A&A-10

300 25 2
                                    


"Definisi aku akan bahagia jika kamu bahagia itu bagaimana?"

°•°

Luna membalikan badan saat melihat laki-laki di hadapannya tersenyum ke arahnya. Mau tak mau ia harus mutar balik. Mungkin ia akan ke toilet untuk sementara. Sampai laki-laki itu pergi dan tidak mengikutinya lagi seperti ini. Dan ia akan pergi ke kelasnya.

"Tungu dulu Luna. Aku mau jelasin."

Luna tetap berjalan tanpa mengindahkan Gama yang kini sudah berada bersisian dengannya. "Lun jangan jalan dulu aku mau ngomong."

Luna belok kiri, memasuki toilet. Dan ia berharap bahwa laki-laki itu sudah tidak mengikutinya lagi.

"Luna."

Tapi ia salah.

Ia lalu menoleh ke belakang. Menatap Gama kesal. Laki-laki itu keras kepala. Sudah tahu Luna sedang tidak mau diganggu masih saja nekat mengganggu.

"Kamu gak bisa baca ya!? Di depan tertulis toilet wanita! Kamu waria!?" Luna melipat tangannya di depan dada. Masih dengan tatapan kesalnya pada Gama. "Keluar! Sebelum aku teriak kalo ada siswa mesum!"

Gama malah tersenyum. Ia menyenderkan pinggangnya ke wastafel. "Teriak aja. Tapi... sebelum kamu teriak dengerin aku dulu."

"Gak mau," Luna membuang muka, "aku itung sampe tiga. Kalo kamu gak keluar juga. Aku teriak."

"Lun dengerin dulu."

"Satu..."

"Kemarin temen aku ada yang masuk rumah sakit."

"Dua..."

"Lun plis..."

"Ti—"

"Oke oke. Aku keluar."

Gama akhirnya keluar. Membuat Luna dapat menghembuskan napasnya lega. Ia lalu menatap wajahnya lewat cermin. Terdiam. Lantas sebuah pemikiran sekelibat melintas di kepalanya.

Untuk apa ia marah pada Gama?

Apa ini tidak kekanak-kanakkan?

Lagipula tidak seharusnya Luna bersikap seperti ini pada Gama.

Gama hanyalah teman.

Teman biasa.

Teman yang baru dua minggu ia kenal.

°•°

Eliana menyeka peluh pada pelipisnya. Ia lalu berdecak sambil melangkah mendekati seseorang yang kini sudah berada di hadapannya. "Suka banget sih diem di sini. Udah panas. Bikin capek lagi harus naek tangga dulu." ia lalu menempati ruang kosong di kursi bambu panjang yang kini direbahi oleh orang yang baru saja ia ajak bicara.

Angin berhembus kencang hingga sedikit mengurangi peluh yang membasahi sebagian tubuhnya. Eliana menoleh ke kanan. Alisnya menaut. "Dengerin gue ngomong gak sih ih!"

Masih didiami. Ia lalu membuka hoodie yang menutupi wajah laki-laki itu. Eliana tersenyum seraya menutup kembali wajah laki-laki itu. "Tidur ternyata."

Eliana lantas ikut merebahkan diri di sisa ruang kosong tadi. Ia menatap langit. "Pantes lo anteng disini," ia bergurau sendiri, "langitnya bagus ya?"

Sebenarnya Eliana baru saja meminta izin pada Guru Geografinya bahwa ia harus ke toilet. Namun saat melewati kelas Rama dan tidak adanya laki-laki itu di kelasnya. Eliana pun berinisiatif untuk menghampiri laki-laki itu. Dan tanpa berpikir panjang, Eliana langsung mendatangi tempat ini. Rooftop sekolah.

Eliana terkesiap ketika tiba-tiba saja ia merasa ada yang baru saja meniup pipi kirinya. Ia lalu menoleh. Mematung ketika matanya tak sengaja menabrak pupil hitam legam milik Rama. "Bandel lo ya. Udah mulai berani cabut-cabutan?" Eliana lalu mengerjap ketika menyadari bahwa Rama terbangun. Ia lalu bangkit duduk. Menatap ke segala arah untuk menutupi rasa salah tingkahnya.

"Mm... gue cuma bosen di kelas aja kok. Terus... ya ke rooftop deh, eh kebetulan ada lo." Eliana berdiri. "Gue balik ke kelas deh."

"Eh tunggu-tunggu," Eliana menoleh. "Bareng," sambung Rama. Mereka lalu melangkah beriringan. Karna kelas Eliana berada di lantai satu sedangkan kelas Rama di lantai dasar. Sehingga Eliana yang terlebih dahulu memasuki kelasnya.

"Udah belajar yang bener. Gak usah ngikutin gue," Rama berbicara tegas. Namun Eliana membalasnya main-main, "Gak mau. Mau ikutin Rama aja."

"Jangan gue bilang."

"Kenapa? Enak lho hidup kaya lo. Tenang gitu...."

"Kata siapa?"

"Gue tadi."

"Sok tau...." Rama mengacak rambut Eliana membuat gadis itu terkikik. "Udah ah mau masuk kelas." Rama berhenti, ia lalu mengangguk. "Oke. See ya!"

"See ya!"

°•°

Pak Saih masih sibuk menjelaskan tentang batu cincin yang baru saja ia beli dan yang katanya terbilang sakti itu. Guru yang satu itu memang sedikit random. Dia Guru Bahasa Indonesia, namun terkadang apa yang ia jelaskan selalu melencong dari yang seharusnya ia jelaskan. Dia adalah salah satu tipe guru yang jarang kasih tugas, tapi lebih banyak curhatnya.

Luna melengos. Terlalu bosan mendengarkan curhatan Pak Saih yang sebenarnya curhatan itu sudah ia ceritakan sebelumnya. Luna mengetuk-ngetuk penanya dengan irama. Hari ini Fani belum bisa masuk sekolah. Hal yang membuat Luna semakin dilanda kebosanan. Ia lalu mengangkat tangannya, menginterupsi curhatan Pak Saih yang masih berlangsung meski para muridnya sudah tertidur.

"Iya, kenapa Luna?"

"Saya izin ke toilet ya pak?"

"Oh iya-iya. Silahkan." Pak Saih tersenyum. Ia lalu kembali bercerita, "Jadi istri saya tuh...."

Luna sebenarnya sedang tidak ingin buang air besar atau apapun yang membuatnya harus ke toilet. Ia hanya bosan. Dan sekarang ia tak tahu harus pergi kemana. Dan entah kenapa tiba-tiba Luna ingin sekali melintasi kelas Gama. Hanya untuk melihat laki-laki itu belajar. Setelah kejadian tadi pagi. Luna jadi merasa canggung bila harus bertemu langsung dengan Gama.

Tetapi tiba-tiba langkah Luna terpaku. Tepat di ujung tangga. Tangannya mencengkram kuat besi penyangga. Matanya lurus menatap ke arah dua sejoli yang saling bicara entah apa.

Luna merasa sesuatu mengusik perasaannya. Ini tidak benar. Ia harus melupakan.

Lalu satu langkah ia membalikan badan. Seharusnya ia tetap di kelas. Mendengar semua curhatan Pak Saih lebih baik daripada ini. Luna harusnya tahu. Tidak adanya keberadaan laki-laki itu di kelas pasti memiliki alasan. Apalagi setelah kehadiran Eliana. Semua alasan berubah. Semua alasan ada pada diri gadis itu.

°•°

Altair & Aquila Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang