A&A-07

357 49 2
                                    

Selalu bertanya, apa jadinya bulan tanpa bintangnya?

°•°

Hari ini bisa dibilang akan menjadi hari terburuk untuk Luna. Jangan tanya kenapa, karna Luna sudah malas untuk merangkai kata menjadi kalimat alasan karena sangat kesalnya.

“Nanti kalau pulang tunggu Eliananya, pulang bareng-bareng.”

“Kenapa harus aku sih, Pa!?” Luna hampir menjerit, jika saja ia tidak sadar di ruang makan ini bukan hanya ada dirinya saja. “Lagian, Eliana kan bisa berangkat naik bus, atau...,” Luna melirik tante Maura, “tante Maura kan bisa antar Eliana. Kenapa harus sama aku?!”

Papa tersenyum, berharap senyumnya dapat mengubah pikiran Luna. Tapi, tunggu. Semanis apapun senyuman Papa. Luna tidak akan luluh. Luna akan tetap menolak untuk berangkat dan pulang bersama Eliana setiap hari ke sekolah. Tidak! Luna tidak akan mau.

“Jangan begitu, Eliana sekarang sudah menjadi saudaramu.”

Luna hanya merenggut kesal. Ia tak lagi menjawab ucapan Papanya. Papanya tidak akan pernah mengerti. Se-detail apapun Luna menjelaskan Papa tidak akan pernah mengerti. Sekarang rasanya Luna ingin menangis. Memendam kesal sangat-sangat menyakitkan. Terasa layaknya ada ganjalan di hati. Luna akhirnya memilih menyudahi sarapannya, ia lalu menaruh kunci motornya di atas meja makan, persisnya tepat di hadapan Eliana. “Biar Luna yang ngalah. Luna naik bus aja.”

Luna pergi begitu saja tanpa mengucapkan salam ataupun berpamitan pada Papa dan tante Maura. Ia tadi sempat melirik ekspresi Eliana sebelum benar-benar meninggalkan ruang makan, dari lirikan tiga detiknya. Ia melihat Eliana terkejut. Atau... gadis itu merasa bersalah?

Ah, sudah. Luna tidak peduli.

Luna benar-benar melakukan persis seperti yang ia ucapakan tadi. Ia berangkat ke sekolah menggunakan bus. Oke, Eliana. Kamu sudah memperlihatkan dampak burukmu pada Luna.

°•°

Gama mengganti lagu yang sudah tiga menit lebih terputar sambil mengaluni telinganya melewati earphone. Kepalanya ia angguk-anggukan sealur dengan nada-nada irama dari musik. Matanya terpejam, seakan jiwanya ikut hanyut dalam setiap bait dan lirik lagu. Kini ia tengah berada di koridor, duduk di salah satu bangku semen yang ada di sini. Tanpa peduli lalu lalang orang-orang yang memperhatikannya.

Gama dapat dibilang memiliki tampang yang lumayan enak dipandang. Maka tak salah banyak siswi yang melaluinya sambil melirik maupun menatapnya terang-terangan. Bahkan ada juga yang sampai cekikikan malu sendiri. Gama tidak melihat apapun, karena kini ia tengah memejamkan mata. Sampai saat ia merasa seseorang tak sengaja menyenggol kakinya.

Gama membuka mata, dilihatnya seorang gadis melangkah membelakanginya. Gama yakin gadis itu yang baru saja menyenggol kakinya tanpa sengaja. Dan Gama yakin juga, gadis itu adalah Luna.

“Luna??!” Gama berteriak, gadis yang dipanggil Luna dan memang benar-benar Luna itu menoleh. Ia nampak menaikan alisnya seakan mengatakan ada apa? Gama berlari mendekati, senyum tak lupa ia berikan untuk Luna.

“Pagi, Luna,” sapanya.

Luna mengangguk. “Pagi.”

Altair & Aquila Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang