^•^
Hari ini Luna berjanji akan menemani Fani belanja stock skincare yang katanya kebetulan hari ini sedang ada diskon besar besaran di Guardian. Karena bertepatan hari ini hari Sabtu yang mana sekolahnya akan memulangkan muridnya lebih cepat dari biasanya. Luna memberi saran agar mereka langsung pergi saja sepulang sekolah.
"Eh, btw, gimana tuh kabaranya si Gama? Masih ngilang dia?" Fani bertanya selagi Luna sibuk memasukan peralatan tulisnya ke dalam tas.
Luna menghedik. "Masih gak ada kabar."
"Oh ya. Kayanya aku baru inget deh."
"Inget apa?" Luna menyelempang tasnya di kedua bahu.
"Waktu kamu pingsan di gudang. Aku baru inget kalo sebelum Gama pergi pulang aku sempet liat muka dia itu pucet banget kaya orang sakit."
"Orang sakit?" Luna bergumam pelan. Sambil melangkah beriringan dengan Fani menuju loker karena ada satu buku besar yang harus ia simpan disana karena terlalu berat untuk ia bawa-bawa.
"Aku gak tau sih ini aku yang salah liat apa emang Gama lagi sakit. Emang dia gak cerita apa gitu sama kamu Lun?"
Luna menggeleng.
Setelah sampai Luna segera menuju nama lokernya berada. Sedang Fani ia mengatakan akan pergi ke toilet dan menunggunya di luar.
"HAAAA!!" Mungkin saja Luna tidak akan berteriak jika ia tidak menemukan apa yang ia lihat sekarang di dalam lokernya.
Fani berlari masuk dan ikut terkejut di sampingnya.
Sebuah bangkai merpati dengan cat merah yang melumuri kepala merpati itu tergeletak mengenaskan di dalam lokernya. Luna yakin itu adalah cat karena ia dapat mencium aromanya.
Fani mengerutkan alis sambil mengambil sejumput surat yang tertindih di tubuh merpati itu. Dan semakin dibuat terkejut ketika ia melihat tulisan dibalik surat itu.
You are a killer Luna. You are a killer of your mother and your sister. And then, who is would you killing next?
Luna yang ikut membacanya ikut terkejut. Wajahnya sudah pucat pasi. Air mukanya berubah menjadi sebuah ketakutan.
Fani yang sadar akan perubahan Luna segera menggoyangkan bahu gadis itu, seakan menyadarkan bahwa isi surat itu tidak benar. Tapi, sayang trauma itu kembali menyerang Luna. Tangan Luna sudah bergetar. Bayang-bayang tentang kak Zoya yang sering kali meneriaki bahwa ia adalah pembunuh mamanya sendiri mengaung keras bahkan sampai memekikan telinga. Apalagi ditambah teriakan orang-orang saat kejadian naas 9 tahun yang lalu dimana dengan mata kepalanya sendiri ia melihat kakanya terguling di aspal dengan tubuh bersimpah darah.
Luna menekan kepalanya yang mulai berdenyut. Ia lantas berlari meninggalkan Fani yang terus berteriak menyebut namanya. Ia sudah tidak peduli dengan tatapan orang-orang yang seakan ingin tahu. Seakan ia ingin sekali berlari jauh dari kenyataan.
Bukan. Luna bukanlah pembunuh.
Luna terus menggeleng sembari ia mencoba menyalakan motornya dan menjalankannya keluar dari area sekolah.
Mamanya meninggal karena Tuhan terlalu mencintai mamanya.
Bukan karena Luna. Bukan.
![](https://img.wattpad.com/cover/119357889-288-k434747.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Altair & Aquila
Teen FictionLuna berpikir, hidupnya tak jauh beda seperti bulan sabit. Redup, sendiri, dan tak utuh. Padahal, jauh dari kehidupannya masih ada yang memiliki kekelaman yang lebih kejam darinya. Luna tidak tahu, ia hanya berpikir. Hanya dirinyalah yang paling me...