A&A-36

125 8 0
                                    

^•^

Untuk kejadian dua hari yang lalu. Luna memang sengaja tidak memberi tahu Fani. Alasannya bukan takut Fani akan khawatir tapi lebih kepada dirinya sendiri. Luna malas untuk mengingat kejadian yang hanya akan membuatnya ketakutan sendiri. Meski kejadian itu tidak terlalu membahayakan Luna tapi tetap saja itu seakan tanda yang mungkin akan terjadi pada kejadian berikutnya, yang bisa jadi akan lebih buruk.

Sepulang sekolah Luna sudah merencakan sesuatu. Meski tadi Fani sempat mengajaknya makan baso aci di depan sekolahnya sepulang sekolah. Namun Luna beralasan tidak enak badan sebagai penolakannya. Padahal sekarang Luna tengah mengendarai motornya ke sebuah perumahan yang meski baru sekali ia datangi syukurnya ia tidak kebingungan saat di jalan tadi.

Saat ia menemukan rumah yang ia tuju. Luna segera memakirkan motornya. Namun, tiba-tiba saja rasa takut itu kembali. Rasa yang membuatnya selalu enggan datang ke rumah ini. Rasa takut yang sebetulnya belum tentu terjadi. Rasa yang membuatnya malah seperti seorang pengecut yang takut dengan semua kenyataan.

Luna memejamkan matanya sejenak. Meyakinkan diri bahwa ketakutannya hanya akan memberinya rasa sakit tak beralasan. Luna akhirnya melangkah berat, ia menekan bel rumah itu dan berharap orang yang dicarinya lah yang membukakan pintu. Saat Luna akan menekan bel lagi suara wanita yang rendam terdengar dari dalam. Tak lama pintu terbuka. Awalnya ia kira yang akan berada dihadapannya ini adalah Bunda.

"Temennya den Gama ya?"

Luna mengangguk sambil menghembuskan napas lega. Ia baru saja mengira jika ibu yang berada di hadapannya ini adalah penghuni baru rumah Gama. Tapi ia bersyukur saat beliau mengucapkan kalimat den Gama yang mungkin saja beliau adalah salah satu asisten rumah tangga di rumah ini.

"Yah atuh kumaha ya, tapi neng den Gamanya teh lagi gak ada di rumah. Ibu Raininya juga lagi di butik paling jam lapanan kali baru balik."

"Kalo boleh tau, memangnya Gama kemana ya, bu?"

Ibu itu pun menggaruk tenguknya. Terlihat sedikit gelisah ketika Luna mengatakan keberadaan Gama. Beliau tersenyum. "Ah... atuh kumahanya. Maap ini mah neng, tapi bibi teh dilarang jeung Ibu buat kasih tau keberadaan den Gama ku orang-orang. Apalagi ke eneng, pasti eneng teh yang namina Luna kan?"

Luna mengangguk. "Iya bener. Saya Luna. Kok ibu bisa tau ya?"

"Kan den Gama sendiri yang kasih tau bibi, kalo aya awewe nu geulis ke imah ini jeung nanyain den Gama tolong jangan kasih tau keberadaan den Gama ceunah."

"Itu bener Gama sendiri yang ngomong?"

"Yah bener atuh neng, masa bibi teh boong. Jadi kumaha, mau masuk nunggu di dalem? Tapi, ya kitu gada siapa-siapa. Kalo mau biar nanti bibi telepon Ibu kalo ada neng Luna kemari."

Luna menggeleng. "Gausah bi, saya pulang aja. Makasih ya bi."

Luna pun melangkah dengan sedikit lemas. Karena meski kecewa Luna masih sedikit merasa lega. Gamanya masih berada dekat dengannya. Gama tidak pergi. Gama tidak meninggalkannya.

Dimana pun keberadaan laki-laki itu sekarang. Luna berharap ia baik-baik saja. Dan akan selalu baik-baik saja sampai ia kembali.

Karena ia malas untuk kembali ke rumah. Luna memilih membawa motornya ke sebuah tempat yang mungkin saja dapat meredakan rasa rindunya pada Gama.

Altair & Aquila Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang