“Susah di sadari. Perasaan jika masih awal memang begitu. Abu-abu.”
°•°
"Jadi, menurut lo bagusan mana? Merah atau Biru?" Eliana menunjuk dua dompet pilihannya kepada Rama. Laki-laki itu nampak kesal, ia mendengus. Pasalnya ini sudah hampir dua jam mereka berjalan-jalan mengitari satu mall hanya untuk mencari barang yang bahkan Eliana saja tidak tahu harus mencari barang apa. Terkadang ia ingin dompet, lalu pindah ke toko lain ingin beli baju, lalu pindah lagi ingin beli make-up.
"Dua-duanya, bagus. Udah lo beli aja. Terus abis ini kita balik, buruan."
Eliana nampak ragu. Ia lantas memperhatikan lagi dengan jelas dua benda di tangannya. "Tapi...."
"Tapi!??" Rama mengusap wajahnya menahan kesal. Ia lalu menarik dompet yang berada di tangan Eliana, menaruhnya di tempat semula. Lalu menarik gadis itu untuk mengikutinya keluar dari toko. “Mau kemana???” Eliana bertanya, dengan sebelah tangannya yang masih ditarik cukup kencang oleh Rama.
“Pulang. Gue anter lo pulang.”
“Gak mau!” Eliana mencoba menyentak. Namun, tenaga Rama memang tak bisa ditandingi olehnya. “Rama... lepas!” Eliana menumpu tumitnya, menahan diri agar Rama kesulitan menariknya. Namun, tidak berpengaruh sama sekali. Lalu ia berjongkok. Dan itu berhasil membuat Rama berhenti, berhasil juga membuat orang-orang yang berlalu lalang menatap mereka aneh.
“Bangun gak lo?”
“Nggak!”
Rama lalu melepas tangan Eliana dan pergi begitu saja. Meninggalkan Eliana yang masih berjongkok dengan mulut terbuka karena shock dengan semua perlakuan Rama padanya. Ia lalu menoleh. Memandang dua gadis remaja seumuran denganya sedang asik menertawakannya, sambil berbisik-bisik—yang terdengar seperti tidak berbisik-bisik karena Eliana masih bisa mendengarnya dengan jelas—bahwa Eliana adalah gadis paling menyedihkan karena diputuskan secara tragis di tempat umum seperti ini.
Putus?
Jadian saja belum.
Eliana lalu bangkit mengejar Rama karena ia sudah tertinggal cukup jauh oleh laki-laki itu.
“Rama...!!!”
Rama berhenti. Menoleh. Tetap dengan tatapan dinginnya. “Kenapa? Ayo gue anter lo balik.”
Eliana menggeleng. Rama menghembuskan napasnya berat. “Mau lo apa sih El?”
“Lo pasti paham mau gue apa.”
“Gue paham. Tapi harusnya lo juga paham El.”
Eliana mengeleng. “Gue gak mau paham.”
“Egois.”
“Iya. Gue egois. Sangat egois. Tapi ini semua demi lo Rama! Lo tuh gak pernah ngerti gimana khawatirnya gue terhadap lo. Gue selalu kepikiran kedepannya gimana kalo lo...” Eliana berhenti bicara bersamaan dengan air matanya yang tak sengaja jatuh. Rama membuang wajahnya. Napasnya ikut memburu seiiring dengan semua ucapan Eliana yang bagaimana juga ikut membuatnya khawatir pada dirinya sendiri.
“Terimakasih karena lo udah mau repot mengkhawatirkan gue.” Rama mengangguk. Hatinya meragu sekarang. Haruskah ia mengikuti ucapan Eliana atau ia tetap menepati janjinya. Ia menatap Eliana sekali lagi. Matanya meredup. Melangkah mendekati Eliana. Membuat gadis itu tersenyum. Ia seakan mendapat secercah harapan. Apakah Rama luluh dengannya? Apakah Rama akan berhenti?
KAMU SEDANG MEMBACA
Altair & Aquila
Dla nastolatkówLuna berpikir, hidupnya tak jauh beda seperti bulan sabit. Redup, sendiri, dan tak utuh. Padahal, jauh dari kehidupannya masih ada yang memiliki kekelaman yang lebih kejam darinya. Luna tidak tahu, ia hanya berpikir. Hanya dirinyalah yang paling me...