^•^
Sebelum langit benar-benar gelap. Gama memutuskan untuk mengantar Luna pulang. Namun sebelum itu, Gama mengajaknya ke sebuah rumah minimalis yang terlihat begitu sejuk karena pekarangannya yang penuh dengan tumbuhan rimbun. Rumah ini, letaknya tidak jauh dari tanah kosong yang baru saja mereka kunjungi. Luna sempat ingin bertanya bahkan saat Gama menghentikan motornya di depan gerbang rumah itu. Namun, lagi-lagi seakan memang Gama dapat membaca isi pikirannya. Laki-laki sudah menjawab.
"Ini rumah kami dulu Lun. Beberapa bulan yang lalu aku juga kesini bersama Bunda. Kita datang ngumpat-ngumpat seperti maling. Karena kita kira Rama dan Ayah masih disini. Dan betapa terkejutnya aku sama Bunda ketika satpam komplek disini bilang kalo rumah ini sudah berganti penghuni sejak lima tahun yang lalu. Dan saat itu kita tau alasan semuanya. Kita pun mencari Rama ke Bi Narsi. Dia ART keluarga kami dulu. Dan dari cerita beliau juga akhirnya aku tau keadaan Rama saat itu. Tapi sayang, ternyata Bi Narsi juga gak tau keberadaan Rama. Saat itu aku sama Bunda cuma bisa pasrah dan terus berdoa sama Tuhan. Sampai akhirnya Tuhan mengabulkannya Lun. Aku bertemu Rama, ternyata kita satu sekolah." Gama tertawa pelan di akhirnya.
"Aku masih bingung. Kenapa saat Rama mengalami kekerasan. Gak ada satupun orang yang menolong? Seperti cerita kamu tadi, kan ada Bi Narsi, kenapa dia gak menolong?"
"Bi Narsi bilang. Dia selalu ingin menolong tapi lagi-lagi Ayah menggunakan ancaman untuk membuat semua orang bungkam. Bi Narsi diancam, bila Bi Narsi melaporkan Ayah ke penjara. Ayah tidak segan-segan membunuh Rama."
Luna termenung. Sekarang akhirnya ia mendapat jawaban dari segala pertanyaannya dulu mengenai Rama. Tentang sikap laki-laki itu yang susah sekali tersentuh. Ternyata ada sesuatu yang menjadi alasannya seperti itu. Luna selama ini merasa jika dirinyalah orang yang paling memiliki takdir buruk. Ternyata, tidak.
Banyak orang di luar sana. Mungkin Rama dan Gama adalah salah satunya. Dan hal itu patut di syukuri. Mungkin ini saatnya Luna untuk mengubah pola pikirnya. Jika Tuhan sebenarnya tidak sejahat itu. Dan memang tidak pernah sejahat itu. Tuhan tidak akan salah memberi ujian kepada umat-Nya. Tuhan pasti tahu porsi masing-masing setiap orang. Dan jika Luna merasa hidupnya berat. Berarti Tuhan tahu, Luna adalah orang yang kuat.
^•^
Sudah Luna duga sebelumnya jika gadis ini pasti akan heboh mendengarnya. Bahkan ia sampai berniat ingin membuat berita ini beredar di akun Instagram LambeSchool yang sudah pasti langsung Luna hentikan dan mengatakan jika ini dijadikan rahasia di antara mereka berdua saja.
"Kamu lagi gak ngelucu kan Lun?"
"Apaansi, emang ada yang lucu?"
Fani bangkit dari duduknya lalu mondar mandir sambil mengatakan tidak mungkin. Yah, wajar jika Fani melakukan itu. Soalnya, pertama kali Luna tahu soal ini pun Luna melakukan hal yang sama.
