“Jangan singkirkan yang rusak. Daripada mencari yang baru, lebih baik diperbaiki.”
°•°
Setiap orang pasti punya rasa egois. Entah itu disadarinya atau tidak. Luna sadar. Ia sangat egois. Ia pun juga tahu keegoisannya bukan sekedar kesalahan yang tanpa alasan. Luna memiliki itu. Entah orang menganggap alasannya salah. Namun, bagi Luna ini benar. Sangat benar.
Apa salahnya ia ingin bahagia? Sejak kecil saja kebahagiannya sudah direnggut oleh Tuhan. Lalu kebahagia-bahagian selanjutnya ikut lenyap juga seiring ia tumbuh. Kini ia hanya ingin hidup bahagia dan indah layaknya novel-novel remaja yang sering ia baca. Namun semenjak kehadiran Eliana semua malah berubah. Sebenarnya tidak juga karena gadis itu. Hanya saja kehadiran Eliana mempekeruh suasana.
Luna benci Eliana bukan karena gadis itu salah. Namun karena Luna egois. Ia egois ingin bahagia. Ia egois ingin memiliki sesuatu menjadi miliknya sendiri. Yang padahal tidak semua hal bisa dimiliki sendiri.
“Apa enaknya sih menyendiri?” Luna terkejut dengan kehadiran seseorang yang tiba-tiba saja berada di sampingnya. Luna mendongak. Mendapati Gama yang tengah tersenyum unjuk gigi kepadanya. Seperti sengaja ingin menampilkan lesung pipinya pada Luna. Memang, hal itu membuat Gama nampak lebih manis.
Luna mengerjapkan matanya. Ia tersadar dari lamunannya. Tepatnya ketika Gama memberikan sesuatu padanya. “Apa itu?”
“Coklat,” Gama menjawab.
“Aku tau.”
“Terus kenapa nanya?”
“Buat apa?”
“Buat kamu,” jawabnya lagi. Kini sambil menghedikan bahu.
“Ck,” Luna berdecak kesal menimbulkan kerutan di dahinya. “Ya buat apa!? Gak mungkin kamu kasih coklat tanpa alasan.”
“Memang tanpa alasan. Aku tadi ke kantin. Terus liat coklat ini. Terus inget kamu.”
“Kenapa inget aku?”
“Karena kamu manis,” Gama tersenyum untuk kesekian kalinya, “kaya coklat.”
Luna memutar bola matanya. Lalu merebut coklat yang masih di genggam oleh Gama. Lumayan untuk menghilangkan stress. “Ini bukan penyogokan kan? Ingat kamu belum termaafkan.”
“Lalu biar bisa termaafkan bagaimana?”
Luna menoleh. Tidak tahu jika Gama akan menanyakan hal itu. Padahal kan Luna sudah meyakinkan diri. Jika ia tak boleh lagi marah dengan Gama. Karena... ini sangat kekanakan. Luna kira Gama akan menjauhinya. Tapi, kenapa laki-laki ini masih berada di sampingnya.
Luna menunduk. “Tidak tahu,” ia lalu mendongak, “sebenarnya aku gak perlu marah sama kamu. Mungkin kamu benar. Kamu punya alasan untuk tidak datang. Lagipula akunya saja yang terlalu berharap.”
“Aku tidak berniat buat kamu nunggu Luna.”
“Aku tahu.”
“Maaf.”
Luna mengangguk. Ia lalu mengigit coklat pemberian Gama tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Altair & Aquila
Genç KurguLuna berpikir, hidupnya tak jauh beda seperti bulan sabit. Redup, sendiri, dan tak utuh. Padahal, jauh dari kehidupannya masih ada yang memiliki kekelaman yang lebih kejam darinya. Luna tidak tahu, ia hanya berpikir. Hanya dirinyalah yang paling me...