatikan Anton dan istrinya di kursi depan tak jauh dari tempatnya duduk. Sementara Darrel duduk di sebelah Vero, menghadap langsung ke arah gadis itu.

"Ver, maafin gue.."

Vero hanya bergeming. Tak ada niat sedikit pun untuk menjawab ucapan Darrel, bahkan untuk menoleh ke arah lelaki itu pun ia seolah tak sudi.

"Ayolaaah.. harus berapa kali lagi gue bilang minta maaf sama lo?" Darrel mulai frustasi. "Ini udah ketujuh belas kalinya gue bilang maaf dari tadi, tapi gak ada satupun yang lo jawab. Gue harus gimana?"

Vero menoleh ke arah Darrel. "Lo apa-apaan sih, pake acara langsung nonjok segala?"

"Ya gue emosi. Mana ada cowok yang rela kalo ceweknya diganggu sama cowok mesum, ditempat gelap dan sepi lagi kayak tadi."

Vero kembali melihat ke arah pasangan di headapannya.

"Yang kayak gitu lo bilang cowok mesum?"

Mau tak mau, Darrel mengikuti arah pandangan mata Vero. Tampak olehnya Anton duduk di sebelah istrinya tengah tersenyum sambil mengusap perut istrinya yang sedikit membuncit. Sementara istrinya masih sibuk membersihkan bekas darah di wajah Anton.

"Ya kan gue gak tau kalo dia udah punya istri." Darrel mengerucutkan bibirnya seraya menunduk.

"Udah kayak gini aja bilangnya gak tau. Kemana Darrel yang tadi beringas sampe nonjok orang segala?" Sindir Vero.

"Ver, udah dong. Gue kan udah minta maaf. Apa perlu gue bikin spanduk ukuran 15 meter buat minta maaf ke elo? Atau lo mau gue bikin iklan di koran dan tv biar lo lebih percaya lagi kalo gue nyesel udah bertindak bodoh kayak tadi?"

"Apaan sih? Lebay banget lo."

"Ya abis, lo gak mau maafin gue. Padahal Anton sama istrinya aja udah maafin."

Vero tetap terdiam.

"Ya udah, lo kalo gak mau maafin gue gak apa-apa. Gue tau kok gue salah. Tapi please, kita balik dulu ya? Marahannya nanti aja di rumah. Lo pasti capek kan seharian kerja terus?"

Vero menatap Darrel yang kini menampakkan senyum hangatnya.

"Yuk?" Ajak Darrel.

Iya sih, gue caek banget. Gue pengen cepet rebahan di kasur dan tidur. Tapi gue masih sebel sama dia. Kalo gue iyain, nanti dia gede kepala. Mikir kalo gue udah maafin dia semudah itu. Batin Vero.

Darrel bangkit dari duduknya dan mengulurkan tangan ke arah Vero. "Ver, yuk?"

Vero menatap uluran tangan Darrel cukup lama. Ia tak mau membalas uluran itu, namun cara kerja hati memang tak pernah bisa dinalar dengan otak. Bahkan oleh orang paling jenius macam Albert Einstein sekalipun.

Perlahan namun pasti, Vero mendaratkan jemarinya ke tangan Darrel. Ia lalu bangkit dan berdiri, membuat senyum Darrel semakin mengembang. Namun satu detik kemudian, Vero menghempaskan tangan Darrel kembali.

"Gue bukan nenek-nenek yang harus di tuntun. Gue masih bisa jalan sendiri kok." Ujarnya. Ia lalu berjalan meninggalkan Darrel.

Darrel yang sedikit syok dengan apa yang dilakukan Vero barusan, masih tetap berdiri dengan tatapan bingung.

"Ayo! Jadi pulang gak?" Tanya Vero yang kini berdiri tujuh meter jaraknya dari tempat Darrel berdiri.

"I-iya. Yuk!" Sahut Darrel seraya berjalan menghampiri Vero.

***

Darrel menarik rem tangan saat ia baru saja memasukkan mobil itu ke garasi. Ia lalu mematikan mesin mobil dan membuka sabuk pengaman yang membelit tubuhnya.

ImpromptuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang