^•^
Luna langsung mengusap tombol merah ketika nama yang tak ingin ia lihat muncul di layar ponselnya. Lalu setelahnya datang belasan pesan yang memenuhi notifikasinya. Luna tidak ambil peduli jika ia bisa lebih fokus lagi pada drama korea yang tengah ia tonton lewat MacBooknya. Tapi tak hanya berakhir disitu, ponselnya kembali berbunyi hingga membuatnya jengah. Hingga mematikan ponsel menjadi alternatif terakhirnya agar dapat tenang menikmati para oppa-oppa tampannya berdialog.
Beberapa menit ia merasa tenang. Tiba-tiba ketukan pintu berbunyi dibarengi suara Tante Maura yang memangggil namanya kembali mengintrupsi. Luna berdecak jengah. Ia akhirnya harus tega mempause drama yang ia tonton demi melangkah beberapa langkah dan membuka pintu dan menanyakan alasan Tante Maura mengganggu me timenya.
"Ada temen kamu tuh. Lagi di ruang tamu ngobrol sama Papa."
Setelah memberitahu hal itu. Tante Maura pergi dan meninggalkan Luna dengan kebingungan. Fani? Mana mungkin, anak itu jika datang ke rumah akan merasa rumah ini adalah rumahnya sendiri. Pasti ia langsung ke kamar Luna. Lalu, siapa? Luna tidak punya teman dekat selain Fani.
Atau mungkin, Gama?
Luna meloncat kegirangan sendiri dengan tebakannya meski belum pasti benar. Ia pun segera kembali masuk ke kamarnya. Mencuci muka dan menyisir rambut. Mm... polesan bedak tipis mungkin.
Setelah merasa dirinya sedikit terlihat lebih baik. Luna berlari. Sampai ia harus cepat-cepat menghentikan langkahnya di pembatas sekat ruang tamu. Dan kalian tahu kan? Saat kalian berlari dan diharuskan untuk berhenti tiba-tiba dan saat itu tubuh kalian tidak bisa menyeimbangi dengan benar. Yap betul. Kalian akan terjatuh.
Luna mengusap sikutnya karena jatuh tengkurap yang mana kedua sikutnya harus menahan bobot tubuhnya.
Seseorang langsung membantunya bangun. Orang yang membuatnya harus berhenti mendadak seperti tadi. Orang yang menjadi alasannya terjatuh seperti ini. Orang itu membawa Luna duduk di sofa yang ternyata sudah tidak ada Papa karena katanya Papa tengah mengambil kotak P3K untuk lecet di sikunya yang tidak seberapa.
"Lagi ngapain sih bisa jatoh kaya gini?"
Luna menarik tangannya. "Aku kaget liat kamu."
Rama terkekeh sok asik. "Seneng banget liat gue."
"Bukan seneng!"
"Terus apa?"
"Kamu tuh nyebelin banget ya!"
"Ssst." Rama mengintrupsi untuk diam ketika ternyata Papa datang membawa kotak P3K yang menurut Luna ini terlalu berlebihan demi luka yang hanya seperti cakaran kucing.
"Tadi Rama udah izin kok sama Papa."
"Izin?" Luna bertanya kepada Rama.
"Makasih ya om." Namun laki-laki itu mengabaikannya dan malah asik cari muka di depan Papa.
Papa akhirnya pergi setelah mengatakan bahwa Luna harus segera mandi dan rapih-rapih karena ada Rama yang akan mengajak pergi. Notasi Papa saat bicara seakan Rama adalah laki-laki pertama yang pernah mengajakanya pergi. Dan hal itu membuat Luna malu.
Luna hanya mengganti celana tidurnya dengan highwaist boyfriend jeans yang dipadukan dengan kaus putih yang sedari tadi ia kenakan dan juga flatshoes hitam dan totebag coklat. Ia tak ingin berpenampilan berlebihan hanya demi pergi bersama Rama. Ia juga hanya menyisir rambutnya dan memoles tipis liptint di bibirnya.
Ternyata Rama sudah tidak di ruang tamu. Ia pun mencari laki-laki itu yang ternyata menunggunya di teras depan.
