“Batu yang keras saja bisa hancur oleh tetesan air dengan seiring berjalannya waktu. Aku yakin, aku juga bisa melakukan hal sama seperti air untukmu.”
°•°
“Nama gue Gama Altair.”
“Panggilannya?”
“Gama bu.”
“Oke Gama, kamu bisa duduk di kursi kosong.” Bu Yanti mengintruksi. Laki-laki bernama Gama itu lalu berjalan ke arah dimana kursi yang bu Yanti maksud. Tempatnya cukup strategis baginya, berada cukup jauh dari meja guru, berdempetan langsung dengan tembok, dan plusnya ia berada di bawah AC. Ah, nikmatnya.
Terdengar ketukan dari pintu kelas, Gama sebenarnya tidak terlalu peduli. Tapi saat matanya tak sengaja melihat ke depan, mulai saat itu tiba-tiba saja jantungnya berdegub sekali, hanya sekali.
Ia memperhatikan gadis di depan sana. Berjalan ke arah meja guru, menaruh setumpuk buku tulis, lalu tersenyum pada guru, menyalaminya lantas melangkah keluar. Gama memperhatikannya bahkan sampai gadis itu menutup pintu.
Gama tersenyum.
Sebenarnya tidak ada yang istimewa dari kegiatan yang dilakukan gadis itu tadi. Begitu sederhana, sampai ia bingung mencari keistimewaanya. Tapi kenapa itu semua terlihat indah di matanya. Atau bukan kegiatan yang dilakukan gadis itu yang terlihat indah melainkan subjek yang melakukan kegiatan itu yang terlihat indah.
°•°
“Udah dikumpul?”
Luna mengangguk, “Udah. Dikasih tugas apa sama pak Mansyur?”
Gadis di samping Luna terlihat mengecek ponselnya lalu membaca isi pesan di ponselnya. “Ada tugas di buku paket. Dia hari ini gak masuk, istrinya lahiran.”
Luna mengangguk. Ia menoleh kebelakang untuk mengambil buku dari dalam tas. Tapi tiba-tiba matanya tak sengaja melirik ke kursi paling belakang dari baris yang berbeda darinya. Kursi itu kosong, hanya ada tas pemiliknya saja. Luna lalu kembali berbalik.
“Anak itu kemana?”
“Siapa?” tanya Fani balik, teman sebangku Luna.
“Siapa lagi. Rama.”
“Oh. Gatau, tadi sih ada pas kamu pergi kumpulin buku gak lama dia keluar,” jawab Fani sambil membalik-balik buku paket mencari halaman, “paling juga di rooftop, nyebat.”
Luna hanya mengangguk ringan. Sekarang ia ikut sibuk seperti Fani, mengerjakan tugas yang sudah diamanahkan oleh guru agamanya itu. Biasanya, setiap ada tugas ia akan bekerja sama dengan Fani. Untuk memperpangkas waktu saja. Jika dikerjakan berbarengan kan jadi lebih cepat.
“Lagian, kamu kenapa sih bisa suka sama cowok model kaya Rama?” Fani tiba-tiba menyeletukan pertanyaan.
“Karna penasaran.”
“Aneh.”
“Aneh gimana?” Luna menghentikan tulisannya, ia menatap Fani serius.

KAMU SEDANG MEMBACA
Altair & Aquila
Teen FictionLuna berpikir, hidupnya tak jauh beda seperti bulan sabit. Redup, sendiri, dan tak utuh. Padahal, jauh dari kehidupannya masih ada yang memiliki kekelaman yang lebih kejam darinya. Luna tidak tahu, ia hanya berpikir. Hanya dirinyalah yang paling me...