^•^
Luna kira ia akan dibawa ke dermaga oleh Gama. Ternyata, lagi-lagi Gama memberinya kejutan. Mungkin pikir laki-laki itu ini bukanlah hal yang perlu dikejuti. Tapi, lain hal untuk Luna. Semua hal kecil pun bagi Luna adalah kejutan, apapun itu yang Gama lakukan. Bahkan kehadiran laki-laki itu pun bagai kejutan. Semua. Syukur Luna mampu menampung hal-hal yang mengejutkan itu ke dalam memorinya dengan rapih. Agar, jika ada waktu. Luna dapat menceritakannya kembali. Bersama Gama. Dengan sudut pandang Luna.
Tempat ini tidak terduga. Ada disebuah komplek perumahan elit yang mungkin tidak banyak orang dapat mengakses tempat ini. Sebuah tanah kosong berukurakan kurang lebih 400 meter dengan beberapa pohon akasia di sisi lapangan. di tengahnya terdapat satu pohon akasia yang lebih besar dari lainnya dan dijadikan sebagai rumah pohon dan ayunan kayu. Di samping rumah pohon itu juga terdapat satu ring basket. Tempat ini, bagi Luna yang pertama kali menginjakan kaki. Seperti tanah kosong angker yang jarang dipijak orang.
Rumah pohonnya pun tak terurus. Banyak lumut dan beberapa sarang laba. Ayunan kayunya pun sama. Di sekitar ring basket sudah banyak rumput-rumput liar tumbuh memanjang. Jika tidak diyakini tempat ini aman oleh Gama tadi. Luna pun enggan datang kesini. Ia takut ada ular.
Gama lalu melepas hoodienya, menyisakan kaus hitam untuk membalut tubuhnya. Lalu menaruh hoodie tadi sebagai alas untuknya dan Luna duduk diatas rumput.
"Nanti aku minta Bunda cariin tukang kebun untuk bersih bersih tempat ini deh." Gama berbicara sambil mengamati tempat ini.
"Ini tempat apasih Gama sebenarnya?" Tanya Luna akhirnya.
Gama menoleh, lalu tersenyum. Ia terdiam cukup lama. Luna kira pertanyaannya akan mengambang begitu saja. Ternyata sepertinya Gama baru saja menimbang-nimbang akan menjawab atau tidak. "Tempat ini adalah kado ulang tahun kita yang kesepuluh."
Luna baru ingin berkomentar sebelum Gama kembali bicara, lebih tepatnya bercerita.
"Saat berulang tahun, gatau ide darimana Ayah sama Bunda memberi kita kado ini. Kita seneng banget Lun. Ayah bilang, kalo kita mau main jadi gak usah jauh jauh, biar Bunda gak cape cari cari kita. Ayah emang gitu, sayang banget sama Bunda." Gama terkekeh, begitupun Luna. Meski ia masih tidak paham alur cerita Gama. Namun, mata dengan manik hitam legam itu seperti memancarkan kebahagiannya sendiri.
"Tempat ini jadi kaya base camp buat kita. Nanti kalo hari minggu kita juga ngajak Ayah sama Bunda. Kita buat piknik kecil kecilan. Kita bahagia banget, bahkan sampai gak sadar di antara bahagia itu ada tumor penghancur yang tengah tumbuh.
Ayah memang jarang menghabiskan waktu dengan kita. Tapi biar begitu, Ayah punya hari minggu dan sabtu yang ia dedikasikan khusus untuk kita. Harusnya kita bersyukur meski Ayah sibuk, Ayah masih peduli sama kita. Bukannya mengkhianati dia.
Beberapa bulan setelah hari ulang tahun kita. Bunda jadi sering membawa teman kantornya ke rumah, terkadang juga ke tempat ini. Teman kantor Bunda yang pertama kali kita temui di butik Bunda itu namanya Om Tirta. Dia baik Luna, sering juga membelikan kita mainan, mau di ajak bermain basket. Karena baiknya Om Tirta, kita bahkan sampai lupa posisi Ayah. Setiap ingin bermain yang selalu kita tanyakan pada Bunda adalah kehadiran Om Tirta, bukan lagi Ayah. Saat itu kita gak tau, kita kira Om Tirta hanya sekedar teman baik Bunda. Ternyata, Om Tirta selingkuhan Bunda.
Semua kebongkar pada malam itu. Dimana, Ayah baru pulang dari luar kota. Kita gak tau bagaimana cara Ayah mengetahuinya. Yang pasti kita melihat pertengkaran itu. Ayah marah karena kecewa, Bunda menangis karena menyesal, Om Tirta menahan kesal karena malu. Saat itu aku belum terlalu mengerti dengan semuanya, namun dia sepertinya lebih dewasa dari aku. Dia seperti sudah paham dengan kelanjutan dari semuanya."
Gama terdiam cukup lama. Luna menganggap laki-laki itu telah mengakhiri ceritanya. Maka ia bertanya, "Aku bingung saat kamu mengatakan kita? boleh aku bertanya?"
"Aku malah heran kalo kamu gak nanya." Gama kembali terkekeh, padahal jelas matanya menggambarkan kepiluan. Dasar Gama, sama saja seperti Luna.
"Kita, aku dan kembaran ku."
"Kembaran?"
"Aku Gama dan kembaranku Rama."
Luna terdiam. Ia lalu tertawa, seakan menyangkal pikirannya yang selalu mengatakan Rama yang Gama maksud adalah Rama yang ia kenal. Gak mungkin, wajah mereka saja beda jauh. Meski mereka memiliki mata yang sama, namun tidak mungkin. Semua orang pasti memiliki mata seperti Gama dan Rama. Gak mungkin mereka kembar. Gak mungkin.
"Iya Lun, Rama Bintang. Dia kembaran ku sekaligus adikku, kita cuma beda lima menit. Meski aku kakaknya, tapi kayanya dia lebih dewasa ya." Gama seakan menjawabnya. Luna semakin dibuat pusing. Tapi bagaimana bisa? Jadi, mereka kembar tak seiras??
"Tap... tapi kenapa kalian bisa jauh?"
"Alasanya seperti cerita ku tadi. Semenjak Bunda mengenal Om Tirta, tumor penghancur itu sudah mulai berkembang sehingga lama kelamaan tumor itu menghancurkan kebahagian kami. Ayah dan Bunda bercerai, hak asuh kita di bagi dua. Aku sama Bunda dan Rama dengan Ayah. Bunda memilih untuk tinggal di Singapura dengan alasan Ayah yang menyuruhnya untuk tinggal yang jauh dan tidak boleh menemui Rama karena jika Bunda nekat menemui Rama. Aku akan dibawa Ayah dan Bunda sama sekali tidak boleh menemui Aku dan Rama.
Aku kira, Rama akan baik-baik saja dan bahagia bisa tinggal sama Ayah. Karena yang kita tahu, Ayah memang sosok yang baik dan lembut, bahkan ia tidak pernah membentak aku dan Rama. Tapi, ternyata dugaan aku salah, ternyata semenjak perceraianya Ayah menjadi sosok yang temperamental, dan selalu melampiaskan kekesalannya pada Rama. Saat itu Rama masih kecil, tubuhnya pun terlalu rapuh untuk dijadikan sebuah samsak. Tapi, ternyata dia hebat, dia mampu bertahan hidup seperti itu selama dua tahun. Hingga akhirnya Ayah tertangkap karena kasus korupsi dan meninggal bunuh diri di dalam selnya. " Akhirnya setitik air mata yang susah payah ia jaga runtuh juga. Ini pertama kalinya Gama menangis, lebih tepatnya menangis di hadapan orang lain selain Bunda. Ini pertama kalinya seseorang melihat kerapuhannya.
Luna melepas genggamannya dan menggantikan dengan rengkuhan. Gama menangis disana, meleburkan sesak yang mungkin selama ini ia pendam, penyesalan nyata di dalam sana.
"Aku bodoh Lun. Aku bodoh baru mengetahui ini beberapa bulan yang lalu. Aku bodoh mengira Rama bahagia dalam menderita. Aku bodoh Lun, Aku nyesel."
Luna mencoba menepuk-nepuk bahu laki-laki itu. "Dari yang aku dengar. Aku gak menemukan letak kesalahan kamu kok. Ini semua adalah kesalahan dari keegoisan para orang dewasa. Sehingga kita yang kena dampaknya." Luna melepas rengkuhannya. Lantas mengusap air mata itu sebagaimana Gama sering melakukannya pada Luna. "Sekarang yang lebih penting, adalah kamu dan Rama. Kalian harus berdamai. Sekarang aku ngerti, kenapa kalian terlihat begitu jauh, tapi terasa dekat."
Gama mengambil tangan Luna dari pipinya, kembali mengggamnya erat. Lantas ia kembali tersenyum. Berterimakasih pada Tuhan. Karena akhirnya, ia mampu bercerita pada Luna. Ia mampu menangis dibahu yang tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Altair & Aquila
Novela JuvenilLuna berpikir, hidupnya tak jauh beda seperti bulan sabit. Redup, sendiri, dan tak utuh. Padahal, jauh dari kehidupannya masih ada yang memiliki kekelaman yang lebih kejam darinya. Luna tidak tahu, ia hanya berpikir. Hanya dirinyalah yang paling me...