Saat ia memasuki mobil Rama ia bertanya mereka akan pergi kemana. Rama mengatakan mereka akan pergi ke salah satu skatepark yang lumayan terkenal di kota ini. Yang katanya tengah ada event dimana para skateboarder akan menunjukan bakat-bakat mereka atau menunjukan trik-trik bermain skateboard yang akan terlihat keren. Rama juga mengatakan ia sangat begitu menyukai skateboard. Hingga mungkin ia tidak sadar ketika ia baru saja bercerita tentang dirinya dan Gama yang ternyata memiliki kesukaan yang sama.
"Dulu gue sama dia sering banget main skateboard di taman komplek yang kebetulan ada skateparknya." Tapi seakan ia menyadari kesalahannya yang sebenarnya itu bukanlah kesalahan. Rama langsung diam dan mencari topik yang lain.
Selama tiga puluh menit kedepan Luna hanya diam atau sesekali bersenandung pelan ketika beberapa lagu yang ia tahu tersiar di radio. Rama ternyata tetaplah Rama yang dingin. Perubahannya ternyata tidak merubah suasana membosankan pada dirinya. Yang sedari tadi laki-laki itu lakukan hanya diam memperhatikan jalanan di depannya atau kadang memaki dengan kata-kata kotor ketika ada mobil yang menyalip seenaknya.
Sekarang sudah jam tiga sore dan menurut informasi dari Rama event ini berlangsung jam empat sore. Namun pengunjung disini sudah ramai memenuhi area skatepark.
Karena waktu yang masih lama. Rama menariknya seraya mengatakan untuk mereka jalan-jalan sebentar. Di luar taman banyak para pedagang yang menjajarkan makanannya. Luna tertarik pada salah satu stan yang menyajikan waffle ice cream. Yang akhirnya Luna dapatkan satu waffle dengan ice cream vanilla dan beberapa macam topping di atasnya.
Selagi menunggu Rama yang katanya harus pergi mencari toilet. Luna memilih untuk menunggu di kursi besi panjang yang tak ramai di tempati.
Semilir angin sore membelai kulit pipinya. Luna tersenyum tipis saat tiba-tiba saja sosok imajinasi muncul di kepalanya. Sosok yang ia harapkan ada bersamanya. Duduk di sampingnya menikmati apapun yang akan menjadikannya moment yang sangat indah. Tapi, seperti memang harus menerima kenyataan. Untuk satu bulan ini, Gama pergi tanpa memberinya kabar. Tanpa alasan. Seakan ketakutan Luna akan tiba. Tapi, biar begitu Luna akan tetap yakin. Gama akan kembali, ia hanya pergi sebentar.
Suara anak kecil menangis yang menjerit memanggil ibunya membuat Luna menoleh ke kiri. Tapi beberapa detik kemudian ia di kejutkan oleh suara benda yang pecah bersamaan dengan bau amis busuk dari arah kanannya. Luna sontak menjerit saat tahu benda itu adalah telor busuk yang hampir saja mengenai wajahnya jika saja ia tidak menoleh tadi. Dan sekarang telor itu mengenai sedikit bahunya.
Luna mencari siapa pelakunya. Dan dari sekelibat yang ia lihat. Pelakunya adalah seorang perempuan. Yang sangat disayangi Luna tidak dapat melihat wajahnya jelas.
Lalu dari arah berlawanan. Rama berlari mengejar perempuan tersebut. Yang kembali membuat Luna terkejut akan kehadiran laki-laki itu yang tiba-tiba.
Di tempat lain Rama masih sibuk mengejar orang tersebut. Ia berlari cukup jauh sampai orang tersebut memilih memasuki salah satu gang yang pada akhirnya malah membuatnya terjebak.
Rama tersenyum ketika melihat wajah panik itu. Ia mendekat dengan gerakan yang mengintimidasi. Ia benar-benar tidak percaya saat melihat gadis itu kini mendongakan wajahnya seakan memang menantang dirinya.
"Gue gak nyangka. Ternyata elo yang ngelakuin semua itu?"
Gadis itu tersenyum yang Rama tebak ia lakukan demi menyembunyikan rasa takutnya. "Kenapa kaget?"
"El... El..., yang lo lakuin itu cuma sia-sia tau gak?"
Rama mengusap pipi Eliana lembut. "Udahan ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Altair & Aquila
Teen FictionLuna berpikir, hidupnya tak jauh beda seperti bulan sabit. Redup, sendiri, dan tak utuh. Padahal, jauh dari kehidupannya masih ada yang memiliki kekelaman yang lebih kejam darinya. Luna tidak tahu, ia hanya berpikir. Hanya dirinyalah yang paling me...