^•^
Luna mematikan hair dryer yang baru ia kenakan sambil menaruhnya di atas meja belajar. Ia lantas berjalan ke arah ranjangnya sambil menghembuskan napas karena munculnya satu pesan di ponselnya dan satu kata singkat menjadi alasannya. Luna mengigit bibir dalamnya. Entah kenapa ia mulai merasa lelah.
Hanya karena kamu takut kalah oleh Eliana kamu mempertahankan laki-laki yang tidak benar-benar kamu cinta.
Apakah seburuk itu? Apakah harus rumit? Luna hanya ingin memiliki Rama. Ingin menjalin sebuah hubungan normal layaknya pasangan lainnya. Luna juga ingin merasakan debaran-debaran yang umum dirasakan layaknya pasangan lainnya. Luna ingin. Luna obsesi. Katakan saja begitu. Luna sudah menunggu hampir dua tahun. Wajar jika Luna juga ingin dimiliki Rama. Luna ingin saling dimiliki. Bukan hanya dirinya yang merasa memiliki Rama sedangkan laki-laki itu entah bagaimana. Apa alasan Rama memacarinya? Pertanyaan yang terus menaung di kepalanya. Bahkan ia skeptis pada dirinya sendiri. Apa ia benar menyayangi Rama, atau hanya obsesinya saja atas dasar ingin memiliki.
Luna kembali menutup ponselnya. Mengabaikan pesan Rama yang hanya menjawab iya ketika ia memberi pesan untuk tidur dan pesan pesan perhatian lainnya.
Luna merebahkan tubuhnya sambil menyelimutinya. Lalu ia menatap langit-langit kamarnya. Matanya kembali menerawang sebuah khayalan-khayalan indah yang ia harap akan terjadi padanya di masa depan. Itu seperti sebuah rutinitas yang ia lakukan sebelum tidur. Entah kenapa ia merasa itu menyenangkan. Meski hanya sebuah kehaluannya, tapi ia harap semua itu akan terjadi. Bahkan ia yakin semua itu akan terjadi. Terkadang ia melakukan itu hingga semuanya terbawa ke alam mimpi. Kantuk mulai datang, Luna mulai memejamkan matanya. Sambil berdoa, semoga semua mimpi indah yang ia alami terjadi di dunia nyata. Terjadi ketika ia membuka mata.
Sebuah suara dari arah jendela kamarnya membuat Luna terbangun. Awalnya Luna mengerenyit masih berpikiran bahwa ia salah dengar dan akan kembali tidur. Namun ketika untuk kedua kalinya suara itu terdengar. Luna langsung terduduk. Ia melirik waktu di jam dindingnya. Ini masih jam tiga pagi. Tidak mungkin kan ada anak-anak komplek iseng di pagi buta seperti ini.
Lalu jika bukan anak-anak komplek. Apa mungkin....
"Maling?" Luna menutup mulutnya. Ia bingung harus bagaimana. Berteriak? Bagaimana jika maling itu malah membiusnya dan ia tidak sadarkan diri lalu... maling itu membunuhnya? Oh tidak... tidak! Luna masih terlalu muda.
Lalu dengan waktu beberada detik saja akhirnya Luna mendapatkan ide. Ia mengambil vas bunga di nakas. Lalu berjalan pelan ke arah jendela sambil berjaga-jaga jika maling itu menodongnya atau apapun nanti. Luna akan lebih dulu melempar vas bunga ini ke kepalanya. Luna mengangguk yakin.
Dengan sangat pelan ia membuka jendelanya. Sebenarnya Luna sendiri takut. Ia memejamkan matanya mencoba untuk meraih keberaniannya.
"Pagi Lun."
"Aahh maling...." Luna melempar vas bunganya itu. Entah itu mengenai kepala malingnya atau tidak. Karena Luna melakukannya sambil menutup mata.
Orang di luar sana terus menyebut namanya sambil mengatakan Luna untuk tenang. Bagaimana Luna
bisa tenang ketika ada maling. Lagipula, bagaimana maling itu bisa tahu namanya. Rasa penasarannya mengalahkan rasa takutnya. Luna membuka sebelah matanya. Dan terkejut ketika ia melihat....Ah mungkin ia salah lihat. Lantas ia membuka kedua matanya. Dan ia kembali terkejut.
"G-gama?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Altair & Aquila
Teen FictionLuna berpikir, hidupnya tak jauh beda seperti bulan sabit. Redup, sendiri, dan tak utuh. Padahal, jauh dari kehidupannya masih ada yang memiliki kekelaman yang lebih kejam darinya. Luna tidak tahu, ia hanya berpikir. Hanya dirinyalah yang paling me...