Seperti sudah puas gadis itu kembali duduk di hadapannya. Sambil tidak lupa menyomoti toples berisi kripik kentang di pangkuannya. Oh omong-omong, kini mereka sedang berada di kamar Luna. Fani mengatakan jika malam ini ia memutuskan untuk menginap di rumah Luna. Semenjak tiga hari yang lalu gadis itu patah hati karena putus hubungan setelah mengetahui pacarnya Kavi, jalan dengan mantannya. Jadi di malam minggunya kali ini, karena ia tak mau terlihat seperti jomblo baru yang sedang depresi. Ia memutuskan untuk menginap dan besok paginya ia memaksa Luna untuk mengantarnya belanja. Jika tidak karena gadis itu habis patah hati, Luna pasti sudah menolaknya.
Dan tadi, seperti rutinitas gadis remaja sebelum tidur pada umumnya jika sedang menginap. Luna bercerita banyak hal dan yang paling membuat Fani heboh seperti sekarang adalah bahwa Gama dan Rama adalah anak kembar tak seiras yang tidak di ketahui banyak orang.
"Ibu mereka waktu hamil ngidam apa ya?"
"Emang kenapa?" Luna memang selalu tidak mengerti dengan semua pertanyaan absurd yang selalu gadis itu tanyakan.
"Kok bisa ya ngelahirin putra putra tampan bak bidadara surga gitu."
"Ish," Luna mendesis jijik, "lebay deh."
"Lun, kamu jadi pilih siapa, Gama atau Rama?"
"Maksudnya?"
"Yah, kamu gak mungkin kan milih keduanya. Itu sih namanya maruk. Bagi aku satu dong."
"Kaya salah satu dari mereka mau sama kamu aja." Luna meledek jumawa.
"Iya deh yang direbutin keduanya."
"Lho emang iya."
"Luna! Siapa sih yang ngajarin kamu sombong kaya gitu!"
"Kamu, wleee." Luna terkekeh melihat wajah kesal milik Fani.
Sedang asik meledek Fani. Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Dan satu pesan yang muncul pertama di notificationnya cukup membuat air muka gadis itu berubah seketika. Ditambah lagi pesan keduanya.
Rama:
Luna
Besok, ada acara ga?Fani yang tahu perubahan raut muka Luna pun langsung bertanya. Luna menjawabnya dengan gelengan. Lantas dengan cepat membalas pesan itu. Bukan karena Luna masih mengharapkan Rama seperti dulu. Hanya saja, Luna tidak suka dengan sikap laki-laki itu yang seenaknya ini. Maksudnya, hampir satu bulan ini dia dan Rama sama sekali tidak pernah saling berkomunikasi ataupun berinteraksi. Lalu tiba-tiba saja laki-laki itu mengiriminya pesan seperti ini layaknya mereka tidak memiliki masalah apapun sebelumnya.
Luna:
Mau kamu apa?Rama:
Oke, bsk gue ke rmh lo jam 9 pagi.Luna:
Gak bisa, aku ada janji sama FaniRama:
See u tomorrowLuna mendesis kesal sambil mengacak rambutnya frustasi. Ia tidak menyangka. Laki-laki sedingin Rama ternyata bisa segila ini juga.
Fani yang berada di hadapannya sudah memasang wajah keponya. Luna yang sudah malas membahas tentang Rama memilih mengabaikan gadis itu. Dan memilih untuk tidur, ia lantas mematikan saklar lampu kamarnya dan menggantikan dengan cahaya lampu tidur.
"Lho, kok dimatiin?"
"Aku mau tidur."
"Tapi, aku belom mau."
Luna langsung menatapnya sinis dan membuat Fani bungkam seketika. Luna ya kalau sedang marah memang lebih seram daripada gosip tetangga.
"Iya iya. Aku juga mau tidur deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Altair & Aquila
Fiksi RemajaLuna berpikir, hidupnya tak jauh beda seperti bulan sabit. Redup, sendiri, dan tak utuh. Padahal, jauh dari kehidupannya masih ada yang memiliki kekelaman yang lebih kejam darinya. Luna tidak tahu, ia hanya berpikir. Hanya dirinyalah yang paling me...