^•^
Melalui earpods R5 menemaninya merenung dengan lagu Do It Again sebagai latarnya. Di dalam lengkupan tangannya sendiri Luna tidak berhenti mendesis memikirkan kejadian dua hari yang lalu. Tepatnya saat ia terkunci di gudang, lalu terbangun di UKS bersama Rama di sampingnya. Hanya Rama, tanpa Fani yang katanya saat ia tanya lewat Line waktu itu ia harus mengunjungi rumah sakit karena neneknya kembali drop. Dan Gama? Entah, sudah berpuluh-puluh pesannya terabaikan. Benar. Sudah dua hari ini laki-laki itu kembali menghilang. Dengan Luna yang lagi-lagi tidak tahu alasannya.
Yang membuat Luna resah adalah kenapa di saat ia sangat membutuhkan kehadiran Gama, sebaliknya malah Rama yang bersamanya. Luna saat itu tidak bisa mengusir Rama meski dirinya ingin. Hanya karena Luna mengerti arti balas budi. Akhirnya, seperti bukan laki-laki dingin yang dulu sering menghindarinya. Rama mengajukan diri untuk mengantarnya pulang. Ia berkata, itu satu-satunya cara Luna untuk berbalas budi.
Kini ia kembali melihat ponsel. Pesan terakhir yang ia kirim 20 puluh menit yang lalu untuk Gama kembali hadir tanpa arti. Ia mendesah kesal dengan semua kelakuan Gama. Namun tetap penasaran dengan hilangnya laki-laki itu kemana. Satu minggu kehilangannya yang kemarin meski ia sudah memberi Luna alasan bukan berarti Luna percaya. Semua alasannya benar-benar tidak masuk akal. Luna saat itu memilih mengerti karena rasa senangnya atas kehadiran laki-laki itu.
Namun, untuk kedua kalinya. Luna harus mencecar Gama untuk menjawab dengan jujur. Kemana perginya laki-laki itu saat menghilang.
Satu timpukan kertas yang mengenai kepalanya membuat ia mendongakan kepala. Tanpa mengedarkan pandangan Luna sudah menangkap sosok yang baru saja mengganggu ketenangannya. Entah tahu darimana, karena setahu Luna laki-laki itu tidak pernah tahu kebiasaan Luna yang selalu mangkir ke perpustakan di istirahat kedua.
Ia menempati kursi dihadapan Luna. Senyum indah yang jarang sekali laki-laki itu tampakan kini mampu ia lihat dengan bebas. Dua lesung pipi terlihat, yang baru Luna sadari di saat seperti ini Rama dan Gama memang seperti pinang dibelah dua. Bagaimana semua orang termasuk dirinya tidak menyadari hal itu?
"Udah terpesonanya?"
Luna berdecak sambil melepas earpodsnya. "Ngapain kesini?"
"Nemuin lo lah."
"Kok bisa tau aku disini?"
"Apasih yang gak gue tau tentang lo. Gue tau semua."
Apasih yang gak gue tau tentang lo.
Entah kenapa kalimat itu mengingatkan dirinya yang mengatakan hal serupa pada Rama dulu. Luna sedikit merunduk. Kenapa disaat tidak ada kehadiran Gama, Rama malah hadir dengan tingkahnya yang seperti ini. Apakah laki-laki itu tidak tahu betapa sulitnya Luna menahan pertahanan hatinya.
"Oh ya gue beliin lo roti keju sama susu coklat." Rama menjeberkannya di atas meja.
Luna menaikan alis. Ini kebiasaanya dulu. Saat ia sedang mati-matian mencari perhatian Rama. Di saat semua roti keju dan susu coklat yang ia berikan pada Rama berakhir mengenaskan.
Luna menahan rasa kesalnya dengan mencekal tangannya sendiri. Ia tidak tahu intensitas laki-laki itu apa melakukan hal ini. Ia tidak tahu dan tak mau tahu. Karena pada akhirnya Luna tahu ia akan kalah. Ia akan dirundung oleh kebimbangan hatinya yang lagi-lagi membuatnya merasa bodoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Altair & Aquila
Teen FictionLuna berpikir, hidupnya tak jauh beda seperti bulan sabit. Redup, sendiri, dan tak utuh. Padahal, jauh dari kehidupannya masih ada yang memiliki kekelaman yang lebih kejam darinya. Luna tidak tahu, ia hanya berpikir. Hanya dirinyalah yang paling me...