i wanna lose this pain, could i?
.
.°•°
Pilihannya untuk berangkat lebih pagi ke sekolah memang tak salah. Selain memang ia jadi tak perlu risau tentang keterlambatan. Ia juga jadi dapat melihat Luna lebih cepat hari ini. Tapi sayangnya gadis itu sepertinya sedang dalam mood yang tidak bagus. Lihat saja, langkahnya tergesa-gesa dengan wajah yang tertekuk dan alis tebalnya yang mengkerut sebal. Luna kenapa? Pertanyaan itu sudah hadir sejak detik pertama Gama menemukan gadis itu.
Langkah Luna semakin dekat ke arahnya lantas ia berdiri, menghalangi jalan gadis itu.
Luna mendongak. Baru ingin bicara. Teman Luna, yang bernama... Mmm... Gama agak lupa, oh ya, Fani! Berlari mendekati Luna. Fani juga sama. Wajahnya kelihatan kesal. Ia lalu menggerutu, “Jahat banget si kamu Lun! Aku di tinggalin!”
Luna memutar bola matanya. Lalu ia bicara pada Gama, “Ngapain kamu berdiri di situ!? Awas!” Sedang Gama membalas sambil menaikan satu alisnya. “Kamu kenapa?”
“Bukan urusan kamu!” Luna lalu berjalan melewati Gama begitu saja. Gama terdiam. Ada apa lagi? Apa malam itu Gama berbuat salah? Jika iya, apa?
Gama lalu menatap Fani. Gadis itu nyengir sambil menampakan dua gigi kelincinya, “Sorri ya. Biasa cewek. Lagi PMS.” Fani berbisik sebelum berlari mengejar Luna.
Gama terdiam. Lalu matanya tak sengaja melihat siluet seseorang. Gama menengok ke kanan. Ia sedikit terkejut sebelum kembali menetralkan jantungnya. Dia disana. Berdiri sedari tadi sambil memperhatikannya. Lalu ia tersenyum.
Gama kembali terkejut.
Deg.
Senyum itu.
Senyum yang sama seperti senyum anak laki-laki pada mimpi yang menghantuinya setiap malam.
°•°
Luna bukan tipe orang yang plin plan. Setiap ia punya tujuan. Pasti akan selalu lurus. Intinya satu. Yaudah, gak yang lain-lain. Tapi, ini kenapa. Waktu itu bilang mau lupain Rama. Gak peduli lagi sama Rama. Sekarang lihat Rama berdua sama Eliana malah kesal, hilang mood gini. Kalian jangan bingung. Sesungguhnya Luna juga bingung. Ayolah Luna... optimis!! Berkali-kali Luna mengatakan hal itu sebagai niat. Tapi ya, namanya juga hati.
Sejak tadi Fani sudah melakukan ataupun mengucapkan kata-kata lucu —menurut Fani— untuk menghibur Luna. Tapi, perasaan Luna memang sudah gak bagus. Mau gimana lagi. Percuma. Malah tambah kesel. Soalnya lawakan Fani gak ada yang lucu.
"Yaudahlah Lun... gak seru banget nih kamu kalo lagi bad mood gini. Udahlah istirahat aja yuk."
Bel istirahat pertama memang sudah bunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Dan sejak sepuluh menit yang lalu juga Luna sudah mengatakan pada Fani bahwa ia malas untuk beranjak kemana-mana. Apalagi kantin. Sudah pernah Luna katakan 'kan kalau kantin salah satu tempat yang Luna benci. Ini malah Fani menawarkan ajakan kesana. Tahu lagi bad mood ya pasti tidak maulah Luna. Biarin saja Fani menghabiskan waktu istirahatnya dengan sia-sia karena untuk membujuk Luna.
Luna lalu mengeluarkan earphones dari saku seragamnya. Lalu mulai mencolokkan kabel earphones itu ke handphone dan telinganya. Pusing juga dengerin suara Fani. Tapi sebelum tuntas ia memasang earphonesnya. Seseorang bersuara.
“Lo gak ke kantin?”
Bukan. Luna yakin ini bukan Fani.
KAMU SEDANG MEMBACA
Altair & Aquila
Ficção AdolescenteLuna berpikir, hidupnya tak jauh beda seperti bulan sabit. Redup, sendiri, dan tak utuh. Padahal, jauh dari kehidupannya masih ada yang memiliki kekelaman yang lebih kejam darinya. Luna tidak tahu, ia hanya berpikir. Hanya dirinyalah yang paling me...