“Yang hilang belum tentu harus dikenang.”°•°
Ini dapat dikatakan hal paling langka. Dimana seorang Luna mau menghabiskan waktu istirahatnya di kantin. Fani mengandeng tangan Luna selama perjalannya ke kantin. Senyum terbentuk di bibirnya. “Semoga saja, ini satu langkah dari kamu yang ingin melupakan Rama.”
Luna memutar bola mata. “Aku gak pernah mengatakan itu.”
“Tapi aku bisa baca pikiranmu,” Fani menatap remeh Luna, “jangan turuti hati Luna. Terkadang, hati gak selalu berjalan baik.”
Luna menghembuskan napasnya. Mencoba mengenyahkan ucapan Fani yang bagaimanapun benar adanya. Sesampainya di kantin, Luna langsung mengedarkan pandangan. Mencari tempat kosong untuk dirinya dan Fani, dan membiarkan Fani memesan makanan untuk dirinya dan untuk gadis itu sendiri.
Selama menunggu Fani, Luna hanya diam sambil meperhatikan keadaan sekitarnya. Kantin-ya, seperti kantin pada umumnya. Ramai, sesak, berisik, dimana satu suara bercampur dengan suara lainnya, begitupun dengan bau-bauan. Luna mengkerutkan dahi heran. Bagaimana bisa teman-teman sekelasnya bisa nyaman berdiam lama di tempat seperti ini. Baru beberapa menit saja Luna sudah pusing.
Luna kembali mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Fani, karena sudah hampir sepuluh menit gadis itu belum kelihatan juga. Tapi, alih-alih Fani. Luna malah memakukan pandangannya pada seorang gadis yang tengah menarik seorang laki-laki untuk mendekati sebuah pedagang roti bakar. Gadis itu tertawa sedang laki-laki yang ditariknya tersenyum tipis. Mungkin semua akan terlihat biasa saja bila yang Luna lihat bukanlah mereka.
Luna mengalihkan kembali pandangannya. Matanya mulai berair. Jangan salahkan emosinya. Tapi, salahkan hatinya yang mudah sekali patah. Semua pertanyaan seketika memenuhi isi kepalanya. Pertama, kenapa mereka bisa saling kenal? Kedua, apa yang telah gadis itu lakukan hingga laki-laki itu tersenyum, bahkan selama ini saja Luna jarang melihat senyumnya, atau mungkin- tidak pernah. Ketiga....
“Luna!?”
Luna mendongak. Seseorang berdiri di hadapannya. Tatapannya khawatir. Membuat Luna buru-buru membersihkan sisa air mata di pipinya. Ia kira yang tadi memanggilnya Fani. Tapi, mana mungkin tiba-tiba suara Fani berubah menjadi suara laki-laki. Yang jelas, orang itu memang bukan Fani. Melainkan Gama.
Gama menempati kursi di depannya. Matanya masih terpaku pada wajah Luna. “Kenapa?” pertanyaannya melembut. Membuat Luna tertawa pelan mendengarnya.
“Memang aku kenapa?”
“Kamu menangis.”
“Apa masalahnya? Hanya beberapa tetes air yang keluar dari mata. Sama halnya seperti keringat. Hanya bedanya ini keluar dari mata, lalu apa yang harus dikhawatirkan?”
Gama menghembuskan napas. “Tidak perlu banyak perumpamaan. Intinya, jika kamu malu bercerita sekarang. Simpan saja. Aku siap mendengarkan kapanpun itu.”
Luna tidak menjawab lagi. Karena Fani yang sudah datang dengan beberapa menu makanan di nampan yang ia bawa. Luna segera berdiri untuk membantu gadis itu.
Fani menatap Gama seakan-akan bertanya, mengapa ada laki-laki yang tak dikenalnya bersama Luna. Gama yang sepertinya paham dengan tatapan itu memperkenalkan diri, “Gama. Anak IPS tiga.”
“Oh iya,” Fani membalas, “gue Fani, anak IPA satu,” dia lalu tersenyum seraya duduk disamping Luna, “kenal sama Luna?” tanya dia lagi.
Gama mengangguk. “Belum lama kenalnya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Altair & Aquila
Teen FictionLuna berpikir, hidupnya tak jauh beda seperti bulan sabit. Redup, sendiri, dan tak utuh. Padahal, jauh dari kehidupannya masih ada yang memiliki kekelaman yang lebih kejam darinya. Luna tidak tahu, ia hanya berpikir. Hanya dirinyalah yang paling me...