"Aku selalu memohon pada Tuhan. Kebahagianku harus berlangsung lama, kalau bisa, selamanya."
^•^
Gama baru saja tertawa cukup kencang. Matanya bahkan sampai berair. Melihat itu Luna hanya memutar bola matanya malas. Padahal menurutnya apa yang ia ceritakan tadi sama sekali tidak menggelitik. Jadi, Luna baru saja bercerita tentang kelakuan absurd kembaran laki-laki itu alias Rama kepada Gama. Setelah dua hari berlalu, Luna baru sempat bertatap muka langsung dengan Gama. Selama dua hari yang lalu itu juga sebenarnya Gama sudah masuk sekolah, hanya saja entah kenapa mereka seperti saling menghindar.
"Dia itu bener-bener nyebelin tau gak? Sumpah deh masa kan waktu itu aku sempat ngechat kamu juga kan? Aku bilang kembaran kamu gila bla-bla gitu ke kamu kan, eh masa tiba-tiba dia narik hape aku sambil bilang "Gue gak suka kalo ada mantan yang lagi jalan sama gue malah sibuk sama orang lain"." Luna mencoba meniru suara Rama sambil mencebik. Luna juga heran, bisa-bisanya dulu jika, bahkan hanya mendengar kata Rama saja ia bisa senyum-senyum sendiri. Sekarang, ia malah kesal setengah mati.
Dengan sisa tawanya Gama mencoba menjawab. "Kayanya Rama benar-benar jatuh cinta deh sama kamu." Gama terkekeh.
Dari pendengaran Luna kekehan itu bermakna lain. Luna langsung terperanjat, ia menggeleng. "Jangan pernah berpikir untuk ninggalin aku ya! Jangan mentang-mentang kamu punya rasa bersalah sama Rama kamu ninggalin aku. Aku gak suka!" Luna mengatakan itu dengan bibir bergetar hebat. Entah kenapa ditinggalkan seperti phobia untuk Luna. Jangan lagi. Luna memohon.
Gama lantas merengkuh Luna secepat mungkin. Mencoba agar air mata itu untuk tidak turun deras. Gama mengelusnya, menggeleng dan terus meminta maaf. "Maaf."
"Jangan Gama. Aku mohon jangan."
"Ngga Luna. Maaf ya."
Luna mengangguk, bersama semilir angin yang mengelus lembut pipinya, membuat air mata itu mengering dengan sendirinya. Luna percaya. Luna anggap semua perkataan Gama tadi adalah janji. Gama tidak boleh meninggalkannya. Gama tidak boleh membuatnya merindu. Luna ingin egois sekali lagi.
Bicara tentang semilir angin. Kini Luna sedang berada di rumah pohon yang satu minggu lalu ia kunjungi. Tempat ini sudah lebih baik dari sebelumnya. Gama benar-benar menyuruh tukang kebun untuk merapihkan tempat ini. Sekarang tempat ini menjadi sangat keren. Di dinding kayu rumah pohon ini Gama dekor dengan beberapa lampu tumblr yang menjadikannya dilihat aesthetic di malam hari seperti ini. Ring basketnya sudah diganti menjadi baru. Ayunan kayunya masih sama, hanya saja ia cat ulang. Luna mendedikasikan tempat ini menjadi tempatnya mencari Gama. Luna percaya Gama tidak akan meninggalkannya, namun membuat antisipasi tidak salah kan. Ia sudah mengatakan itu tadi. Dan Gama menyetujui.
"Kamu benar-benar sudah melupakan Rama ya."
Luna masih di dalam pelukan Gama. Di sini hangat, Luna menyukainya. Matanya masih terus menatap bintang yang kali ini berhamburan banyak sekali di langit, dan bulan yang tak mau kalah menyayangi keindahannya. Gama bilang tadi, di sini juga ada bulan dan bintang lainnya yang tak mau kalah indah dari bulan bintang di langit sana.
"Menurutmu?"
Gama memilin-milin rambut Luna seraya tersenyum. Ia lantas mengeratkan pelukannya. Dan terus berterimakasih pada Tuhan. Terimakasih telah memberi kebahagian ini. Terimakasih, telah menciptakan kenangan indah ini.
"Aku sekarang sudah bisa merindukanmu. Aku selalu senang dekat denganmu. Aku suka dipeluk kamu. Itu tandanya apa?" Luna mendongak. Menatap mata hitam legam itu yang selalu saja membuat Luna terbuai. Luna tersenyum ketika Gama tak menjawab pertanyaan. Laki-laki itu menyuil hidung Luna. "Terimakasih." Dan mengatakan itu.
Luna mengangguk. "Terimakasih juga sudah membuat ku bahagia."
KAMU SEDANG MEMBACA
Altair & Aquila
Teen FictionLuna berpikir, hidupnya tak jauh beda seperti bulan sabit. Redup, sendiri, dan tak utuh. Padahal, jauh dari kehidupannya masih ada yang memiliki kekelaman yang lebih kejam darinya. Luna tidak tahu, ia hanya berpikir. Hanya dirinyalah yang paling me...